Wanita dengan Timbangan (Terbaik ke-5 TL15)

Wanita dengan Timbangan (Terbaik ke-5 TL15)

Wanita dengan Timbangan

Oleh: Freky Mudjiono

Terbaik ke-5 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Dia adalah wanita yang selalu kulihat dari jendela kecil yang tertutup rapat dari dalam. Sebenarnya, dari kaca yang buram, aku masih dapat melihat beberapa orang selain dirinya. Namun, hanya dia yang mampu membuatku mendekatkan wajah ke jendela berbau apak tersebut sehingga hampir-hampir saja ingin kudobrak kaca ini hanya demi dirinya.

Dia adalah wanita yang istimewa. Tidak cantik tetapi menawan. Dia memiliki wajah bundar, mata sayu, serta senyum yang tak pernah lepas, apa pun bentuknya, baik itu riang, lega atau pun miris. Ah, satu hal lagi yang membuatnya berbeda. Bahu!

Yah, bahunya kurasa terlalu kekar untuk ukuran seorang wanita. Tidak tahu, apakah itu sebab faktor genetik, atau dikarenakan timbangan yang selalu ia pikul ke mana-mana.

Timbangan itu terdiri atas dua sisi yang dihubungkan dengan bambu yang panjangnya kurang lebih satu setengah hasta. Aku tidak tahu berapa ukuran tepatnya, toh, aku tidak pernah benar-benar mengukur. Hanya sekadar menduga-duga, ketika suatu kali ia menurunkan timbangan itu ke tanah saat berhenti tak jauh dari jendela.

Sudah dua hari ini, aku tidak melihatnya, meskipun aku sudah melotot di waktu-waktu dia biasa lewat. Ke mana dia?

Aku rindu dengan bentuk senyum tipis di bibirnya, seperti ketika seorang anak kecil datang menghampiri dan langsung duduk di salah satu sisi timbangan.

Wanita itu buru-buru menahan sisi yang lain hanya agar anak itu tidak terjatuh. Dia lalu menyeimbangkan batu demi batu hanya agar anak itu bisa puas bermain. Tubuhnya terlihat membungkuk.

Aku meringis, itu pasti berat sekali. Tapi aneh, senyum bahagia masih tersungging di bibirnya. Dia kembali menambah batu ke setiap timbangan yang mulai oleng karena ulah si anak yang tak mau diam di dalam duduknya. Ingin rasanya aku berteriak agar anak itu menjaga kelakuannya, tapi apa daya, dari dalam ruangan di mana aku mengunci diri, tidak akan ada yang mendengar suaraku.

Ah, seharusnya aku tidak memedulikan dirinya. Kuketukkan kepala ke dinding, berusaha mengembalikan kesadaran. Jangan campuri urusan orang-orang di luar sana. Bukankah begini lebih baik?

Tidak lagi menemukan dirinya lewat jendela yang kecil ini, aku menyerah. Hilang sudah hiburanku satu-satunya dalam menjalani waktu di ruangan pengap ini. Beranjak ke sudut, aku duduk memeluk lutut.

Akan tetapi, ia sosok yang sulit diabaikan, pikirku membela diri. Ia memang istimewa, kebisuannya menghadirkan rasa nyaman dalam keberadaanku. Satu-satunya orang yang bebas untuk dilihat, diperhatikan atau pun ditertawakan olehku. Tidak seperti yang lain, dia tidak pernah melirik ke arah jendela kecil berkaca buram ini.

Kurasa, dia sama sepertiku, sebab tak pernah tertarik untuk mengetuk jendela dan berusaha mengeluarkanku dari ruangan sempit ini. Atau, tidak juga berteriak dari kejauhan, memintaku menghirup udara segar.

Itu bagus! Sebab, aku tak butuh uluran tangan mereka yang hanya akan membawaku merasakan pedih. Tidak!

Ruangan ini cukup bagiku.

Jendela ini cukup bagiku.

Pernah, ia berhenti sangat dekat dengan kaca jendela yang buram, berdiri tegak, menghadap tepat ke arahku yang tengah menatap lekat. Aku terkesiap, serasa akan pingsan. Apakah ia menyadari keberadaanku?

Rasa takut hampir saja menguasai diri, bila aku tidak melihat pandangannya yang kosong. Timbangan yang dipikulnya bergerak-gerak tak seimbang. Ada beberapa barang kebutuhan rumah tangga di salah satu sisinya. Entah kenapa, kali ini ia tidak sigap menyeimbangkannya dengan menambah batu pemberat sebagaimana saat anak kecil pernah mengganggunya.

Apakah ia enggan?

Kemudian seorang pria datang tergopoh, merogoh sarung, dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sang wanita menoleh, memandang jijik. Namun, ia tetap hanya diam ketika pria itu menambahkannya pada sisi timbangan. Bercampur baur dengan tumpukan beras, gula, minyak, sabun, dan lainnya.

Timbangan itu hampir terbalik.

Aku hampir bersorak senang, berharap semua isinya tumpah. Bahkan, lebih. Aku ingin bambu pikulannya patah. Pasti akan lega, melihat dia berjalan tanpa beban di bahunya. Pasti akan menyenangkan, bila bisa melihatnya bergerak bebas, tidak dengan leher kaku seperti sekarang.

Anganku tidak terwujud. Kandas saat perlahan tangannya terulur, menambahkan satu per satu batu di salah satu sisi, hingga pikulannya menjadi seimbang. Senyum miris dan mata berkaca-kaca miliknya sempat terlihat sesaat sebelum dia melangkah menjauh. Hingga dia pun menghilang dari jangkauan pandangan, bagaimanapun aku mencoba menajamkan sudut penglihatan.

Lalu … waktu kembali kosong.

Aku kembali menghadapi kenyataan, wanita itu tidak pernah lagi melewati jendela kecil itu. Hanya sosok anak kecil dan pria bersarung, yang sesekali melintas.

Aku menenggelamkan wajah di antara kedua lutut, sebelum terasa tepukan di bahu.

“K-kau?” tanyaku heran. Wanita yang kutunggu telah ikut duduk … di sampingku. Tidak ada timbangan di sisinya.

“Aku lelah …,” keluhnya.

Aku beringsut menjauh. “Lalu, kenapa kau ke sini?”

“Biarkan aku beristirahat,” pintanya sambil menatapku. Ada linangan air mata di pipinya.

“Baiklah,” jawabku singkat.

“Hmm ….” Dia mengangguk seperti berterima kasih, kemudian merebahkan diri di lantai. Ujung tangannya hampir saja menyentuhku bila tidak segera kutarik menjauh beberapa inci.

“Hei, jangan di sini! Tempat ini terlalu sempit buat kita berdua,” sentakku tak suka. Apa-apaan dia? Tiba-tiba hadir dan mengusik kenyamananku.

Wanita itu bangkit, menatapku dengan mata nanar dan senyum sinis. “Sudah cukup aku yang berada di luar sana. Sekarang giliranmu!”

“Tidak. Aku tidak mau memikul timbangan sepertimu!” tolakku.

“Terserah. Lakukan apa maumu … di luar sana,” Wanita itu tersenyum menyeringai, menolakku keluar melalui jendela kecil dengan kaca buram yang terbuka dengan mudahnya.

Aku bahkan tidak sempat membela diri. Jendela itu kemudian tertutup begitu cepatnya.

Apa yang harus kulakukan sekarang? (*)

 

Medan, 24 April 2020

 

Freky Mudjiono. Penulis adalah seorang wanita dengan nama macho yang berusaha jadi keren.

 

Komentar Juri:

Kesegaran ide merupakan salah satu poin penting dalam penilaian Tantangan Lokit—bagaimana seorang penulis mampu menemukan serta mengolah ide yang tidak biasa dari tema yang diberikan, tentu saja dengan teknik yang baik pula. Dalam hal ini, naskah “Wanita dengan Timbangan” memiliki poin tersebut. Dengan mengambil fokus utama pada wanita serta beban-beban yang mesti ia seimbangkan, yang dalam hal ini disimbolkan oleh timbangan bambu, ia mampu menyajikan sudut pandang baru, mengibaratkan alam bawah sadar sebagai sosok yang berada di sebuah ruangan sempit dengan kaca buram dan selalu memantau pergerakan sosok di luar ruangan, yang mana konsep ini tentu saja unik, untuk merujuk kepada alam bawah sadar.

Setiap simbol di cerita ini hidup, juga terhubung dengan baik. Dengan tenang, cerita ini mampu menampilkan gejolak perasaan tokoh lewat kehadiran anak, bahan kebutuhan rumah tangga, serta seorang pria bersarung yang tentu saja sangat berhubungan dengan beban yang “mengarantina” wanita.

Terakhir, penulis memberikan akhir yang mindblowing, saya katakan. Setelah “menghabiskan” semua materi yang ingin disampaikan dalam ceritanya, ia membawa pembaca menuju akhir yang pas, dan memberikan ruang imajinasi dan perenungan bagi pembaca: Apa yang harus si alam bawah sadar lakukan sekarang?

Sangat menarik.

-Devin Elysia Dhywinanda

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply