Wanita Korek Api

Wanita Korek Api

Wanita Korek Api
Oleh: Syifa Aimbine

Sudah lama aku tidak menerima tamu, siapa juga yang mau mampir ke rumah yang jauh di tengah padang keputusasaan. Jauh dari segala sentuhan silaturahmi dan hukuman interaksi sosial. Dengan tanah kering merekah kehausan, hampir tidak terlihat ada kehidupan lain kecuali beberapa kaktus yang menghunjam akarnya dalam-dalam mencari sumber kehidupan. Membeli sepi, itulah keunggulan yang ditawarkan properti ini, bebas dari tetangga iseng yang mengeluarkan biji matanya ketika kau membuka pintu, dan tidak perlu memakai masker senyum ketika berpapasan di persimpangan. Sendiri dan bebas, tentu saja aku sangat tertarik kala itu, ketika jenuh dengan segala bentuk interaksi dengan makhluk hidup. Namun, saat jenuhku habis, hanya tinggal sepi yang tersisa. Siapa sangka, sepi mampu mengisap rasa bahagia yang memang stoknya tidak seberapa. Aku berharap rumah ini segera menelanku ke dalam fondasinya yang dalam, gelap dan memilukan. Ya, sebelum ada yang datang di sore ini.

Senja masih terlihat melukis warna kuning oranye di langit ketika ia datang. Ia adalah seorang wanita korek api. Entah bagaimana caranya berjalan ke tempat ini. Dengan tertatih, ia menginjakkan kakinya ke lantai kayu teras rumahku yang berderit. Aku kasihan melihat kakinya–yang terbuat dari kayu pinus–itu berjalan menapaki ladang penuh duri kaktus sebelum tiba di sini. Bahkan ada beberapa duri yang masih menancap di ujung kakinya. Aku membantunya melepas duri-duri itu sambil sesekali dengan sopan mendongak menatap kepalanya yang bulat berlapis fosfor. Ia terlihat agak basah, padahal aku yakin sudah bertahun-tahun tidak pernah ada hujan di daerah ini. Mungkin itu air matanya, ia memang terlihat murung sejak tadi.

“Ini, minumlah.” Aku menyodorkannya teh yang kubuat dua cangkir, satu cangkir lagi untukku. Akhirnya aku punya teman minum teh sore ini.

“Terima kasih,” balasnya lembut, meski suaranya terdengar sedikit gemetar.

Aku memandangnya lekat, mungkin ia takut padaku; mungkin ia jijik melihat senyumku yang aneh. Mau bagaimana lagi, aku hampir lupa caranya tersenyum. Untung saja aku tak lupa cara bicara. Tinggal di tempat ini jika membuatmu masih waras itu sudah cukup bagus, bukan?

“Izinkan aku menetap di sini sementara,” ujarnya lirih setelah keheningan menjadi orang ketiga di antara kami.

“Oke,” balasku cepat. Tentu saja, tidak ada alasan untukku menolaknya.

Aku memang punya dua kamar di rumah ini. Tampaknya, kamar itu kini punya penghuni baru. Aku takkan memanfaatkan kesedihannya untuk merayu, meski terkadang kulit halusnya itu cukup menggodaku. Kami menikmati persembahan senja sambil meminum sisa teh dan sepiring kue jahe–stok terakhir yang kupunya. Menjelang mentari menutup diri, aku sempat melihat senyumnya yang lembut.

Aku lalu mempersilakannya masuk ke dalam rumah. Cahaya bulan yang temaram menyinari setiap sudutnya, tanpa atap yang menghalangi masuknya sinar. Aku segera beranjak ke dapur untuk menyiapkan sebuah makan malam spesial, karena kini ada tamu yang akan menemaniku makan malam. Wanita korek api menyusulku, sepertinya merasa sungkan lalu menawarkan diri untuk memasak hidangan. Sebenarnya aku ingin menolak, tetapi di sisi lain aku juga menginginkan makan malam yang berbeda.

Aku menatap punggungnya yang ramping dari balik meja makan tua. Aku ingat meja ini kubeli dari seorang tukang kayu di Pasar Minggu. Di antara dagangan yang dijajakannya, aku memilih meja tua dengan bekas garukan gorila di pinggirnya. Entah bagaimana gorila bisa menggaruk meja itu, yang jelas bekas cakaran itu terlihat estetik buatku. Ia memasak cukup lama, beberapa kali ia juga bertanya tentang di mana letak garam dan bahan lainnya. Padahal semua sudah ada di hadapannya, ia cerewet juga. Setelah selesai, ternyata hasilnya sedikit membuatku kecewa. Ternyata ia menghidangkan makan malam yang sama. Sepiring sup daging tomat lagi-lagi harus kusantap. Aku menelan kecewa, perut laparku tidak mendapat kepuasan berbeda. Rasanya pun tidak lebih baik, buatanku lebih enak. Mendadak senyum di kepala fosfornya terlihat hambar bagiku, sehambar masakannya.

“Apa tidak ada lampu di rumah ini?” tanyanya kemudian.

Aku menghentikan mengaduk mangkuk sup yang kuputar berlawanan arah jarum jam, terhenti tepat di arah angka sembilan. Baiklah, wanita ini kini mulai lancang. Ia merasa boleh menanyakan apa saja di rumah ini. Bagaimana bisa ia mengabaikan cahaya bulan, rumah ini sudah cukup terang dengan cahaya bulan. Kenapa perlu lampu lagi?

“Ada,” jawabku kemudian sambil kembali mengulas senyum yang kini aku yakin lebih mirip seringai.

Ia kembali tersenyum sambil kembali melanjutkan menyendok sup tomat dari mangkuknya. Dan itu mangkuk favoritku, bahkan tanpa permisi ia menggunakan mangkuk favoritku. Selera makanku lenyap sudah, aku meraih gelas air di hadapanku.

“Fuuh ….” Aku menyemburkan air dari mulutku. Bahkan rasa air yang diberikannya aneh, tidak seperti air yang biasa kuminum.

“Maaf, itu air mataku. Aku lihat air milikmu habis. Namun, ketika ingin memasak air baru, kulihat air dari keran berwarna kelam, aku tak ingin meminumnya.”

Baiklah, kesabaranku sudah habis, wanita ini sudah sangat lancang. Aku berdiri meninggalkan meja, menuju gudang belakang tempat menyimpan barang yang sudah tidak terpakai. Aku menatap benda itu, sudah lama aku membuangnya ke gudang. Kuraih benda yang seluruh permukaannya berselimut debu, lalu kubawa ke ruang depan. Namun, wanita korek api tidak kutemukan di sana. Aku bergegas mencari ke depan, tidak ada juga tanda-tanda dirinya. Ke mana ia menghilang? Seketika hatiku kembali panas, kenapa ia pergi tanpa permisi? Lalu kudengar bunyi yang berasal dari kamar. Aku melongok, kulihat ia tengah membersihkan tempat tidurku.

“Kurasa kamar ini cukup nyaman untuk kita,” ujarnya sambil duduk di tepi kasur.

Aku menyeringai, mendekatinya. Dengan sengaja ia berbaring, memperlihatkan tubuhnya yang ramping serta kulitnya yang halus. Tanganku langsung mendekat, mengusap lembut kakinya yang lurus. Benar saja, ia memang sangat halus. Mungkin ia dibuat dengan mesin potong dengan mata pisau yang sangat tipis dan tajam, sehingga menghasilkan potongan yang sama rata dan halus, untuk kemudian dicelupkan ke dalam larutan fosfor satu per satu. Aku mulai larut dengan pesonanya jika saja aku tidak ingat benda yang berada di tangan kiriku.

“Kau benar, sepertinya rumah ini butuh cahaya. Aku akan membawakan cahaya seperti yang kau minta.”

Aku meraih tubuhnya, menariknya dengan tegas ke arahku. Ia tersenyum, menyukai keagresifanku. Lalu kutarik badannya, mengangkat tubuhnya dan menggores kepala fosfornya ke permukaan lantaiku yang kasar. Ia sempat berteriak, sebelum api menyala membakar kepalanya. Segera kubuka lampu petromaks dari tangan kiriku dan menyalakan bola kertasnya yang masih putih. Tampak cahaya membakar kertas putih itu dengan cepat, mengubahnya menjadi merah membara lalu kecokelatan.

Pandanganku kembali pada wanita korek api yang melolong panjang, tubuhnya kini mulai habis terbakar, api menjalar menuju bagian bawah tubuhnya. Tidak berapa lama kemudian, seluruh tubuhnya yang mulus itu kini habis menghitam, terbakar api yang kini berpindah ke lampu petromaks milikku. Segera kugenjot pompanya kecil di sampingnya sebanyak lima belas kali, perlahan nyala terang berpijar dari bola lampu yang terbakar tadi. Suasana ruangan kini menjadi sangat terang. Aku jadi merasa bersemangat.

“Terima kasih sudah menjadi tamuku,” ujarku sambil tersenyum menatap wanita korek api yang kini terbaring dengan tubuh menghitam, apinya sudah padam, kini bahkan aku menyukai cahaya itu. Dan berita baik lainnya, aku sudah ingat caranya tersenyum. (*)

Depok, 22 Desember 2020

Syifa Aimbine, gelar ibu adalah gelar favoritnya sepanjang masa.

Leave a Reply