Yang Dirasakan Kasur

Yang Dirasakan Kasur

Yang Dirasakan Kasur

Oleh: Ulfah Mawalatul Khoiriyah

Sudah hampir genap enam tahun aku berada di sini. Kata mereka aku adalah seseorang yang sangat merugi, namun aku menghiraukan omongan-omongan receh itu meski harus ku-iyakan. Tetapi rasanya tidak pantas bagiku untuk menyetujuinya. Karena apa?

Dulu aku sangat lusuh, berbadan kucel, dan bau yang pastinya tidak enak dipandang oleh siapa pun. Meski begitu, dia dengan sepenuh hati membeliku dari tempat yang tak begitu mewah seperti kebanyakan toko lainnya. Aku dibawanya ke rumah yang sangat sederhana, mungkin itu adalah kediamannya selama ini. Aku tidak tahu jelas bagaimana kronologi hingga aku bisa sampai di rumah ini, yang kuingat hanya saat dia membeliku dan membawaku—sampai ke sini.

Aku ditempatkan di suatu kamar yang sangat bersih, penuh dengan wewangian dan aku pikir tidak ada seorang pun yang akan menolak untuk ditempatkan di kamar seindah ini. Aku bisa melihat figura yang berisi potretnya bersama seorang perempuan yang tidak aku kenal, maklum saja, karena aku penghuni baru di sini. Jadi aku tidak mengenali apa atau siapa pun. Aku juga melihat kaca jendela yang sangat bening, hingga berpikir jika ada seseorang yang berjalan menuju ke arahnya, ia pasti jatuh dan terjungkal karena tertipu dengan mengira di jendela itu ada kacanya.

Selain itu, aku juga melihat poster berisi tulisan dengan kata-kata manis yang menambah keindahan kamar ini. Meski aku tidak bisa membaca tapi aku tahu itu adalah tulisan yang sangat indah, buktinya di pinggir-pinggir tulisan itu dihias dengan bunga-bunga berwarna-warni dan ada gambar pelangi juga di sana, maka tidak salah jika aku menganggapnya sebuah tulisan yang sangat indah.

Aku dirawatnya sangat baik dan begitu manusiawi, bahkan dia sampai memberiku makan setiap harinya. Padahal jika tidak diberi makan pun, kurasa aku masih akan tetap hidup dengan kasih sayang dan perlakuannya. Setiap pagi dia selalu memandikanku agar tubuhku tidak kucel dan berbau lagi, meski aku tahu badanku sangat berat, tetapi dia berusaha mengangkat dan menggendongku ketika hendak memandikan. Bagaimana bisa aku menyebut diriku sebagai orang yang sangat merugi? Mereka tidak benar-benar melihat bagaimana indahnya kehidupan kami, selain hanya sepintas saja. Terkadang aku sangat kesal kalau mengingat ucapan mereka hingga menyangka bahwa mereka itu buta.

Selain dimandikan, diberi makan, masih ada banyak kebaikan lainnya yang dia lakukan untukku. Untuk membuat diriku bersih sebersih mungkin, hidup sehidup mungkin. Jika mengingat bagaimana tuanku dulu memperlakukanku, tentu sangat berbeda jauh dengan tuanku yang sekarang. Dulu mereka tidak benar-benar menjaga dan merawatku, sampai akhirnya aku dijual kembali kepada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Dan mungkin ini adalah jawaban dari banyaknya permintaan dan pertanyaanku pada Tuhan.

Tuhan memang adil, dia menitipkanku pada seseorang yang sangat berhati mulia, dan saking mulianya aku tak bisa mendefinisikan bagaimana kata yang pantas untuk menjelaskan kebaikannya itu.

Setiap malamnya dia menemaniku tidur. Tidak pernah dia meninggalkanku walau hanya satu malam. Sering kali ketika aku melihatnya kedinginan, aku berusaha menghangatkan diri sebaik mungkin agar dia nyaman tidur bersamaku. Dan kupikir caraku ini memang berhasil, dia terlihat tidur sangat nyenyak seperti tidak ada beban sedikit pun dalam hidupnya.

Kuakui berat badannya lumayan berat tapi aku menggubris semua itu. Karena dibanding aku, dia sangat bersusah payah merawatku. Maka sekarang adalah tugasku untuk menjaganya, membalas budi atas setiap kebaikannya yang mungkin tak pernah bisa dibalas oleh apa pun. Tapi itu dulu, dulu sebelum aku benar-benar mengetahui bagaimana sifat aslinya.

Sekarang kupikir omongan-omongan mereka terhadapku itu memang benar. Ya, aku adalah seseorang yang sangat merugi. Sebenarnya kata yang pantas untukku itu bukan seseorang karena aku bukanlah manusia. Jika kalian pikir aku adalah manusia, maka kalian tidak sepenuhnya salah, sebab aku dimanusiakan olehnya. Aku sudah bercerita ‘kan, bagaimana dia memperlakukanku dengan sangat manusiawi.

Sekarang aku merasa dia adalah orang yang lebih buruk dari banyaknya tangan-tangan yang pernah menjamahku. Entah apa yang membuatnya seperti itu, aku pun tidak tahu jelas. Namun yang pasti, sekarang aku tidak lagi merasakan kasih sayangnya seperti dulu. Dia memperlakukanku sangat kasar, keras, dan tak berbudi. Aku merasakan perihnya disiram air panas, ditendangnya berkali-kali dengan kedua kakinya yang sangat kuat, rasanya sangat sakit. Aku merasa tubuhku lebam, penuh darah yang tak kunjung keluar. Aku juga merasakan bagaimana hancurnya diriku saat dia membawa teman-temannya itu untuk meniduriku. Aku benar-benar merasa sangat kotor dan tidak berguna lagi ada di dunia. Sekejap aku ingin langsung pergi dari kamar ini, tidak tahan dengan perlakuannya itu. Aku ingin menghilang dari kehidupannya yang sangat gelap.

Namun aku tidak seegois itu. Selama ini aku di sini bersama seseorang yang sama menderitanya denganku. Bahkan mungkin dia lebih menderita dariku dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Kedua kaki yang dipasung dan tangan yang diborgol selama ini tak pernah dilepaskan oleh tuanku yang bejat.

Dia tak pernah diberi makan ataupun setetes air untuk membasahi tubuh. Aku ingin sekali membantunya melepaskan pasungan itu, tapi apa boleh buat, aku dulu tidak pernah diajarkan bagaimana caranya berjalan oleh si pengecut itu. Aku hanya bisa melihatnya merintih menahan kesakitan, meski aku sendiri pun merasakan kesakitan yang sangat luar biasa, tapi setidaknya—walau aku tidak bisa membantunya—aku ada di sini untuk menemaninya, untuk menemani segala derita yang ia rasakan. Aku diam bukan berarti tidak bisa apa-apa, tapi aku diam karena aku ingin melihat sampai sejauh mana si pengecut itu bertindak.

“Bruukkkk ….” Suara pintu kamar membuatku semakin bergetar. Namun aku tidak merasa aneh, sebab pasti dialah yang datang ke kamar ini. Dan, ternyata memang benar dia.

“Kenapa, kaget lihat gue? Takut disiksa lagi? Cepat jawab!” katanya sambil menendangku dengan penuh kekesalan. Rasanya aku ingin sekali membunuhnya seketika itu, menggorok lehernya yang dikalungi dengan kalung anjing. Apakah dia memang anjing? Tidak! Kupikir seanjing-anjingnya anjing tidak pernah melakukan hal keji seperti ini.

“Apa mau gue bunuh? Jawab, Bodoh!” lanjutnya yang kembali mencerca. Aku melihat wanita itu, matanya menunjukkan seakan-akan dia juga ingin membunuh tuanku, tetapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya terdiam dan terpaku melihat kekejaman lelaki yang lima tahun silam aku bangga-banggakan.

Aku benar-benar merasa kesal padanya. Tangannya kini bergiliran mencambukku dan wanita itu. Aku melihat figura yang menempel di dinding perlahan berjatuhan satu per satu, mereka seolah ikut mati. Tapi aku belum mati. Maksudku, aku memang sudah mati dan tidak mungkin mati—lagi.

Tiba-tiba saja semua bentuk penyiksaan yang ia lakukan pada kami mereda, entah apa yang membuatnya berhenti. Dia jatuh terkapar di atasku, aku benar-benar tidak sudi lagi menjadi sandarannya. Aku ingin menjatuhkannya langsung ke lantai sampai ia tak lagi bernyawa, namun semua keinginanku itu nihil, tidak ada satu pun yang bisa aku lakukan.

“Elu udah mati, Nindi! Dan akhirnya dendam gue terbalaskan. Gue benar-benar puas! Elu gak pantas hidup di dunia ini! Bagi gue, elu bukan seorang ibu! Kenapa elu ngelahirin gue ke dunia dengan keadaan gila? Kenapa? Cepat jawab! Gue gak minta dilahirkan untuk gila,” cercanya pada wanita yang sudah tak bernyawa itu.

Belum juga aku mencerna semua yang terjadi di kamar ini, tiba-tiba saja sesuatu mengejutkanku.

“Dooorrrrr …!”

Darahnya mengalir tak terbendung oleh apa pun, sedangkan kamar ini hening tanpa ada suara kecuali bunyi darah yang menetes mengenai lantai dari kepala tuanku. Tak ada yang bisa aku lakukan sebagai seorang saksi untuk mencegah semuanya, maksudku … aku hanya sebuah kasur. (*)

 

Ulfah Mawalatul Khoiriyah. akrab disapa Ulfah atau Khoi. Kelahiran 01 Juli 2000. Penyuka kopi, hujan, senja, dan kucing. Membuat akun media sosia, di antaranya: Facebook (Ulfah Mawalatul Khoi), Instagram (Ulfah_Khoi), dan Plukme (Ulfah Mawalatul Khoiriyah).

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita