Wanita yang Menolak Menua

Wanita yang Menolak Menua

Wanita yang Menolak Menua
Oleh : Erlyna

“Demi apa pun, aku tidak akan pernah menjadi tua!”

***

Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi tua. Wajah penuh kerutan, rambut memutih dan tubuh yang kian melemah. Ditambah lagi ingatan yang sepertinya mulai meninggalkan kepala satu per satu.

Sore ini Nenek Dul kembali duduk di sini, di bangku santai yang terbuat dari susunan bambu yang disatukan. Matanya menatap lurus ke depan, mengamati lalu-lalang kendaraan yang seolah-olah tidak pernah berakhir. Sesekali ujung bibirnya tertarik ke atas, menciptakan senyuman kecil di wajahnya yang kisut. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Aku mengenalnya cukup baik. Dulu, beliau adalah orang yang mengajariku mengenal huruf hijaiah, memperkenalkan padaku apa itu harakat dan mendalami tajwid. Dulu, selepas magrib, aku dan teman-teman seusiaku akan berbaris di hadapannya. Mengantre untuk membaca iqra. Nenek Dul biasanya duduk bersandar di pinggir dipan bambu. Tangannya sibuk mengupas petai jualannya yang tidak laku. Sementara mulutnya mengunyah tembakau dengan warna kemerahan, mengeluarkan bau yang khas.

Nenek Dul bukanlah orang yang ramah. Beliau akan mengomel jika kami– aku dan teman-teman yang lain– salah dalam mengeja. Matanya yang semula terkantuk-kantuk akan melotot, diikuti bentakan keras yang menyebabkan percikan air ludahnya yang merah memenuhi halaman iqra.

Di kehidupan sehari-hari, aku hampir tidak pernah melihat beliau tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya yang bulat dengan alis tebal, lebih sering menatap tajam dari pada tersenyum. Bahkan saat anak pertamanya yang sangat disayangi menikah dan aktivitas mengajari anak-anak mengaji diambil alih oleh menantunya yang lulusan pondok pesantren terkenal di Jawa Timur, Nenek Dul terlihat lebih sering diam. Alih-alih bangga langgar kecilnya semakin ramai. Beliau justru memilih mengasingkan diri di dalam rumah dan tidak pernah lagi mengajari aku dan teman-teman mengaji.

Sore ini, setelah sekian tahun tidak melihatnya, aku tertegun cukup lama. Menyadari betapa waktu telah begitu cepat menelan usianya. Sosok yang dulu hampir setiap hari kulihat, kini seperti menjelma menjadi orang lain. Orang lain yang belum pernah kutemui sebelumnya. Orang lain yang kini terasa menakutkan, setidaknya menurut perasaanku.

Tiba-tiba beliau tertawa. Kali ini cukup keras. Aku yang berdiri cukup jauh begitu tertarik untuk mendekat. Kupandangi wajahnya lekat-lekat, dan aku terkesiap. Tawanya barusan bukanlah sebuah tanda bahagia. Ada air mata di sana, air mata yang dikeluarkannya dengan perasaan berat. Air mata yang penuh dengan emosi. Aku ingat, terakhir kali melihat beliau memasang ekspresi seperti ini. Saat anak pertamanya meninggal karena sakit. Saat itu beliau terdiam cukup lama, menatap halaman yang dipenuhi orang lalu-lalang menyiapkan pemakaman. Tatapannya kosong. Kemudian gelas berisi teh hangat yang digenggamnya tiba-tiba jatuh dan pecahannya berserakan di lantai. Saat itulah kesadarannya seperti baru saja dikembalikan. Beliau tertawa, tawa yang penuh dengan air mata.

Setiap orang mempunyai hati yang bahkan lebih dalam dari lautan. Kita tidak bisa mengukurnya, bahkan jika itu adalah kedalaman hati kita sendiri. Hati manusia adalah sekumpulan perasaan yang sarat emosi. Tak terkomposisi, tak teraransi.

“Pulang … bawa saya pulang!”

Aku tersadar dari lamunan. Suara Nenek Dul barusan terdengar seperti permohonan. Apakah beliau sedang memohon? Kepada siapa? Kenapa? Pulang ke mana?

“Pulang ….”

“Pulang ….”

“Pulang!”

Tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menarik dengan cepat. Cukup kuat hingga membuat beliau hampir terjengkang ke belakang.
Pemilik tangan itu adalah Pak Edi, laki-laki paruh baya yang tinggal di samping rumah Nenek Dul.

Pak Edi membawa Nenek Dul menyusuri jalan sempit. Tidak! lebih tepatnya menyeret. Pandangan Nenek Dul yang semula tenang mendadak berubah nyalang, seperti hendak mengeluarkan senjata pemusnah dari matanya.

Aku hanya diam, menatap mereka menjauh tanpa melakukan apa-apa.


Keesokan paginya aku duduk lebih dulu di bangku bambu itu. Menikmati lalu lalang kendaraan yang didominasi sepeda motor dan penumpang berseragam sekolah. Aku kembali teringat, masa-masa sekolah yang penuh warna. Terlebih lagi saat menjadi pasukan putih abu-abu. Masa di mana tidak akan pernah cukup kertas untuk menuliskan kisahnya. Ah, tiba-tiba aku ingat Jean.

Jika ada yang bilang masa remaja adalah masa paling menyenangkan, orang itu pasti telah melaluinya.

Aktivitas nostalgiaku terpotong tiba-tiba. Seseorang duduk di sampingku sambil menghela napas. Apa yang terjadi?
Kutatap wajah Nenek Dul yang jauh lebih kusut dibanding terakhir kali aku melihatnya. Bahkan kerutan-kerutan di sana, seperti sedang berlomba-lomba untuk menghapus mata, hidung, dan bibirnya.

Lalu … darah?
Kenapa ada darah di pelipisnya? Ditambah lagi pakaiannya yang sobek di beberapa bagian? Dan … uhhh! Tubuh Nenek Dul pesing sekali. Akan tetapi yang lebih mendominasi dari semua itu adalah … kepalanya yang botak.

Nenek Dul terdiam cukup lama, seolah-olah membiarkan sepasang mataku memelototi sosoknya hingga puas.

“Di dunia ini, tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya hancur ….”

Aku terhenyak mendengar apa yang baru saja digumamkan oleh Nenek Dul. Anak? Apa yang terjadi pada anaknya?

Mendadak sesuatu menamparku. Tidak, lebih tepatnya aku tertampar oleh perkataan yang kudengar. Benar kata Nenek Dul, tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya hancur. Lalu bagaimana dengan anakku sendiri? Apakah …?

***

Hujan bulan Juni jatuh lebih cepat. Di antara rinai yang semakin deras, petrichor menelusup ke dalam hidungku. Kuhentikan aktivitas membaca artikel tentang Autoerotic sejenak, lalu menikmati butiran-butiran air yang jatuh ke bumi lewat jendela yang terbuka. Sejuk sekali rasanya.

Lamunanku buyar saat mendengar ponsel berdering, tanda panggilan masuk. Aku mengernyitkan dahi sekilas saat menatap nama di layar ponselku. Wali kelas Jean, ada apa, ya?

Napasku tertahan demi mendengar laporan dari wali kelas anak semata wayangku. Dadaku sesak. Sesak luar biasa. Aku ingin menangis, menjerit, tertawa, aku … rasanya benar-benar ingin … ah!

Kulangkahkan kaki dengan cepat ke lantai dua. Kubuka pintu kamar dengan emosi yang meluap-luap.
Di atas ranjang, kulihat seorang laki-laki sedang tidur dengan telanjang dada. Matanya refleks terbuka saat aku mengempaskan pantat di sampingnya.

“Sayang …,” gumamnya lirih.

Aku tersenyum manis ke arahnya, menatap wajah bercambang itu cukup lama, sebelum akhirnya mendesah saat dia perlahan-lahan menanggalkan pakaianku.

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat artikel tentang Autoerotic yang tadi kubaca.

“Aku tahu sudah lama kamu menginginkan ini. Aku bahkan mencari tahu di internet bagaimana cara meningkatkan gairahku yang tiba-tiba padam,” ucapku sambil tersenyum.

“Oh, ya? Kamu memang yang terbaik, Sayang.”

Aku menatap sosoknya cukup lama, membiarkan sepasang tangannya bermain di tubuhku. Tepat setelah tubuhnya memanas dan napasnya memburu, aku mulai menahan napas. Meletakkan tangan di leherku sendiri, sebelum akhirnya gairahku benar-benar meningkat. Aku tersenyum puas, artikel yang tadi kubaca benar-benar memberikan cara yang ampuh. Gairahku menggila, sebelum akhirnya aku benar-benar berhenti bernapas karena cekikkan tanganku sendiri.

***

Aku tersenyum dalam tangis yang tidak kumengerti. Kutatap sekali lagi Nenek Dul yang juga sedang tersenyum sambil bersandar di kursi bambu. Wajahnya mengarah ke jalan raya, menikmati lalu-lalang kendaraan seperti biasa. Ya, semua masih tetap sama.

Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi tua, karena aku orang tua yang pengecut. Aku memilih lari meninggalkan kehidupanku dibanding mendampingi anak semata wayangku yang dikabarkan hamil karena diperkosa ayahnya yang sakit.

Aku memilih lari dari kenyataan yang tidak sanggup lagi kujalani.
Namun, aku sama sekali tidak menyesal telah bunuh diri. Aku beruntung, beruntung tidak perlu menjadi tua dan melalui masa-masa yang menyedihkan seperti Nenek Dul yang kini tubuhnya berubah dingin. (*)

 

Purworejo, 4 Oktober 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply