Wanita yang Mencoba Berdamai

Wanita yang Mencoba Berdamai

Wanita yang Mencoba Berdamai
Oleh : Zuya

Banyak orang yang takut padaku. Mereka akan bergidik ngeri jika mendengar kabar berita yang aku berikan. Namun, ada juga yang menantikan kehadiranku. Sayangnya, hanya sedikit orang yang berpikiran demikian. Aku selalu bertanya tentang apa yang menjadi alasan mereka yang begitu menanti kedatangan dan suatu uluran tangan sebagai isyarat menjemput dariku. Anehnya, mereka hanya akan mengatakan hal yang sama: dunia bukan sesuatu yang menyenangkan. Tak sedikit yang menjadi sebab dari kalimat itu karena mereka sudah putus asa pada kesengsaraan. Tampaknya hal itu pula yang menjadi alasan wanita yang selama beberapa bulan ini aku ikuti.

Wanita yang aku ketahui bernama Seyla itu sedang menyusuri sebuah gang yang tidak terlalu lebar, lampu penerang jalan seperti tidak memberi dukungan bagi mata karena hanya memberi cahaya yang sedikit. Suasana juga tampak sunyi, mengingat ini memang bukan waktu yang tepat untuk berada di jalanan. Semua orang tampaknya sudah tertidur pulas di atas kasur sembari mengeratkan selimut agar bisa menghangatkan tubuh.

Seyla masih saja melangkah hingga sampai di sebuah flat. Sebelum mengetuk pintu, dia menyempatkan diri untuk menyeka sisa air mata yang sedari tadi berguguran. Air mata itu sebenarnya masih belum mampu untuk menuntaskan segala sakit hatinya usai mendapat penolakan dari sang kekasih. Jiwanya begitu hancur. Langit seakan runtuh dan membuat semuanya berantakan.

“Kenapa lama sekali pulangnya?” tanya Fira—teman Seyla—usai membuka pintu. “Aku susah tidur gara-gara menunggu kamu. Lihat jam di sana!” Fira menunjuk ke arah jam yang menempel di dinding, jarum pendek sudah menunjukkan angka sebelas.

“Maaf, aku tadi—”

“Jangan bilang kamu menemui Alex lagi! Kamu tahu kalau aku sangat membencinya.”

“Kamu tenang saja, pertemuan tadi akan menjadi yang terakhir. Setelah ini dia bukan siapa-siapa lagi bagiku.” Wanita itu berlalu masuk dan langsung menuju kamar.

Fira membulatkan mata setelah mendengar penuturan Seyla. Dia sedikit kebingungan dan mencubit punggung tangan untuk memastikan bahwa apa yang dikatakan sahabatnya itu nyata. Setelahnya, Fira hanya bisa sedikit meringis merasakan sakit akibat cubitannya sendiri.

Beberapa minggu berlalu, Seyla tampak semakin lesu. Wajah cantik yang selalu dioles beberapa alat make up, kini hanya dihias bedak sekadarnya, tak lupa pula concealer untuk menutupi bagian bawah mata yang kian menghitam karena kurang tidur. Wanita itu terlalu sering berpikir, melamun, dan meratapi nasib diri, tak jarang dia akan menangis sejadi-jadinya merutuki kebodohan diri yang begitu mudah terbuai dan jatuh begitu dalam pada jurang dosa. Namun, sampai detik ini wanita itu masih berusaha tegar dan menutupi semuanya, termasuk dari Fira.

Suatu hari, sepulang kerja, Seyla langsung melaju menuju dapur, mengeluarkan seluruh isi perut di wastafel. Badannya begitu lemas, kepala pusing, tak ada lagi yang tersisa dalam perutnya. Fira yang mendapati Seyla bersandar lesu pada dinding kamar, sontak mendekat dan menatap wajah sahabatnya itu dengan lekat. Sesekali dia menyisir seluruh bagian tubuh Seyla dengan tatapannya, mencoba untuk mengambil sebuah kesimpulan sendiri.

“Kamu hamil?” tanya Fira dengan mata yang disipitkan. Tatapannya begitu tajam membuat sang lawan bicara menjadi sedikit takut.

“Eh, a-a-anu ….”

“Jawab pertanyaanku!” Suara Fira sudah setengah berteriak. “Aku sering mendapatimu seperti ini. Sudahlah, jangan menutupi lagi dariku.”
Seyla hanya bisa menunduk karena manahan malu, lantas mengangguk pelan, sedang bahunya sudah bergetar, linangan air mata langsung tercipta di pelupuk mata dan siap untuk meluncur menuju pipi. Sekarang tak ada lagi yang bisa dirahasiakan. Cepat atau lambat semua pasti terbongkar.

Fira membulatkan mata secara sempurna, lalu dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya beberapa kali. “Sekarang katakan, siapa ayah anak ini? Apakah Alex?”

Seyla mulai memberanikan diri untuk mendongakkan kepala dan menatap wajah sahabatnya. “Iya.”

“Minta dia untuk bertanggung jawab.”

“Sudah, tapi … tapi dia tidak mengakui anak ini.” Semua kalimat yang ada di ujung lidah tertahan karena rasa sesak yang begitu dalam di dada. Hanya air mata yang bisa menjadi isyarat tentang betapa hancurnya keadaannya saat ini.

“Keparat! Orang itu memang kurang ajar. Sini, biar aku yang memberinya pelajaran.” Fira mulai mengambil langkah untuk keluar, tentu saja dia ingin pergi menemui Alex agar mau bertanggung jawab atas kehamilan Seyla. Namun, belum sampai pintu terbuka, Seyla langsung menarik tangannya dan menghalangi langkahnya.

Seyla memohon dengan sangat kepada sahabatnya untuk membatalkan niatnya tersebut. Sebenarnya Fira bersikeras untuk tetap melanjutkan, tapi melihat temannya yang begitu mengiba, dia akhirnya luluh juga.

Masih lekat dalam ingatan Seyla tentang penolakan dan penghinaan yang diberikan sang mantan pacar. Sumpah serapah sudah dia terima, bahkan lelaki itu begitu tega hatinya mengatakan bahwa bisa saja anak yang dikandung Seyla adalah hasil hubungannya dengan lelaki lain. Seyla tak punya bukti kuat yang mampu menunjukkan bahwa anak ini adalah darah daging lelaki itu. Baginya, biarlah anak yang tumbuh dan berkembang dalam rahimnya saat ini menjadi tanggungannya saja. Tak perlu memelas kasih dan iba dari seseorang yang bahkan tak mau menerimanya dan anaknya.

***

Semua begitu sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar menghiasi udara malam ini. Namun, jika didengar lebih saksama, ada sebuah rintihan doa yang juga ikut mengalun, terbawa oleh desiran angin dan membubung tinggi ke langit. Suara itu terdengar lirih dari balik kamar Seyla. Wanita itu tak jemu pada setiap malamnya bangun, menggelar sajadah, dan memohon ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Pipinya tak jarang akan basah karena meratapi nestapa dan kesialan yang menimpa. Namun, dia juga sadar bahwa ini adalah ulahnya sendiri.

Suara Seyla mungkin terdengar pelan di bumi, tapi lantunan doanya begitu kencang bagi para penduduk langit. Tak pernah bosannya selawat, istigfar, dan doa menghiasi langit malam. Kidung kesedihan, putus asa, tapi masih ada sedikit berharap untuk masa depan yang lebih baik, terlebih bagi sang anak yang kini sudah masuk usia tujuh bulan dalam kandungan.

Seyla sudah berjuang habis-habisan sampai akhirnya bisa di posisi ini. Awal kehamilan bukan sesuatu yang mudah karena dia memang tidak menginginkan bayi ini. Namun, dia juga tahu bahwa menggugurkan kandungan hanya akan menambah tabungan dosa yang sudah telanjur banyak.

Perut yang kian membesar juga tak bisa lagi ditutupi. Banyak mata yang selalu melihat Seyla dengan tatapan jijik, bahkan benci. Wanita yang hamil di luar nikah adalah sebuah aib yang akan selalu dihindari. Seyla tak pernah memberi tahu kabarnya yang terbaru pada keluarga yang ada di desa. Dia takut kalau nanti penyakit jantung ayahnya akan kumat jika mengetahui semuanya. Beruntung ada Fira yang selalu menemani di samping wanita itu. Saat Seyla akhirnya harus menerima surat PHK dari atasan, dengan alasan guna mempertahankan citra baik perusahaan, Fira akhirnya berinisiatif untuk menanggung semua biaya hidup Seyla. Bagi Fira, Seyla bukan hanya sahabat, tapi saudara yang harus dijaga betul-betul.

Setiap usai menyelesaikan salat malam, Seyla akan memilih duduk di ruang tamu menunggu waktu subuh tiba, sesekali dia akan memilih bercengkerama dengan sang janin. Berbicara seperti sang anak bisa mendengar dan merespons apa yang dia utarakan.

“Hai, anakku sayang. Baik-baik di sana. Ibu ingin sekali melihat wajahmu, menggenggam tangan mungilmu, dan mendengar suara tangismu. Nanti kalau sudah keluar, jangan merepotkan Ibu, ya!” ucap Seyla, setelahnya tercipta sebuah cekungan sabit yang begitu indah di bibir. Tak berselang lama, pikirannya kembali menerawang tentang lelaki itu—ayah dari anaknya.

Di mana dan bagaimana keadaan Alex saat ini?

Mengingat lelaki itu, membuat mata Seyla menghangat. Dia berusaha meredam, tapi linangan yang tercipta sudah begitu dalam hingga tak bisa lagi dibendung. Sekali lagi, luka yang selalu ditutup rapat kini malah terkoyak dan bertambah perih.

Kutatap nanar semua kejadian itu. Sungguh … sebuah pemandangan yang begitu mengharukan bagi jiwaku. Kasih sayang seorang ibu memang ajaib. Mereka bisa begitu cinta kepada sang anak, walau tak pernah bersua dan mendengar tangis dari bibir mungil si kecil.

“Tuhan, aku seperti tak sanggup untuk melakukannya. Aku begitu takjub pada cinta wanita itu pada anaknya. Aku begitu kalut, apakah tugas yang Engkau beri akan mampu aku lakukan?”

***
Seorang anak berjalan dengan riang untuk pulang. Pipinya yang gembul dan wajah cantiknya membuat semua orang pasti akan terpesona melihat kemolekan parasnya. Tangannya begitu erat memegang es krim yang dia dapat sebagai imbalan atas sikapnya yang begitu baik pada hari pertama di sekolah TK. Kakinya yang mungil tampak lincah menyusuri jalanan dengan ibunya yang berjalan tepat di samping. Nama anak itu Farah. Sebuah nama yang begitu indah disematkan sang ibu, dengan harapan kehidupannya akan selalu diliputi kebahagiaan.

“Mama, nanti pas di rumah masak kue yang banyak, ya.”

Karena gemas, sang ibu menghentikan langkah, sedikit berjongkok, lantas menggendong sang putri. Dia kembali menyusuri jalan dengan tangan yang sesekali mengelus lembut rambut anaknya yang sedang menanti jawaban. “Iya. Nanti Mama buatkan bokkenpootjes yang banyak buat Farah. Suka?” Farah mengangguk dan tersenyum lebar, giginya yang berjajar rapi kini dapat terlihat jelas.

Melihat senyum berhias lesung pipi di kedua sisi pipi si anak membuat hati dan mata sang ibu menghangat. Dia teringat dengan kalimat sang sahabat sebelum pergi untuk selama-lamanya.

Masih lekat di memori, saat tangis bayi baru pecah sebagai tanda dia baru saja lahir ke dunia. Wajahnya begitu manis, tangan dan kaki mungilnya tak henti-hentinya bergerak. Seharusnya ini menjadi momen yang menyenangkan, tapi semua kebahagiaan sirna saat wanita yang baru saja melahirkan dinyatakan kritis.

Fira masuk ke ruangan untuk melihat keadaan Seyla. Matanya mengembun, dadanya sesak karena melihat Seyla yang sangat memprihatinkan. Seyla hanya bisa berbaring karena badannya sangat lemah, matanya mencoba membuka saat Fira baru saja duduk di kursi, tepat di samping ranjang. Dia mulai membuka suara dengan susah payah dan Fira mulai mendekatkan telinganya agar bisa mendengar dengan jelas.

“Aku titip putriku. Jangan biarkan Alex mengambilnya. Aku sungguh tidak sudi.”

Tak berselang lama, napas Seyla melemah hingga akhirnya tak terdengar lagi tarikan napas darinya. Detak jantungnya juga sudah berhenti, seluruh organ tubuh tak lagi bekerja.

Fira menyadari kalau kini sang sahabat telah pergi untuk selama-lamanya. Dia hanya bisa menangis. Ada rasa sakit dan sesak yang begitu dalam di hati karena melihat keadaan Seyla yang harus berakhir dengan kondisi demikian.

Aku berdiri sejajar dengan Seyla yang sedang memandangi semuanya dengan tatapan menghangat. Sedari tadi dia hanya terpaku menyaksikan cinta yang begitu besar telah diberikan oleh sang sahabat bagi anaknya.

“Kamu menyesal ikut denganku?” tanyaku pelan dengan mata yang ikut menatap Fira yang masih begitu sibuk membelah jalanan.

Seyla menghadapkan wajahnya padaku dan aku pun membalasnya. Masih menanti jawab dari wanita yang memiliki bibir yang begitu pucat itu. “Biarlah aku di sini, hanya bisa melihat semuanya tanpa bisa membelai rambut putri kecilku.” (*)

Pemilik nama lengkap Zuhliyana ini adalah wanita kelahiran Banjarmasin, 19 Desember 1996. Dia merupakan seorang guru dan penyiar radio. Mengawali dunia literasi sebagai deklamator. Kecintaannya terhadap karya Buya Hamka membuatnya bertekad untuk terjun lebih serius lagi dalam dunia literasi ini.


Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply