Waktu yang Terhenti

Waktu yang Terhenti

Waktu yang Terhenti

 

Penulis    : Ety Wulandari

 

Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.

 

Tubuh ringkih sebelum renta itu seakan tak mampu menyangga beban berat dalan dirinya.  Bagian kiri tubuhnya bagaikan raga tak bernyawa. Ibu bersusah payah menegakkan badannya sendiri sebelum meraih kursi roda yang sehari-hari membantunya menjalani aktivitas. Walaupun kesulitan memindahkan tubuhnya ke kursi roda, tetapi kegigihan membuatnya terlihat mudah menjalani. Di usianya yang mendekati enam puluh tahun, dia harus menghadapi semua kesulitan sendirian.

 

“Yu Sri … Yu Sri! Rapikan kamar Anita!” teriaknya pagi itu dari ruang makan sembari tangan kanannya membuka tudung saji dan melihat menu yang dihidangkan Yu Sri, asisten rumah tangga sekaligus tetangga kami.

 

Meja makan itu telah tersaji hidangan kesukaanku. Sayur asem, daging empal, tahu, tempe, dan sambal terasi yang tak pernah ketinggalan. Ibu selalu semangat menunggu kepulanganku dari dinas luar kota seperti biasa. Walaupun dulu sehari-hari juga disibukkan dengan pekerjaan pasti tak lupa menyiapkan semua kesukaan anak semata wayangnya. Katanya, aku adalah tumpuan hidupnya. Melihatku tumbuh menjadi wanita dewasa membuatnya menjadi semakin semangat hidup untuk melihat cucu-cunya kelak. Meskipun pertengkaran tak pernah terelakkan, tetapi tak mengurangi kedekatan kami.

 

“Mau sampai kapan kamu sendirian Usiamu sudah mendekati tiga puluh tahun Segeralah menikah,” pinta Ibu suatu malam sebelum keberangkatanku ke Solo.

 

“Menikah itu untuk selamanya, Bu. Nita hanya sedang memilih, takut salah melangkah.”

 

Ada desahan halus terdengar. Ibu memandang foto wisudaku, ada Bapak dan Ibu mengapitku dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Hari itu, ada suka dan duka menghiasi. Bapak berhari-hari tak ada kabar. Pesan pun tak ada yang dibalas. Malam hari menjelang wisuda, Ibu menangis diam-diam, menyembunyikannya dariku. Takut akan mengecewakanku di hari yang telah ditunggu. Sungguh kejutan yang mengharukan di saat hendak memasuki gedung wisuda Bapak datang mengenakan baju batik dan celana jeans dengan wajah sumringah tanpa dosa, perasaanku campur aduk antara kesal dan bahagia. 

 

Lelaki yang seharusnya mengayomi itu sering lupa, bahwa mempunyai anak dan istri, dengan dalih pekerjaan jual-beli kendaraan yang tak pasti. Tak sekali dua kali orang mengabarkan Bapak bersama perempuan lain. Pulang ke rumah setelah kehabisan uang karena judi. Selalu mengabaikan nafkah keluarga karena Ibu seorang pegawai negeri sipil di pemerintahan kota. Cinta Ibu yang membutakan hatinya dari ribuan kebohongan bapak membuatku terlalu takut menikah.  

 

Dan puncaknya, sepuluh tahun yang lalu, ibu menelepon saat dini hari sambil menangis terisak dan berkata, “Nit, bapakmu minggat.”

 

“Minggat? Maksudnya bagaimana, sih, Bu?” tanyaku bingung walaupun sebenarnya paham.

 

“Bapakmu datang bersama perempuan muda, mengatakan perempuan itu hamil dan akan menikahinya, tak peduli Ibu tak akan merestui, tanpa cerai,” kata Ibu semakin tergugu dalam tangis. 

 

Mulutku terkunci, tenggorokanku tetiba kering dan tercekat. Kesabaran yang Ibu kira akan menyadarkan Bapak ternyata bagaikan pedang yang menebas nadinya sendiri. Pagi hari aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi menuju rumah. Di benakku hanya ingin memeluk wanita yang telah melahirkan dan membesarku dengan penuh kasih sayang. 

 

Rupanya untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditentang. Hari itu naas menghampiri perjalananku menuju rumah. Ibu yang sedang menyiapkan masakan kesukaanku pingsan mendapat kabar keberadaanku di rumah sakit. Tekanan darah tingginya langsung naik menyebabkan pembuluh darah pada dinding otak pecah. Ibu koma beberapa saat dan akhirnya menderita kelumpuhan pada sebagian tubuhnya. Aku hanya mampu memandangi tanpa mampu sekalipun menyentuhnya. Hatiku perih menyaksikan wanita yang paling kusayangi tergolek tak berdaya.

 

Kenangan demi kenangan hanya berputar pada hari itu. Menata seluruh rumah pada hari yang sama pada kepulanganku. Menanti kedatanganku dan melupakan pemakaman yang telah berlalu. Hari demi hari Ibu duduk di ruang keluarga itu, terkulai menunggu. (*)

 

8 Desember 2022

 

Editor; Lutfi Rosidah

 

Ety Wulandari, emak dari empat anabul dan tiga putri lucu yang merasa terlambat mengejar cita-cita.

Leave a Reply