Warung Kopi Belakang Sekolah

Warung Kopi Belakang Sekolah

Warung Kopi Belakang Sekolah

Oleh: Reza Agusteen

Melewatkan jam sekolah bukan lagi sebuah hal tabu untukku, terlebih setelah aku masuk ke sekolah kejuruan. Memiliki teman bergaul yang satu aliran membuatku makin leluasa menyelinap keluar sekolah. Sekadar mengisap sebatang rokok dan makan nasi rames dengan porsi lebih banyak dibanding makanan kantin. Melongok pada jendela, kami mendapati para guru sedang asyik bercengkrama di ruangan mereka. Ini juga yang menjadi faktor mengapa membolos lebih menyenangkan daripada terdiam di kelas tanpa melakukan apa-apa. Toh, guru-guru kami juga tidak terlalu peduli. Memanjat tembok pembatas, kami yang berawak lima orang segera mencari tempat duduk di warung kopi belakang sekolah. Terkadang kami bertemu beberapa guru atau staf sekolah. Alih-alih dimarahi dan disuruh kembali, mereka malah mentraktir kami. Menyenangkan sekali bukan.

“Katanya Pak Agus yang biasa nraktir kita lagi diopname sekarang. Tifusnya kumat gegara sering jajan di sini,” Beni bicara seenaknya, tak menyadari kalau ibu pemilik warung menatapnya sengit.

“Hush, ngomong enak ya. Sakit ya sakit nggak usah dihubungkan sama warung saya. Tiap hari hutang, masih aja protes.” Alisnya bertaut tanda kesal, lantas memulas wajah Beni dengan lap kompor yang menghitam. Meninggalkan noda-noda hitam nan syahdu pada wajah Beni. Yang tentunya disambut dengan urakan bahagia kami.

“Makanya Ben, jangan ngomongin kejelekan orang! Kualat ‘kan?” Danar menimpali, sedangkan aku hanya tersenyum di ujung bibir sambil menyesap kopi hitam.

“Danar mentang-mentang udah punya pacar ngomongnya jadi sok baik. Padahal orangnya bejat gitu,” Rizal mengobor-obori. Rizal memang bukan tipe orang yang suka diam. Bahkan tangannya yang gatal mengutil beberapa remah gorengan. Melemparnya pada Danar seolah-olah Danar adalah ikan lele di empang. Yang mulutnya terbuka dan tertutup meminta makan.

“Lu juga sama bejatnya ‘kan? Jago banget ngatain orang.” Danar tak mau kalah, tapi tangannya tak seusil Rizal. Dia lebih memilih membersihkan serpihan-serpihan kotor yang menumpuk di celananya.

“Itu Si Adit senyum-senyum sendiri ngapain ya? Dari tadi nggak mau ngomong.”Rizal menunjukku dengan tatapan selidik. Padahal bukan hanya aku yang diam saja di sini. Tara juga sama sekali tak bersuara. Anak satu itu sibuk membaca potongan koran yang jadi bungkus nasi kucing.

Aku menarik ujung bibirku dengan jari, memperlihatkan bagian dalam bibir yang dipenuhi sariawan parah. Terakhir kali aku melihatnya tadi pagi sudah memenuhi separuh bagian dalamnya. Karena sariawan ini aku tidak masuk selama dua hari.

“Lu masih sakit ya? Pantes dari tadi nggak ngomong,” Danar akhirnya menimpali. Akhirnya mereka memilih untuk tidak bicara denganku.

Sebuah sentuhan di punggung membuatku menoleh pada Tara. Dia menyodorkan padaku potongan koran yang ia baca tadi. Sambil sesekali melirik pada ibu warung yang tengah sibuk menggoreng.

“Seorang pria berusia lima puluh tahun berinisial S dilaporkan menghilang setelah pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.” Membaca dalam hati, aku sedikit menerka-nerka kata selanjutnya yang mulai memudar karena minyak. “Diduga S menghilang setelah bertengkar dengan istrinya yang bernama Warni karena masalah ekonomi.”

Aku segera menoleh pada ibu warung yang kebetulan punya nama yang sama. Dan rupanya Tara juga punya kecurigaan yang sama. Ia membuka mulut, hanya membentuk kata-kata tanpa bersuara. Meminta ponselku untuk ia pakai. Maklum saja, Tara tidak pernah membawa ponselnya yang hanya bisa buat main ular-ularan. Ia mengetik sesuatu, memainkannya sebentar sebeluk akhirnya menunjukkan padaku sesuatu. Sebuah artikel yang baru saja keluar pagi ini dari situs pemberitaan daerah.

“Jenazah seorang pria paruh baya ditemukan dengan kondisi dimutilasi. Jasad yang tidak diketahui identitasnya ini ditemukan tanpa jari yang lengkap dan bola mata. Sampai saat ini pelaku belum dapat diketahui,” aku membaca dalam lirih. Kecurigaanku kepada ibu warung mencuat karena selama ini ia tidak pernah bercerita tentang keluarganya.

Tara meminta ponselku lagi, kali ini ia ditatap oleh ibu warung yang nampaknya curiga pada kami. Walaupun wanita itu pada akhirnya kembali fokus pada gorengannya. Tanpa bersuara Tara menunjuk sebuah artikel tentang pesugihan. Yang isinya membuatku ingin muntah. Dalam artikel itu disebutkan bahwa anggota tubuh manusia bisa membuat makanan menjadi lebih enak, bahkan bisa membuat orang tergila-gila ingin memakannya lagi. Mataku membola, pun dengan Tara yang menatapku sambil mengangguk. Dengan diam-diam ia mengangkat taplak panjang yang menutupi meja, di bawah sana aku bisa melihat sebuah peti berisikan es. Yang ketika dibuka oleh Tara, aku bisa melihat jari yang utuh.

Tak mampu menahan rasa ingin muntah. Aku segera keluar, memuntahkan isi perutku. Beni dan Rizal berlari keluar menyusulku.

“Lu sakit apa sih Dit? Pulang aja kalo masih nggak enak badan,” kata Beni.

“Lu nggak kasihan sama Danar tuh, dia lagi asyik makan terus lu muntah di sini. Pasti dia udah nggak mau makan lagi,” dan Rizal menimpali tanpa melihat situasi. Sikutan Beni bersarang di ulu hatinya dengan pelan.

Tak ingin menahan diriku lebih lama di sini. Aku mengetik pesan online pada mereka. Kusuruh mereka segera membayar dan kembali ke sekolah. Aku segera berlari menuju sekolah setelah tubuhku agak mendingan. Aku menuju ruang BP, Pak Ahmad kebingungan denganku. Biasanya ialah yang menyeretku ke sana, tapi hari ini dengan tumbennya aku seperti “menyerahkan diri”. Dan entah dari mana, walau dengan terbata-bata akhirnya aku bisa bicara. Membuat Pak Ahmad kaget dengan apa yang aku temukan di warung kopi itu. Tak berselang lama Pak Ahmad segera mengumpulkan teman-teman seperjuanganku. Dan anehnya aku tak mendapati Tara di sana. Apa dia juga ikut tertangkap?

“Lu ngigo ya Dit, Tara udah dua hari ini nggak masuk. Dia ilang tahu, bapak sama ibunya juga lagi nyariin.”

Lalu yang dari tadi berada di sampingku siapa?

***

Semuanya menjadi jelas saat ibu warung, sebut saja Warni ternyata memang seorang pembunuh. Bukan satu dua orang saja yang mati di tangannya. Ada tujuh orang yang ia bunuh, sebagai bagian dari ilmu penglarisnya. Salah satunya adalah suaminya. Dan yang aku takutkan rupanya terjadi. Jasad Tara ditemukan pada hari ini, dengan jari-jarinya tersimpan rapi pada peti es itu.(*)

Reza Agustin, lahir di Wonogiri pada dua puluh tahun yang lalu pada 20 Agustus 1997. Penggemar drama korea dan webtoon, kunjungi instagramku dengan mengetik @reza_minnie.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita