Yang Berada di Sela Kelopak Bunga Matahari
Oleh: Sunita Kasih
“Apa yang kau harapkan sekarang? Menjadi hujan yang lebur pada pipimu sendiri?” Aku tersenyum, menatap langit yang saat itu sedang begitu biru dengan beberapa garis awan putih.
“Maksudmu, kau berharap aku memberi kata tidak untuk setiap tanyamu?” kujawab perlahan apa yang sempat ia tanyakan tadi.
“Hahaha, bagaimana kabarmu?” ia melempar pertanyaan sembari mengehentikan tawanya.
“Kita sudah terlalu banyak berprasangka untuk selalu menanyakan kabar,” kujawab dengan mendekatkan segelas coklat hangat kepadanya.
“Oh iya? Boleh kudengar apa saja prasangkamu?”
“Tentu. Tidak lebih dari satu.” Dia menoleh padaku.
“Ah, tidak bolehkah lima prasangka setelah empat tahun tak menyapa?” tanyanya padaku.
Aku menggeleng. Teh melati itu berada di sebelah tangan kananku yang bersandar di atas meja, mengeluarkan aroma yang selalu menjadi candu. Warna yang tak terlalu pekat juga tak terlalu pudar serta sedikit asap yang terlihat menguap di atasnya, menandakan teh melati sudah begitu sempurna untuk diakhiri dengan beberapa kata yang merusak suasana.
“Kau baik-baik saja,” ucapku.
Dia tersenyum padaku, kemudian mengalihkan pandangannya pada hamparan bunga matahari yang tepat di depan kami.
“Kenapa harus bunga matahari?” ucapnya.
“Karena kau tidak pernah memintaku untuk menanamnya.” Aku nyengir kuda.
“Mawar?”
“Beberapa tahun yang lalu, seseorang pernah memintaku untuk lebih memilih mawar ketimbang bunga matahari. Mungkin itu yang membuat aku dan dia melepaskan diri dari sebutan kami.”
“Tentu bukan,” ucapnya dengan nada yang sedikit ditinggikan. Aku mengerti, beberapa kejadian dan tingkah kadang memang tidak bisa kita kendalikan, tapi selebihnya aku memaklumi situasi ini.
“Aku adalah apa yang kau tatap sekarang, tak ada duri juga tak terlalu menebar harum ke sana-kemari.” Dia kembali menoleh kepadaku.
“Boleh aku tebak prasangkamu yang kedua?” Aku menoleh ke arahnya.
“Kau sedang bebas dari aturan berbicara dengan batas kata dan waktu,” ucapku dengan sedikit tawa.
“Hahaha.” Dia menyentuh gelas cokelat hangat yang tepat di depannya.
“Kau mengira aku baik-baik saja,” lanjutnya.
Aku tersenyum, beberapa kata mungkin tak ia sampaikan dengan gamblang padaku, namun ada yang tak pernah berubah darinya, dari semua tatap, raut wajah juga sikap.
“Oh, jadi kita adalah orang yang saling mengenal?” Dia tertawa mendengar ucapanku.
Aku menyentuh teh melatiku yang rasanya sudah tak terlalu panas lagi.
“Ya, aku juga yang memintamu memilih mawar ketimbang bunga matahari.” Aku tertawa.
Dia menyeruput cokelat hangat yang tadi kubawakan pun aku yang saat ini sedang menikmati teh melati. Beberapa waktu kerap terasa lebih lama ketika kita melewatinya dengan berbagai hal yang tak kita sukai, namun kali ini waktu begitu bergerak cepat seolah tidak pernah memberikan lampu merah untuk beberapa menit yang kemudian menjadi jam.
Aku memerhatikan sesuatu di ujung taman bunga, adalah tiang listrik yang sedang berdiri dengan kokohnya seolah memberi tanda bahwa di bawahnya setapak telah berubah menjadi aspal meski harus mengorbankan dirinya di dekap karat.
Sebenarnya aku telah membuat kue cokelat yang bisa saja kusuguhkan untuknya sebagai pelengkap antara cokelat hangat dan kue cokelat. Serasi!
Tapi sepertinya itu bukan ide yang terlalu baik, maksudku bukankah ini akan menjadi terlalu manis? Untuk cerita yang diakhiri dengan pahit?
“Apa lagi yang kau harapkan dariku?” ucapnya.
Angin berembus pelan, menyibakkan kerudung merah jambu yang kukenakan.
“Entahlah, kau pernah membaca puisi Sajak Empat Seuntai milik Sapardi?” tanyaku.
“Aku dari dulu hingga sekarang masih belum menyukai beberapa hal yang kau sarankan.” Aku tersenyum.
“Ya, tak usah meminta maaf.” Dia terdiam.
“Kenapa?”
“Apa?” tanyaku kembali.
“Kenapa dengan isi puisi itu?” ucapnya.
Beberapa sepeda melintas di jalan yang berada di jalan setapak yang telah diberi aspal itu. Ya, satu pasang anak muda yang berharap kisahnya semanis gulali.
“Coba tebak kira-kira akan ada berapa kali kayuhan sepeda yang nantinya akan membawa pengayuhnya pada tujuan?” aku melemparkan pertanyaan.
“Kenapa harus dihitung?”
“Kenapa tidak boleh memperkirakannya?” tanyaku.
“Bukan tidak boleh, maksudku bukannya yang paling penting memikirkan bagaimana agar tetap mengayuh dan sampai pada tujuan?” dia menjelaskan dengan tanya.
“Iya?” Aku tersenyum.
Beberapa dedaunan dari pohon kelapa dan pohon-entah-apa-namanya itu seolah saling bersautan, dengan bantuan angin mereka bak dua orang yang sedang berkomunikasi entah sedang membicarakan bagaimana cara burung terbang atau bagaimana agar burung kembali singgah pada ranting dan tangkai pohon.
“Sebetulnya, kita berhak memiliki prasangka.” Aku menoleh padanya.
“Kenapa?”
“Karena kehidupan memang memberikan ruang untuk kita saling memikirkan.” Dia tersenyum.
“Mungkin yang kadang menjengkelkan hanya prasangka yang tak sesuai realita, ‘kan?”
Dia mengangguk. Cokelat panas itu tersisah separuh dari gelas. Aku melirik teh milikku.
“Aku juga bingung kenapa teh melati milikku malah kusandingkan dengan satu gelas cokelat hangat.”
“Milikku?”
Aku mengangguk. Aku menyesali beberapa tahun yang lalu, ketika hampir sepenuhnya waktuku dihabiskan dengan dugaan-dugaan tentang seseorang yang ada di depanku.
“Temanku berkali-kali mengatakan ini padaku,”
“Apa?” tanyanya.
“Dia bilang, jangan menebak dengan berlebihan, berhentilah menduga dengan terlalu, relakan esok dan kemudian menjadi kejutan,” aku tersenyum menatapnya.
“Aku tahu, dia sedang berusaha membenahi sayapmu,” ucapnya.
“Dan aku setuju, meski tak kuhentikan sepenuhnya.”
Aku mengingat beberapa kalimat yang kadang memang selalu tepat melintas dalam otakku, seperti kali ini dengan beberapa kutipan dari teman karibku. Hidup selalu memberi pilihan, tapi menjalaninya tanpa memikirkan hari esok dan menduga secara berlebihan sepertinya akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku hanya membayangkan mendapatkan beberapa cangkir jus semangka ketika terik menyapa dan aku sedang tidak menduga untuk diberikan jus semangka. Ah, menyenangkan!
Di depanku hamparan harap juga mimpi kutuang lewat beberapa benih bunga matahari. Di sampingku duduk seseorang yang membuatku berharap dan berdoa agar benih tumbuh da menampakkan bunga yang indah. Tapi di langit sana mungkin Tuhan sedang mengumpulkan doaku dan doanya, lalu membuat kesimpulan bahwa ada hati yang sebetulnya tak pernah saling berpaling mesk tatap saling menghindari.
“Apa isi puisi yang tadi kau maksud?” dia bertanya padaku.
“Salah satu isinya, ‘Kukirim padamu beberapa patah kata yang sudah langka, jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan. Sia-sia saja memahamiku.’” Dia terlihat berusaha memikirkan makna dari puisi karya Sapardi itu.
“Aku tidak tahu harus memanggil Sapardi dengan sebutan Tuan, Ayah atau Bung untuk berjuta rangkai kata yang ia susun. Menurutmu?” aku bertanya padanya.
“Aku serahkan padamu,” jawabnya dengan raut wajah yang Nampak kebingungan.
“Entahlah, aku masih bingung.”
“Apa yang menjadi sia-sia?” tanyanya kembali.
“Kata yang kukirim padamu.”
“Apa?”
Kali ini kami lebih memilih untuk memperbanyak dialog dari pada menjelaskan apa yang ada di dalam batin kami masing-masing. Di samping pohon kelapa yang berada di ujung taman itu terdapat satu pohon yang duah benar-benar tak lagi tersisa daun di batangnya. Aku mengingat, ia persisnya aku—beberapa tahun yang lalu.
“Aku kehilangan kau yang tak merasa hilang. Atau sebetulnya aku tak pernah kehilangan apa-apa dari siapa, mungkin aku hanya kehilangan keyakinan bahwa aku sedang tidak hilang dari diri seseorang.” Dia menatapku penuh.
“Kita sama-sama merasakan kekosongan itu. Jangan merasa sendiri. Yang sekarang harus kau pikirkan adalah, bagaimana jika kata yang sampai tak pernah sia-sia?” dia membalas dengan tanya.
“Aku tak pernah meyakinkan diriku sendiri untuk memaksamu pulang dan kembali,” tegasku.
“Lalu? Aku harus menuruti pikiranmu? sedangkan aku sendiri melangkah kembali padamu?”
Aku memalingkan wajahku darinya, beberapa kata mungkin harus benar-benar tertahan untuk sampai di waktu yang tepat. Bunga matahari juga beberapa kayuhan sepeda itu memberikan berbagai hal yang tak kudapatkan dengan cara terlalu memikirkan cara untuk membuatnya pulang.
Dia berdiri, membawakan beberapa helai kertas di hadapanku.
“Aku menghabiskan beberapa tahun tanpamu hanya untuk hari ini. Kau mesti tanggung jawab.” Aku tersenyum, mataku berembun.
Hari itu dia tak membawa cokelat dan bunga kain seperti yang ia lakukan empat tahun yang lalu. Dia juga tak membawa boneka panda dan novel. Saat itu ia membawakanku berbagai kepastian dari janji yang sempat kuanggap sebuah kesia-siaan.
“Kau harus baca, aku sudah hapal,” dia menegaskan.
Aku tersenyum, sesuatu terasa telah jatuh juga runtuh adalah dinding pembatas antara harapan dan kenyataan.
Terima kasih telah kembali! Dan membawa beberapa mantra ajaib yang membuatmu berhasil menjemputku. (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita