Wira Ananta Rudira
Oleh: Herlina Sari
Sworo angin
Angin sing ngreridu ati
Ngelingake sliramu sing tak tresnani
Pengen nangis
Ngetokke eluh neng pipi
Sayup-sayup terdengar tembang jawa hasil karya Almarhum Didi Kempot. Membuat hatiku yang resah menjadi kian gundah. Ternyata aku se-melow itu. Entah mengapa aku merasa patah. Kuputuskan untuk mengambil album foto yang masih tersimpan rapi di dalam bufet.
Sejenak aku memandangi album foto kenangan. Tercetak kebahagian yang abadi. Melihat dua orang bersanding bersama di pelaminan. Senyum merekah. Marwah meruah. Dekorasi pelaminan yang cantik dan unik. Gaun hitam menjadi saksi menemani paesan adat jawa murni. Sungguh cantik dan menawan hati.
“Shina, masih saja kau buka album foto itu. Bakar saja,” kata Mbak Rhea ketika melihatku menangis. Lagi dan lagi. Selalu seperti itu
Namaku Shina. Kata orang aku adalah gadis cantik nan lemah lembut. Namun takdirku tak secantik wajahku. Belahan jiwaku pergi tanpa ada kata untuk kembali.
“Aku nggak bisa membakar foto ini, Mbak. Aku ndak bisa melupakan mas Wira.” Aku terisak.
“Sampai kapan kamu akan seperti itu. Suamimu sudah tenang di sana.”
“Aku yakin. Mas Wira masih hidup. Selama jasadnya belum ditemukan, aku merasakan bahwa dia masih ada di dunia ini.”
Mbak Rhea tak menyangkal. Dia meninggalkanku sendiri di kamar ini. Mungkin, sudah bosan mendengar alasan atau jawaban yang aku katakan.
***
“Kamu harus bahagia, Shina. Bersama dia,” ucap Mas Wira. Dia memelukku dengan erat. Aku mendongak, melihat tatapan matanya. Seperti biasa selalu membuat hatiku tenang. Itulah yang aku suka dari Mas Wira. Tangannya mengelus perutku yang datar, entah apa maksudnya. Kebiasaannya kali ini sungguh aneh. “Aku ingin punya anak bernama Ananta Rudira,” lanjutnya.
“Mas harus pergi. Maafkan Mas yang tak bisa menemanimu hingga buah hati kita lahir. Mas harus melaksanakan tugas si tempat yang jauh,” pamitnya sambil melepas pelukan. Mas Wira berjalan menjauh.
“Mas … Mas Wira. Jangan tinggalkan aku, Mas.” Aku berteriak. Namun, Mas Wira tak pernah menoleh.
“Mas Wira!”
“Shina … bangun. Sudah waktunya sahur.” Suara Mbak Rhea membangunkanku. Ternyata hanya mimpi. Namun, seperti nyata.
Suwe ra weruh
Senajan mung ono ngimpi
Ngalemo
Ngalem neng dadaku
Tambanono roso kangen neng atiku
Ngalemo
Ngalemo neng aku
Ben ra adem kesiram udaning dalu
Sahur pagi ini, hatiku semakin tak karuan. Biasanya, Mas Wira yang menyiapkan menu sahur. Membangunkanku dengan tepukan pelan di pipi. Tak jarang pula sambil memberikan kecupan di dahi.
Saat aku duduk, sudah terhidang masakan dan dua gelas teh manis hangat. Momen-momen seperti inilah yang membuatku merindukannya. Merindukan kekasih hati yang telah dinyatakan tiada dua bulan yang lalu. Gugur dalam tugas.
Air mataku menetes lagi.
“Shina … bagaimana Mbak tega untuk meninggalkanmu jika kamu masih saja menangis seperti ini,” tegur Mbak Rhea.
Aku segera mengusap air mata.
“Mbak Rhea ndak apa-apa jika pulang. Kasihan Mas Bram dan Bayu kalau Mbak di sini terus. Aku baik-baik saja,” ucapku meyakinkan.
Aku pun tidak mau jika kepulangan Mbak Rhea terus tertunda karena aku yang belum bisa menerima kenyataan.
“Kamu yakin? Apa gak sebaiknya pulang ke rumah ibu?”
“Shina yakin, Mbak. Aku akan terus di sini. Menunggu Mas Wira. Bagaimana jika tiba-tiba dia pulang dan aku tak ada di rumah?” Aku mengelak.
***
Akhirnya Mbak Rhea memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Tugasnya sebagai istri menuntut untuk tak bisa meninggalkan keluarganya berlama-lama. Namun, aku tahu di dalam hatinya ada kekhawatiran. Karena biar bagaimanapun kakak perempuanku itu paling dekat denganku.
“Jaga diri baik-baik,” pamitnya. Mbak Rhea memelukku, seakan enggan untuk pergi.
“Salam buat Mas Bram dan Bayu. Sampaikan maafku karena istri dan mamanya sempat aku culik dua bulan,” selorohku.
Sepeninggal Mbak Rhea aku merasa sepi. Kuputuskan untuk duduk di ruang tamu. Salah satu tempat yang menyimpan ribuan kenangan.
“Apa pun yang terjadi, Mas harap kamu akan selalu tabah sampai akhir. Jangan melupakan bahwa ada Allah yang selalu menjagamu.”
Teringat salah satu ucapan Mas Wira yang sering kali dia lantunkan. Seakan-akan ingin mengingatkanku untuk tetap berjuang dan tabah menghadapi ujian. Aku merasa ramadan tahun ini begitu berat, tak seperti ramadan tahun lalu saat Mas Wira masih ada bersamaku.
Aku melihat salah satu sofa yang selalu Mas Wira gunakan, ada bayangan samar saat dia tersenyum manis. Memperlihatkan lesung pipinya. Suamiku terlihat tampan dalam balutan seragam dinasnya.
Pelan-pelan bayangan itu memudar. Air mataku kembali menetes. Namun, aku tak ingin sadar. Menikmati rasa kehilangan dengan bersandar pada sofa yang tengah aku duduki. Lagu itu kembali diputar. Membuatku merasakan kantuk.
Banyu langit
Sing ono nduwur kayangan
Watu gedhe
Kalingan mendunge udan
Telesono
Atine wong sing kasmaran
Setyo janji
Seprene tansah kelingan
Ademe gunung merapi purba
Melu krungu swaramu ngomongke opo
Ademe gunung merapi purba
Sing neng langgran Wonosari Yogjokarto
Janjine lungane ra nganti suwe suwe
Pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lungo ra nganti semene suwene
Nganti kapan tak enteni sak tekane
Udan gerimis
Telesono klambi iki
Jroning dodo
Ben ra garing ngekep janji
Ora lamis
Gedhene nggonku nresnani
Nganti kapan
Aku ora biso lali
Ademe gunung merapi purbo
Melu krungu suaramu ngomongke opo
Ademe gunung merapi purbo
Sing neng langgran Wonosari Yogjokarto
Janjine lungane ra nganti suwe suwe
Pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lungo ra nganti semene suwene
Nganti kapan tak enteni sak tekane
Aku tertidur saat bait terakhir Banyu Langit selesai dinyanyikan.
Mas Wira, saat mata ini menutup, hanya kamu yang aku inginkan untuk memelukku dalam diam. Berharap di kehidupan selanjutnya, aku dan kamu bisa bersama lagi seperti semula. Hingga detik ini aku masih menunggumu, hingga saat aku menutup mata berharap engkau selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. [*]
Surabaya, 14 Feb 2022
-RHS-
RHS, gadis penyuka senja, lumba-lumba, dan warna ungu yang sedang belajar menulis.
Gambar: Pixabay
Editor: Imas Hanifah N