Windy dan Tangan Angin yang Dipukulnya
Oleh : Vianda Alshafaq
Tidak ada yang tahu apa yang sedang Windy lakukan di salah satu ruangan dalam rumah itu. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tidak, semesta juga tahu, juga cahaya matahari yang menyelinap diam-diam dari ventilasi, tumbuhan-tumbuhan yang mengintip dari jendela kaca tanpa tirai, dan Angin, yang berembus dan menggelitiki Windy dengan tangannya yang sudah renta.
Windy mematut ruangan tanpa plafon itu dengan kening berkerut dan mata yang tak berkedip. Sesekali ia tertawa karena merasa geli digelitiki Angin. Ia menatap Angin yang berlari-lari di sekitarnya, di seluruh ruangan itu.
“Sudah, jangan gelitiki aku lagi, aku sudah lelah tertawa.” Windy memejamkan matanya, menikmati tangan Angin yang beralih mengelus rambutnya. Windy, gadis itu benar-benar manja pada Angin.
“Kau ingat cerita hari itu?” Angin bertanya, sementara Windy tetap memejamkan matanya.
***
“Windy Sayang, kemarilah!” panggil seorang wanita paruh baya yang kerap ia sebut ibu.
“Iya, Ibu. Sebentar,” teriak Windy sekeras yang ia bisa. Jaraknya dengan sang Ibu yang cukup jauh, membuatnya harus memaksimalkan suara yang keluar agar dapat didengar ibunya.
Windy menatap Angin dan tumbuhan secara bergantian. Tidak tega sebenarnya meninggalkan mereka, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan panggilan ibunya.
“Kalian menari saja dahulu. Aku akan segera kembali.”
Windy berlari, meninggalkan Angin yang kembali menari dengan tumbuhan. Angin mengitari tumbuhan, sesekali menarik daunnya hingga bergerak. Mereka menari, seperti yang Windy katakan.
Merasa lelah menunggu Windy yang tak kunjung tiba, Angin berhenti menarik daun agar bergerak. Angin mulai berkumpul dengan dirinya sendiri, membuat pusar-pusar angin yang semakin lama semakin besar. Bahkan dedaunan kering yang sudah berwarna cokelat, yang tertidur pulas di tanah, diangkatnya menuju awang-awang. Dibuatnya daun itu berputar-putar seirama dengan arah yang ia ciptakan. Tangannya mengempaskan satu per satu daun yang tertidur itu. Bahkan plastik-plastik sampah yang manusia buang sembarangan, ia terbangkan semakin tinggi, setinggi pusar angin yang tercipta.
“Aku sudah bosan menunggumu, Windy. Kenapa kau tidak juga datang?” Entah kepada siapa Angin itu berbicara, barangkali pada dirinya sendiri, atau pada daun tidur yang baru saja ia empaskan, atau barangkali pada tumbuhan yang tadi ia ajak menari untuk menghibur Windy, atau mungkinkah pada awan-awan yang bergerak di langit tinggi?
Windy masih jua tidak datang. Entah apa yang dilakukannya bersama sang Ibu. Sementara Angin yang sedari tadi sudah bosan dan gusar, kini menjadi marah. Gulungannya semakin besar seiring bertambahnya kecepatan ia berputar. Semakin besar lagi, dan lagi. Bahkan ia telah setinggi rumah Windy yang berlantai dua.
Tiba-tiba, Windy datang dengan berlari secepat yang ia bisa. Matanya membelalak melihat angin yang sudah sangat tinggi dan berputar kencang.
“Angin, kau kenapa? Jangan marah begitu. Kemarilah, kita bermain lagi,” teriak Windy agar angin dapat mendengarnya.
Angin mendengar suara Windy, tentu saja. Telinganya sangat nyaring mendengar hal apa saja yang berkaitan dengan Windy. Namun sayang, angin sudah terlampau marah. Bahkan amukannya sudah mengangkat atap rumah tetangga sebelah. Daun-daun kering yang tadi ia empaskan, kembali ia angkat menuju awang-awang. Tumbuh-tumbuhan yang tadi ia buat menari, telah ia cabut dari tanah dan membawanya mengikuti putarannya yang begitu kencang.
Ia menatap Windy. Ia mengulurkan tangan rentanya kepada Windy, berharap gadis itu akan meraihnya dan masuk ke dalam pusar yang telah ia buat. Tapi, Windy, gadis itu memilih memukul tangan angin dengan besi berkarat yang ada di dekatnya. Windy memukulnya hingga tangan itu sudah tak bisa digunakan lagi oleh angin.
Merasa kesal, Angin mengangkat Windy menggunakan tangannya yang lain, membawanya berputar-putar searah dengan arus yang ia buat.
***
“Maaf aku membuatmu kehilangan tanganmu waktu itu,” ujar Windy menyesal.
“Tak apa, yang penting kau tetap bersamaku sekarang. Dan, takkan pernah pergi lagi.”
Windy bangun dari posisinya berbaring, berjalan keluar dari kamar yang sudah dipenuhi sarang laba-laba itu. Ia menatap ibunya yang duduk di luar, sembari menatap TV yang sedang menayangkan berita perihal polemik politik yang semakin panas–karena pemilu beberapa waktu lalu.
Windy melanjutkan perjalanannya ke belakang rumah. Ia melihat nama yang tertulis di batu berwarna putih itu lengkap dengan dua tanggal yang entah harus disebut apa. Sekali lagi ia pastikan dengan mengejanya satu per satu. Sudah, Windy kembali berbaring di gundukkan tanah yang sudah ditumbuhi rumput-rumput liar–seperti yang ia lakukan sejak tiga tahun belakangan. [*]
Vianda Alshafaq, seorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.