Warisan
Oleh : Siti Nuraliah
Empat puluh hari sepeninggal suami. Empat anak saya yang sudah berumah tangga kembali berkumpul di rumah sederhana ini. Rumah yang tak pernah dibangun dengan batu-bata meski bilik-bilik dari bambu yang dianyam sudah lapuk. Mendiang suami memang pekerja keras. Ia laki-laki yang selalu semangat bekerja—menggarap sawah dan berkebun. Tanah darat kami berhektar-hektar, begitu pun dengan sawah. Bahkan, kami hampir lupa menghitung berapa jumlah petaknya. Suami saya terkenal dengan sebutan juragan tanah. Tapi untuk sebuah rumah, ia kerap kali tidak pernah peduli. Sebenarnya saya punya lima anak, tapi satu belum berumah tangga.
Hari ini saya memasak lebih banyak. Dibantu anak perempuan bungsu saya yang belum menikah. Sesuai wasiat bapaknya, si Bungsu diminta untuk dinikahkan dengan anak temannya yang seorang santri. Dan itu membuat Anes, anak keempat saya, mengamuk. Anes merasa tidak adil, sebab ia pernah gagal menikah dengan laki-laki saleh, yang merupakan seorang santri. Suami saya dengan suara kencang pernah menunjuk-nunjuk Anes yang sudah menangis sesenggukan sambil bersimpuh di kakinya. Katanya, “Kamu lihat, jari-jari dan kukunya begitu bersih dan halus. Mana bisa suamimu diajak menggarap sawah dan kebun.”
Belado ikan tongkol, sayur asem, sambal terasi, goreng tempe, dan lalap daun singkong rebus tersaji di meja kayu. Di kampung, makanan seperti ini sudah nikmat luar biasa. Dibandingkan dengan makanan di kota, seperti yang pernah saya makan ketika berkunjung ke rumah Adah, anak kedua saya yang satu-satunya dibawa merantau ke kota oleh suaminya. Di sana saya dibelikan makanan berupa kue yang di atasnya diberi sambal, irisan daun bawang, bakso, dan segala rupa yang saya tidak tahu namanya. Kata Adah, sekali-kali saya harus mencicipi makanan kota. Tapi tetap saja, lidah kampung saya menolak dan perut saya mulas.
Tadi saya sudah menyuruh Tono, anak cikal saya, untuk mengambil daun pisang di kebun belakang rumah. Saya ingin makan digelar tanpa piring. Kami duduk melingkar, di tengah-tengah kami sudah terhampar daun pisang yang di atasnya sudah terhidang nasi liwet yang masih mengepul serta lauk-pauknya. Saya baru merasa enak makan lagi setelah sepeninggal suami. Mungkin karena semua anak-anak saya kumpul. Jadi, saya tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Meski semasa hidupnya suami saya bukan suami yang begitu perhatian. Ia suami yang cuek dan berwatak keras. Akan tetapi, saya tetap saja merasa kehilangan.
Untunglah, Tono meminta semua adik-adiknya untuk berkumpul hari ini. Saya juga punya beberapa wasiat dari suami saya untuk disampaikan kepada anak-anak.
Kami makan tanpa banyak bicara. Orang tua dulu melarang kami mengobrol saat makan, pamali katanya. Itu juga yang saya terapkan kepada anak-cucu saya. Sehingga pada saat makan, kami tidak ada yang bicara.
***
Tono meminta semuanya untuk berkumpul di ruang tengah. Adah, Yanti, Anes, si Bungsu, dan saya. Saya sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Tono. Si cikal yang paling keras ini pastilah ingin segera membahas soal warisan. Apalagi ia merasa anak laki-laki satu-satunya. Ia berhak mengatur dan memutuskan pendapat yang sudah bakal susah ditolak.
Sebagai pembuka, saya yang lebih dulu memulai menyampaikan beberapa pesan mendiang suami saya kepada kelima anak saya.
Pertama tentang perjodohan si Bungsu, kedua tentang pembagian harta warisan. Tapi untuk perihal yang kedua ini, Tono lebih dulu menyangkal pembicaraan saya.
“Emak tidak usahlah mendapat bagian warisan dari harta Bapak. Lagi pula Emak sudah tua, sudah tidak kuat untuk menggarap kebun dan sawah.” Seperti terpukul palu godam hati saya mendengar ucapan Tono. Saya diam, padahal tubuh saya menggigil menahan amarah, seperti yang saya lakukan setiap kali beradu omong dengan mendiang suami: diam dan mendengarkan.
“Begini saja, Emak mendapat bagian tanah dan rumah yang sekarang jadi tempat tinggal, beserta tanah kebun belakang.” Tono meneruskan pendapatnya. Sementara saudaranya yang lain, karena merasa perempuan, mereka tidak berani menyangkal, begitu pun para menantu saya. Padahal saya tahu dalam hati mereka, mereka semua tidak setuju.
Keempat anak perempuan saya menatap saya dengan iba. Tapi saya mencoba mengalihkan pembicaraan. “Terus menurut aturanmu bagaimana? Berapa-berapa bagian untuk kamu dan untuk saudara-saudaramu?”
“Sing penting adil, Kang,” ucap Anes penuh penekanan.
“Ya, adil, karena aku anak laki-laki tertua dan satu-satunya, maka aku berhak menentukan dan mengambil setengah harta tanah milik Bapak, di sebelah selatan itu menjadi milikku. Setengahnya adalah bagian kalian untuk dibagi empat, begitu pun dengan sawah. Kalian akan aku bagi rata, masing-masing mendapat tujuh petak sawah saja, itu pun bagian si Bungsu, karena dia belum menikah, maka untuk sementara bagiannya aku yang garap.” Tono berbicara dengan lantang. Jantungku seperti ingin melompat keluar.
Yati melotot, ia tidak terima keputusan kakaknya. Begitu pun Adah dan Anes. Si Bungsu yang belum berumah tangga tidak begitu banyak merespons. Tapi dari raut mukanya, saya melihat ketidaksukaan kepada kakaknya.
“Itu namanya tidak adil, Kang. Lagi pula, sawah Bapak itu banyak. Masa kita hanya dapat tujuh petak saja. Dalam agama pembagian harta warisan bukan begitu caranya.” Yati menyangkal dengan wajah memerah.
“Tahu apa kamu tentang adil? Tahu apa kamu tentang agama? Kenapa aku mendapat bagian lebih banyak? Karena aku laki-laki, yang membawa nafkah untuk keluarga. Sedangkan kalian perempuan, kalian punya suami, kalian dinafkahi.” Suara Tono melengking-lengking. Urat lehernya sampai menonjol-nonjol. Para menantu saya semakin menundukkan kepala tidak berani menatap wajah Tono. Ah, mereka seperti tidak punya nyali atau memang mereka tahu diri.
Dada saya terasa sesak. Tinggal satu kedipan lagi, cairan mata yang menggenang sedari tadi akan meluncur turun membasahi pipi tirus saya. Saya pun merutuki diri, karena tidak bisa melerai debat kusir antara kelima anak saya. Sekuat apa pun keempat anak perempuan saya membela haknya masing-masing dan membela saya, tetap keputusan Tono seperti keputusan rezim yang punya harga mati.
***
Malam ini, rumah sederhana saya kembali hening. Si Bungsu telah masuk ke kamarnya, sehabis memijit kaki dan pundak saya yang sering pegal-pegal. Saya merebahkan tubuh di dipan. Suara Tono tadi siang memenuhi isi kepala saya, bersahutan dengan suara keempat anak perempuan saya. Kemudian saya menarik selimut menutupi tubuh yang terasa dingin. Air mata saya mengalir lagi. Saya ingin lelap dan tidak ingin bangun lagi. (*)
Banjarsari, 1 Mei 2021.
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata