Warung Pak Aki (Terbaik 2 Event POV-Anak)

Warung Pak Aki (Terbaik 2 Event POV-Anak)

Warung Pak Aki

Oleh: Ika Mulyani

Terbaik Ke-2 Event Bulan Juli Loker Kata

Warung Pak Aki dan rumah kami hanya dipisahkan oleh gang selebar dua orang berjalan berdampingan. Dinding kamar mandi kami berhadap-hadapan dengan dinding belakang warung itu. Kadang-kadang, jika aku sedang mandi atau sedang berjongkok buang air besar, aku bisa mendengarkan percakapan antara Pak Aki dengan para pembelinya. Obrolan mereka tidak jelas dan lebih terdengar seperti dengungan. Seperti ketika aku mendengar semua orang di pasar malam yang berbicara serentak. Tapi kalau istrinya Pak Aki yang berbicara, pasti aku bisa mendengarnya dengan amat jelas. Entah mengapa dia selalu bersuara keras kalau bicara di depan Pak Aki. Padahal meskipun sudah tua, Pak Aki belum tuli seperti neneknya Amin. Mungkin Bu Nini sendiri yang sudah tuli.

Pak Aki memang suka mengobrol dengan siapa saja. Bahkan dengan aku. Dia suka sekali menanyakan, apakah aku sudah sekolah? Aku sampai bosan menjawabnya. Aku tidak mau sekolah. Sejak Kak Galih berganti mengenakan celana merah dan baju putih saat pergi sekolah, dia jadi sering dimarahi Ibu. Setiap pagi, siang sepulang sekolah, sore hari, bahkan sampai mau tidur pun masih saja dimarahi. Galih, kalau mandi jangan lama-lama! Nanti terlambat lagi! Dihukum lagi sama Bu Guru! Galih, kalau pulang sekolah ganti baju dulu! Jangan main pakai baju seragam! Galih, jangan main terus! Sudah sore! PR-nya sudah dikerjakan belum? Galih, tidurnya jangan terlalu malam! Nanti besok kesiangan!

Capek sekali aku mendengarnya. Pokoknya aku tidak mau sekolah!

Kenapa tidak mau sekolah? Pasti itu pertanyaan Pak Aki selanjutnya. Aku cuma akan menjawab dengan gelengan. Biasanya karena mulutku sedang mengulum permen ‘kojek’ yang aku terima darinya. Atau karena aku malas saja menjawab. Pernah sekali aku menjelaskan, tapi Pak Aki malah tertawa terbahak-bahak. Menyebalkan sekali.

Walaupun begitu, aku suka pada Pak Aki. Dia selalu memberiku permen ‘kojek’ yang diambilnya dari toples di warung, satu hari satu batang. Bahkan aku sering disuruh Ibu berbelanja tanpa membawa uang. Biasanya ketika Kak Galih pergi ke sekolah dengan memakai dasi dan topi. Atau sehari sebelum Ayah pulang dari tempat kerjanya di kota. Aku tidak perlu bicara apa-apa. Cukup serahkan saja kertas yang berisi tulisan Ibu kepada Pak Aki. Dia tidak pernah bertanya apa-apa dan juga tidak marah karena aku tidak membawa uang. Aku tinggal menunggu dan tidak lama kemudian Pak Aki akan memberiku kantong plastik berisi belanjaan.

“Cepat pulang, ya! Jangan mampir ke mana-mana!” Begitu selalu yang Pak Aki ucapkan setiap kali menyerahkan kantong plastik itu. Tangannya yang sudah keriput mendorong tubuhku untuk segera keluar dari warungnya. Sementara itu, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Persis seperti yang aku lakukan kalau sedang bermain petak umpet.

Apa Pak Aki takut kepada Bu Nini seperti Ibu? Karena Ibu selalu berpesan begini setiap kali menyuruhku ke warung dengan membawa kertas: “Kalau yang di warungnya ada Bu Nini, kamu pulang saja, ya. Jangan berikan kertasnya ke dia. Tunggu saja sampai Pak Aki sendirian yang jaga warung.”

“Kenapa?” Aku mencoba bertanya ketika pertama kali Ibu menyuruhku.

Waktu itu Ibu hanya menggeleng. “Pokoknya berikan ke Pak Aki saja. Jangan ke yang lain!” ucapnya dengan tegas.

Aneh. Padahal wajah Bu Nini biasa saja, tidak menyeramkan. Hanya suaranya saja yang kadang-kadang keras. Malah kalau sedang bicara dengan kucing-kucingnya, suara perempuan tua itu lembut sekali. Kenapa Ibu dan Pak Aki harus takut?

Satu kali, aku ingin cepat-cepat bergabung dengan teman-teman yang sedang bermain lompat tali di kebun kosong di samping rumah Pak Aki. Jadi, tanpa terlalu memperhatikan, aku serahkan kertas berisi tulisan Ibu kepada orang yang tengah menjaga warung. Aku nyaris melompat mendengar gelegar suara Bu Nini: “Apa ini?!” katanya dengan mata mendelik. Suaranya jauh lebih keras dari yang biasa aku dengar dari balik dinding kamar mandi. Saat itulah aku teringat pesan Ibu dan segera meraih kembali kertas itu. Namun sekuat apa pun aku mencoba, aku tidak berhasil merebut kertas itu dari tangan Bu Nini. Rentetan suara Bu Nini berikutnya membuat telingaku seperti berdenging. Aku pun segera berlari pulang. Jantungku berdebar keras sekali. Ibu hanya diam ketika aku menceritakan kejadian itu dengan napas tersengal. Malam harinya, kami makan dengan menu nasi goreng polos, tanpa telur seperti yang biasanya Ibu buat. Bau nasi goreng itu juga sedikit aneh. Seperti bau ikan asin yang kegosongan.

Sejak hari itu, selalu Bu Nini yang berjaga di warung. Jadi aku tidak bisa memberikan kertas berisi tulisan Ibu kepada Pak Aki. Berkali-kali aku berjalan bolak-balik dari pintu belakang rumah ke jendela kecil di dinding belakang warung untuk mengintip, tapi tetap saja Pak Aki belum kelihatan.

“Apa Pak Aki sakit, ya, Bu?” tanyaku sambil menyerahkan kembali kertas itu kepada Ibu dan membayangkan sebatang permen ‘kojek’ yang manis.

Ibu diam saja dan buru-buru mengusap sudut matanya. []

Ciawi, 24 Juli 2023

Ika Mulyani, emak-emak yang belum pernah mengucapkan Selamat Hari Anak kepada anak-anaknya. Baginya, setiap hari adalah hari milik mereka.

Leave a Reply