Wulandari
Oleh: Inyong
***
Bagiku, rindu adalah perasaan yang sulit untuk dikendalikan, hadir begitu saja tanpa permisi. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Dilan bahwa rindu itu berat. Namun, aku merasakan rindu yang lebih berat, yaitu saat jiwanya meninggalkan raga dan tak lagi memberiku kesempatan untuk berjumpa.
Andai saja … andaikan saja saat itu aku memiliki keberanian untuk menyatakan perasaan, tentu akan lain cerita. Menyesal pun tiada guna. Dia kini berada di alam yang berbeda.
Andaikan saja saat itu aku memeluknya dan memberinya sandaran tatkala dia membutuhkan, mungkin saja aku bisa terus bersamanya, menikmati senja yang sangat dia suka sambil bercerita tentang cintanya pada seorang pemuda yang tak kunjung mendapat balasan, lalu aku akan menghiburnya dengan memberikan sebatang cokelat sembari berkata, “Tidak perlu mengharapkan orang yang tak menginginkanmu. Aku yakin, ada seseorang yang selalu menunggumu membuka hati.”
Andaikan saja ….
Semua terlambat sudah. Aku tak bisa apa-apa selain berdoa agar dia tenang di sana.
***
Sore itu aku menyusuri area pemakaman, lantas berjongkok di samping pusara dengan nisan bertuliskan nama ‘Wulandari’. Nama yang terpatri dalam hati semenjak kami masih sama-sama duduk di bangku SD. Nama yang selalu kusebut setiap malam menjelang tidur. Nama yang ingin kulafalkan dalam ikrar suci pernikahan.
Dahulu aku berpikir, jika kami telah sama-sama dewasa, cinta akan bermekaran seiring kedekatan kami. Namun, aku harus menelan kecewa karena pada kenyataannya, bukan namaku yang ada di hatinya.
“Kamu itu sahabat terbaikku, Andra. Kamu janji akan selalu jadi sahabatku, kan?” tanyanya waktu itu, kala aku berniat mengungkapkan perasaan di taman belakang rumahnya.
Aku hanya bisa mengangguk dengan senyum getir yang kusembunyikan di balik gelas berisi es cappucino yang dia suguhkan. Selanjutnya, hatiku makin terasa perih saat dia dengan riang berceloteh tentang pemuda yang telah memikat hatinya.
Jika saja dia menggoreskan silet di lenganku, kurasa itu akan jauh lebih baik, agar rasa sakit di hati tertutupi oleh perih di lengan.
“Menurut kamu, dia itu cowok yang gimana?” Pertanyaannya membuatku tersadar dari lamunan.
“Oh, dia … oke, kok,” jawabku. Tentu saja aku berbohong. Tapi tak masalah, yang terpenting dapat kulihat senyumnya yang seperti candu bagiku.
Wulandari tersipu. Wajahnya tampak menggemaskan.
“Mas, maaf, sudah hampir Maghrib. Sebaiknya Mas pulang.” Seorang lelaki dengan jenggot yang memutih menepuk pundakku, mengembalikan kesadaranku. Rupanya aku melamun, lagi.
“Eh, iya, Pak. Sebentar lagi,” sahutku.
Lelaki tua itu mengangguk. Aku kembali memandang pusara dengan tatapan nanar.
“Wulan, apa kamu tahu kalau akulah orang yang selalu menunggumu membuka hati? Sampai saat ini, perasaanku tak pernah berubah, masih sama seperti dulu waktu kita masih kecil. Aku tak pernah berubah, Wulan. Dari dulu hingga sekarang, selalu mengharapkanmu membuka hati untukku.”
Kuusap batu nisan Wulan sebagai tanda perpisahan. Kutinggalkan tempat peristirahatannya yang kekal dengan rasa sesak di dada.
Sebelum keluar gerbang pemakaman, aku diam sejenak di bawah pohon kemboja besar di samping gerbang, lalu menoleh ke arah pusaranya. Saat hendak melangkah keluar pemakaman, aku mendengar seseorang memanggil. Suaranya berasal dari balik pohon tadi.
Aku mencari sumber suara, namun tak tampak seorang pun di sana. Aku kembali melangkah, tetapi lagi-lagi terhenti oleh suara yang memanggil namaku.
Kualihkan pandangan ke arah pohon kemboja. Dan, seketika jantungku bagai hendak lolos melihat wanita yang berdiri di sana.
“Ka-kamu ….” Suaraku tersekat. Tubuhku seketika berkeringat.
Wanita itu menghampiriku yang diam membeku. Aku tak dapat menggerakkan kakiku, seolah-olah ada sesuatu yang mencengkeram dari bawah tanah.
Sementara wanita itu semakin mendekat. Wajahnya kian jelas terlihat. Wajah Wulan yang kini pucat dengan lingkar mata hitam, bibir semerah darah, dan tangan kirinya menggenggam sesuatu.
“Hai, Andra. Kamu datang mengunjungiku?” tanyanya. Suaranya lirih dan serak.
Aku hanya mengangguk, merasa gugup. Wulan mendekatkan wajahnya. Napas yang sedingin es menerpa wajahku, membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuh meremang.
“Kamu pucat, Ndra. Apa kamu sakit?” tanyanya lagi. Jemarinya dengan kuku-kuku panjang menyentuh pipiku.
“Wulan, izinkan aku pergi dari sini.” Aku memohon dengan suara seperti orang tercekik.
“Tentu saja, Ndra. Kamu boleh pergi. Tapi, bawalah sapu tangan milikmu ini.” Wulan menyodorkan sapu tangan merah.
Bukankah itu sapu tangan yang kupakai untuk membekap Wulan waktu itu? Sapu tangan yang telah kububuhi obat bius untuk membuatnya tak sadarkan diri sebelum aku memotong nadinya dengan silet agar orang menduga dia bunuh diri.
Kutatap Wulan dengan dada yang berkecamuk. Rasa takut menyergap ketika bibir itu tersenyum. Tidak! Itu bukan senyum, tapi seringai.
“Maafkan aku, Wulan. Maaf ….” Suaraku bergetar, begitu pun dengan tubuhku.
Wulan mendekatiku dengan perlahan. Tangannya terjulur. Tubuhku benar-benar kaku. Rasa takutku semakin menjadi saat tangan Wulan yang satu memegang kepala bagian belakang, sementara tangan yang satunya membekap hidung dan mulutku dengan sapu tangan.
Wulan berbisik sebelum akhirnya aku hilang kesadaran.
“Aku bukan Wulan!”
Ya, tentu saja dia bukan Wulan ….
Bekasi, 24 Mei 2021
Bionarasi:
Inyong, hanya ibu rumah tangga biasa.
Editor: Inu Yana
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata