Wanita Itu Berkelindan di Mata Kekasihmu

Wanita Itu Berkelindan di Mata Kekasihmu

Wanita Itu Berkelindan di Mata Kekasihmu
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Kamu tidak pernah membayangkan akan bertemu kembali dengan Wanita Itu di suatu siang, bertepatan dengan ulang tahunmu, di taman sarat kenangan purba yang berusaha Kamu hapus  bertahun-tahun lamanya.

Kamu ingat, setiap pergi ke sana, Wanita Itu selalu menutup kupingmu, kemudian kalian akan bercakap-cakap sambil menunggu datangnya senja. Kadang, matanya berembun, membuatmu bertanya kenapa—apa itu lantaran senja datang kepalang lama—yang dijawab Wanita Itu dengan gelengan kepala. Kamu akan menggenggam tangan Wanita Itu, menunggu matahari terbit dari matanya, sehingga kalian kembali bercerita, menertawakan banyak hal.

Itu adalah masa yang indah sampai Wanita Itu meninggalkanmu, entah kenapa. Kamu ingat, waktu itu, Kamu mencarinya ke mana saja: ke ayahmu yang hidup tidak benar dan suka main perempuan; ke tetangga yang memandangmu jijik; ke taman serta senja kosong yang justru membuat kepalamu penat. Kamu ingat, Kamu mencari amat lama, menumpuk tanya sampai busuk, sebelum menyimpulkan bahwa Kamu memang ditinggalkan, bahwa Wanita Itu sengaja menyisakanmu dalam keterpurukan.

Pada titik itu, Kamu lantak. Karam. Kenangan yang terhimpun mengerak jadi kebencian. Kamu sebut hidupmu parak. Kesialan. Kamu menyalahkan semua orang. Semua hal. Setiap luka yang tertoreh dan urung hilang dari tubuhmu.

Kamu lahir dari dosa—luka yang kian lama kian lebar, terutama setelah kepergian Wanita Itu. Dan, karena masyarakat tidak dapat mengerti hal itu, Kamu pun memutuskan untuk mengobral, menunjukkan pada semesta bahwa Kamu terluka, bahwa Kamu adalah pendosa. Orang-orang tentu mencapmu tambah buruk, tetapi, toh, apa pedulimu? Mereka tidak berhak menghakimi karena tidak pernah ada saat Kamu bergumul dengan ketidaktahuan atas apa yang orang tuamu lakukan. Mereka tidak berhak menasihati sebab tidak menggenggam tanganmu saat Kamu ditinggal sendirian.

Jadi, Kamu menghancurkan dirimu sendiri, beserta masa lalu dan masa depan—sampai puas, sampai kebas—hingga seorang gadis, yang akhirnya Kamu sebut sebagai “Kekasihmu”, datang dan menggenggam tanganmu erat. Hangat. Familier. Seperti kembali ke rumah.

Kamu ingat, pernah berkata pada Kekasihmu bahwa Kamu seorang bajingan, pasien yang tidak bisa ditolong. Namun, Kekasihmu dengan keras kepala berkata semua bisa ditolong. Ini hanya masalah keadaan, sebab pada dasarnya semua orang diciptakan baik. Kemudian, Kekasihmu menggenggam tanganmu. Lagi.

Dan, Kamu pun menyerah. Mulai membangun dan menceritakan rencana utopis-tololmu pada Kekasihmu.

“Aku sering bermimpi. Keluargaku pergi ke mall. Ayah menemaniku main di TimeZone. Ibu duduk di tepi arena, menyemangatiku dan Ayah. Kami main sampai lupa waktu, lalu makan bareng entah di mana. Lalu, aku belajar ditemani Ibu karena besok ulangan. Lalu, aku menceritakan teman-temanku yang pintar, lucu, dan menyebalkan. Lalu, Ibu tersenyum sambil mengusap kepalaku. Lalu, dia membuatkan susu, membacakan dongeng sebelum tidur …,”

Kalian tengah berada di kafe dekat kampus ketika Kekasihmu menyela dengan nada mengejek, “Mau kudongengi sebelum tidur?”

“Sialan, kamu anggap aku masih anak kecil, heh?” balasmu keras.

Kekasihmu justru tertawa seraya mencondongkan badan. “Sialan juga.”

Kalian bertengkar, meributkan hal remeh seperti kesan “anak kecil” serta pilihan “diam” bagi seorang lelaki, hingga akhirnya Kekasihmu beranjak sambil membawa tas.

Refleks, Kamu menggenggam tangannya.

Kalian berpandangan, sama-sama terkejut.

“Ah.”

“Hei, aku hanya mau ke kasir … tenang saja, oke?” katanya sambil melepaskan tanganmu perlahan. Kamu mengangguk pelan. “Dan, oh, ya, tanganmu sangat kasar karena sering berkelahi—kuberi tahu.”

Kekasihmu tersenyum mengejek. Kamu sendiri mendengkus, memandangi tanganmu yang terdapat luka sayat di sana-sini, kemudian menggelengkan kepala. Tidak sadar kalau Kekasihmu tertawa di kejauhan, melihatmu yang serupa bocah dalam tubuh pria dewasa.

*

Kamu tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi: “cinta” yang sempat absen dalam hidupmu, campur tangan Tuhan , atau memang sifat parasitmu yang sedari awal memang “membutuhkan” Kekasihmu. Akan tetapi, Kamu abai saja. Itu bukan sesuatu yang bisa dipersoalkan, sebab, toh, pada akhirnya Kekasihmu nyata ada dan lambat laun ikut berkontribusi menghapus kenangan purba yang Wanita Itu tinggalkan dahulu.

Namun, ketika semua kenangan itu hampir menguap dari kepalamu—saat Kamu tidak lagi mengumpat saat pergi ke makam ayahmu—Wanita Itu datang, bersama seorang pria bercambang dan anak perempuan bermata cerah. Tepat di hari ulang tahunmu. Di taman sarat kenangan purba.

Kamu mematung. Anak perempuan itu tertawa riang, sedangkan hati berdenyut. Nyeri.

Kekasihmu—yang kebetulan bersamamu—memandang tidak mengerti. Belum. Kamu sendiri berusaha menyusul pasel, merunut sekian keterpurukan, sekian rencana utopis dan diorama khayali yang baru menemui kesia-siaan setelah sekian tahun berlalu. Kamu cari di hatimu, adakah kebencian atau umpatan yang hendak Kamu eja di depan wajah Wanita Itu?

Angin berdesir dan Kamu sampai pada titik buntu. Kamu pandang tiap ceruk, tiap sudut taman itu, dan Kamu sadari bahwa hanya ada kata rindu untuk Wanita Itu. Lucu sekali, bagaimana perasaan manusia dapat merespons hal kontras terhadap apa yang mereka alami selama ini.

Jadi, Kamu diam. Kekasihmu diam. Wanita Itu diam—entah menyadari satu kejanggalan atau tidak—begitu pula seorang pria dan anak kecil di sampingnya. Lantas, perlahan, Kamu mendekat, tersenyum, berbasa-basi sejenak dengan Pria Berjambang, “Bapak baru pindah? Saya tinggal di sekitar sini dan baru pertama kali ini bertemu Bapak.”

Dia balas tersenyum. “Ya. Kami baru saja pindah beberapa hari lalu. Tugas dinas. Dan, istri saya merekomendasikan taman ini untuk bersantai.”

Kamu memandang Wanita Itu, yang memalingkan wajah seraya menggendong anaknya, kemudian membalas, “Ya. Taman ini memang tempat paling tepat untuk bersantai, apalagi taman ini. Entahlah, seperti ada sisi magis dan nostalgik yang bikin setiap orang betah ke sini,” Kamu tertawa renyah, tidak mengerti kenapa dapat bercakap seluwes itu dengan Pria Bercambang.

Mungkin, itu bentuk permintaan maaf Tuhan. Entah.

Jeda sebentar sebelum Kamu melanjutkan, “Saya dan Ibu saya juga sering datang ke tempat ini. Dulu. Saat saya masih kecil.”

Semesta seketika berubah amat takzim.

Kamu rasakan lukamu yang menahun beku akhirnya luruh, bersamaan dengan bergulirnya cerita; pada kenyataan Kamu dan Wanita Itu baik-baik saja dan semua sampai pada dermaga kebahagiaan. Lantas, setelah bebanmu terangkat, Kamu pandangi sekali lagi Wanita Itu, berpamitan dengan keluarga yang sarat akan tawa—berbeda dengan keluargamu dulu—kemudian berbalik, menghampiri Kekasihmu.

Kekasihmu diam. Mengerti sesuatu. Ia lekas menggenggam tanganmu erat. Sangat erat. Juga hangat. Kamu rasakan perasaan familier. Seperti sebuah diorama khayali. Seperti perahu yang akhirnya menemukan dermaga baru.

Kalian berpandangan, hendak beranjak … dan saat itulah Kamu temukan Wanita Itu berkelindan di mata Kekasihmu. Wanita yang dulu pernah Kamu panggil “Ibu”. (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply