Wanita yang Menyebut Dirinya Ayah

Wanita yang Menyebut Dirinya Ayah

Wanita yang Menyebut Dirinya Ayah

Oleh: Ika Marutha

Aku sedang terpaku memandang warna rambutnya. Entah harus kunamai dengan sebutan apa untuk warna rambut itu. Warnanya campuran bara api dengan oranye matahari. Warna yang dipilih ibuku untuk rambutnya yang dipotong cepak seperti tentara.

“Mulai hari ini, jangan panggil aku Ibu, tapi Ayah.” Begitu ibuku berkata.

“Ibu, kau bicara apa?” Aku kira Ibu sedang bercanda.

“Heh! Kubilang apa tadi?” Ibu melotot ke arahku. “A … yah. Panggil aku Ayah.”

“Ah, ya. Ayah? Tapi, kau wanita, mana bisa jadi ayah?”

“Aturan dibuat untuk dilanggar,” sahut Ibu singkat.

Ternyata Ibu serius dengan ucapannya. Dia ingin aku memanggilnya Ayah. Dia benar-benar marah kalau aku bersikeras memanggilnya Ibu. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

Ibu membongkar lemari baju, mengeluarkan semua gaun dan baju-bajunya yang berenda dan berbunga-bunga. “Ada yang kau suka? Ambillah! Sisanya akan aku buang ke tempat sampah.”

Aku mendekat, meraih baju-baju yang berserakan di atas tempat tidur. “Ini masih bagus-bagus. Kenapa dibuang?”

 

“Aku tidak butuh. Aku ini ayah. Harus pakai celana dan kemeja seperti seorang ayah.”

“Ibu ingat gaun ini?” Aku menarik sehelai gaun kelabu dengan pinggiran bermotif bunga bakung kuning. Hadiah dari Ayah.

Ibu merebut gaun penuh kenangan itu dari tanganku lalu menjitak kepalaku. “Sekali lagi kau panggil aku Ibu dan bukan Ayah, tidak ada uang saku untukmu. Lupakan! Kurasa baju-baju ini tak ada yang pantas untukmu. Terlalu kuno! Usang! Benda-benda berbau masa lalu yang tengik memang sudah seharusnya kusingkirkan sejak lama.”

Perlahan-lahan Ibu serupa dengan Ayah. Dia bangun pagi-pagi benar, tapi tidak untuk memasak di dapur seperti biasanya, melainkan pergi bekerja.

Dia membeli satu setel jas, mirip dengan yang biasa dipakai Ayah dulu untuk berangkat ke kantor, dan memakainya setiap hari. Sama seperti Ayah, Ibu berangkat pagi dan pulang larut malam. Tidak pernah di rumah.

Ibu pun jadi lebih pendiam, tidak sebawel dulu saat masih menjadi ‘ibu’. Saat dia di rumah, wajahnya selalu terlihat serius, pandangan matanya tajam, fokus kepada layar laptopnya. Sambil sesekali dia mengembuskan asap rokok, sesekali juga dia mengirup kopi hitam. Persis seperti Ayah.

Suatu hari kuceritakan hal itu kepada kawan karibku, Nuri. “Nur, ibuku berubah.”

“Berubah bagaimana?”

“Berubah jadi pria.”

“Hah? Masak? Operasi kelamin? Transgender?” Mata Nuri membeliak.

Aku mengibas udara. “Ngawur! Ibu tidak sampai operasi. Amit-amit jabang bayi, jangan sampai!” Aku bergidik.

“Terus, maksudnya apa? Cerita yang jelas!”

Aku menceritakan semua kepada Nuri, tak ada yang dikurangi, tak ada yang dilebihkan. Dia mendengar semua kata-kataku tanpa menyela, meski aku tahu dari tatapan matanya betapa banyak yang ingin dia tanyakan, tapi dia menahan dirinya dengan baik, menunggu dengan sabar sampai aku selesai.

“Kau tidak bertanya, kenapa ibumu jadi begitu? Siapa yang masak? Cuci-cuci? Bersih-bersih rumah?”

Bahuku merosot. Mendadak aku merasa lelah. “Rumah berantakan sejak Ibu berubah menjadi Ayah. Rumah jadi sepi, suram, dingin, bikin tidak betah. Setiap aku pulang sekolah, tak ada seorang pun menyambutku. Rumah yang kuhuni sejak kecil, kini bagaikan tempat asing yang tidak kukenali lagi.”

Nuri menepuk-nepuk bahuku.

“Harus bagaimana? Aku mau Ibu kembali!” Aku menatap Nuri. Suaraku serak seakan-akan ada sesuatu mengganjal tenggorokanku.

“Kau bilang sama ibumu, kau ingin dia kembali. Bilang, kau butuh seorang ibu, bukan ayah jadi-jadian.”

Aku mengikuti saran Nuri.

Plak! Dan tamparanlah yang kudapat dari Ibu.

“Kau mau ibumu kembali, hah?” Ibu teriak-teriak. Matanya merah. “Ibumu sudah lama mati sejak pria keparat itu menghamili jalang lain. Mau kau korek kuburannya? Kosong! Perempuan yang dulu kau sebut Ibu sudah menguap sia-sia, sama seperti kisah putri duyung yang menghilang jadi buih. Tidak, anakku, tidak! Kau tidak butuh seorang ibu yang lemah semacam itu. Yang kaubutuhkan adalah ayah. Karena kau perempuan dan hanya seorang ayah yang mampu menjagamu. Aku ayahmu!”

Aku menahan tangis yang mau tumpah sekalian menahan sakit di pipi. Aku menyesal mengikuti saran Nuri. Aku takut dengan apa yang ibu katakan. Bisa-bisa, bukan saja aku nanti kehilangan Ibu tapi juga ‘Ayah’.

Aku menggeleng. “Maaf, I- … A-ayah ….”

Ibu menjatuhkan diri di lantai. Dia terlihat lebih kesakitan dari pada diriku. Tangannya gemetar.

Aku duduk di dekatnya, meraih telapak tangannya, menempelkannya di pipi yang tadi dia tampar.

“Maaf, maaf, maaf, Ayah. Kau tidak akan pergi meninggalkanku, ‘kan?”

Dia wanita, dia ayahku, tersenyum kepadaku sambil mengusap kepalaku.

Banten, November 2021

Ika Marutha, perempuan lulusan fakultas kedokteran yang suka dengan fiksi dan sastra. Beberapa cerita pendeknya sudah diterbitkan dalam buku antologi yang ditulis bersama penulis-penulis lain dari berbagai komunitas literasi.

 

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply