When Frankie Meets Kunty

When Frankie Meets Kunty

When Frankie Meets Kunty
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Gadis itu mematut-matutkan wajahnya di depan cermin, memandang dengan saksama. Tak seperti di  hari-hari  biasanya, berdiri sebentar di depan kaca, menyaputkan bedak tipis-tipis ke wajah; menyisir rambut yang terurai panjang dan mengucirnya. Kemudian ia bergegas  pergi seraya menyambar tasnya dengan terburu-buru.

Kali ini ada yang berbeda, ia begitu tekun menghiasi wajahnya. Seolah tak memercayai cermin miliknya. Cermin yang bahkan lebih tua dari usia gadis itu, terlihat dari bingkainya yang begitu kusam. Ya, cermin tua itu menyimpan banyak kenangan. Seperti sebuah kamera yang mengabadikan setiap perubahan yang terjadi di wajahnya. Dari seorang gadis kecil belia yang harus berjinjit untuk mengepaskan wajahnya ke kaca, kemudian wajah yang bulat seperti jeruk berubah menjadi lebih tirus, dan cantik menawan. Semuanya tersimpan rapi oleh cermin. Bahkan sedikit sentuhan bekas penyakit cacar yang menempel di dekat hidungnya ketika ia masih berumur delapan tahun, tetap terlihat di atas permukaannya yang rata.

Mirrormirror in the world, Apakah cermin pernah berbohong?” Ia bertanya dalam hati.

***

Cahaya lampu di kamarnya memang temaram dan suram, tetapi tak mampu menghalangi kejelian pandangan matanya. Gadis itu  sedang tenggelam, melakukan apa yang diinginkannya. Menyapukan alas bedak di pipi, memberi perona mata di sekitar kelopak matanya, lalu memberikan sentuhan eyeliner di sekitar garis mata. Ia seperti menikmatinya. Kemudian gadis itu memandangi kaca. Melihat hasil sentuhan akhir … ia tersenyum, lalu tertawa, dan kemudian menampakkan wajah yang cemberut. Ia merasa hiasannya lebih tepat untuk seorang gadis yang akan pergi ke sebuah pesta Halloween ….

Gadis itu mengambil beberapa lembar tisu dan menghapus riasannya hingga tak berbekas. Dan memutuskan kembali mengulang dari awal. Memilih warna yang berbeda.

Pasti ada efek yang tak sama, warna tak mungkin berbohong ….

Jika tadi ia sengaja memilih warna-warna yang lembut, kali ini ia memilih warna yang lebih menyala. Entahlah, ia mencoba-coba saja. Disaput-saputkan alas bedak atau foundation sekenanya. Masa bodoh! Toh, hasilnya pasti terlihat sama, pikirnya. Hanya saja ia membuat riasan yang sedikit lebih tebal. Mungkin untuk menyamarkan wajahnya yang pucat, atau  menyamarkan wajah yang sebenarnya? Mungkin juga untuk menyesuaikan warna perona mata yang lebih menyala. Hanya gadis ini yang tahu. Tetapi tak lama berselang, gadis ini kembali kecewa. Lagi-lagi hiasan wajahnya tampak lebih sesuai untuk seorang gadis yang akan pergi ke pesta Halloween!

***

Seorang lelaki berbadan tinggi besar dan kekar datang. Wajahnya sangat menyeramkan. Carut marut, penuh bekas jahitan dari beberapa sayatan luka yang telah mengering. Lelaki itu menyapa dengan suaranya yang berat dan parau, terdengar seperti suara mahluk neraka yang sedang kehausan.

“Oh, my dear. Are you ready tonight, you look so beautiful.”

Yes, Frankie. Wait a minute, aku hampir selesai.”

“Ka—kamu, meng-a-gum-kan.” Lelaki itu berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Thank you, Frankie sayang. We are gonna merry tonight?”

Of, course, Kunty. A-ku su-dah ti-dak sa-bar.”

“Ayo … let’s go there.”

Gadis cantik berwajah pucat itu segera bangkit dari tempat duduknya. Menyeringai depan cermin. Beberapa bulan yang lalu seorang gadis cantik terjatuh ke dalam sebuah sumur tua. Baru tiga hari kemudian warga di sekitar mengetahui, setelah membaui jasadnya yang sudah membusuk. Dan jasad berbau itu adalah dirinya. Ia sadar ketika Frankie menyapanya. Betapapun ia berusaha sedemikian keras, tak akan pernah mengubah wajah pucatnya.

***

Malam ini, Kuntilanak dan Frankenstein akan menikah. Lewat Tinder, sebuah aplikasi pencari jodoh, mereka tak sengaja bertemu. Dimulai dengan chatting, kencan maya, jatuh hati pada obrolan ke sekian, dan akhirnya ingin mengikat janji. Cinta memang tidak pernah mengenal perbedaan jarak, usia, bahkan lintasan waktu ….

Di sebuah gereja tua, yang telah lama tak digunakan, seorang zombie pendeta tanpa kepala sedang menunggu di depan sebuah altar sederhana. Entah, bagaimana cara ia mengatakannya? kedua sejoli yang sedang mabuk cinta itu tak peduli. Hanya pendeta yang tak biasa itu yang bersedia mengukuhkan cinta mereka. Di sebuah acara pernikahan yang juga tidak biasa.

 

Karna Jaya Tarigan, Bapak dua anak. Seorang penulis pemula yang terdampar di Facebook sebagai dunia baru berekspresi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata