Waktu yang Bercanda (Episode 2)
Oleh: Respati
POV_Airina
Dalam hitungan keenam, kami bertiga sudah berhamburan ke tengah lapangan dan lenyap di antara pohon teh-tehan yang menjulang menutupi tubuh kecil kami. Taman di belakang kompleks ini memang menyerupai labirin, berderet dan berliku cocok untuk bermain petak umpet.
Hitungan kedelapan, aku—juga kedua sahabatku—sudah berada di dalam labirin. Bersembunyi di sana untuk mencapai pusat labirin, sebelum pria berambut cokelat itu menemukan kami. Aku berharap, bukan aku orang pertama yang ditemukan Devan.
Sementara Rie dan Vie masuk dari jalur kiri dan tengah, aku pun memilih masuk dari sisi kanan taman yang didisain oleh ayah Devan dan memang menjadi arena bermain anak-anak penghuni kompleks selain juga fungsi taman untuk keindahan. Memang benar, taman labirin ini sangat indah selain menyimpan sebuah misteri di dalamnya. Sementara terus berjalan, telingaku masih menangkap Devan berhitung.
“Enam belas …,” teriaknya.
Aku menahan napas, sebentar lagi Devan mulai memasuki labirin dan mencari kami bertiga.
“Tujuh belas ….”
Sebentar lagi pencarian akan dimulai. Dan biasanya, Devan dengan mudah menemukanku. Entah apa jurus jitunya setiap kali bermain petak umpet, aku selalu menjadi orang pertama yang ditemukannya.
“Kamu curang, Van!”
“Enak aja!”
“Kamu ngintip, ‘kan?”
“Enggak!”
“Iya!”
“Eng … gak! Beneran, deh.”
Aku cemberut, tanganku kulipat di dada. Bibirku sudah maju beberapa sentimeter. Aku berdalih Devan mengintip saat aku berlari masuk labirin.
“Bohong!”
“Sumpah, Rin. Aku enggak ngintip!”
“Aku gak mau main lagi sama kamu!” Aku berlari pulang dan meninggalkan permainan sebelum berakhir.
“Eh … Rin, jangan ngambek, dong.” Devan mencoba mencegah aku pergi, sambil berteriak, “Salah kamu sendiri, pohonnya gerak-gerak.”
Spontan aku membalikkan badanku, kibasan kepangan rambutku berputar ke depan. Kedua alisku bertaut ditambah dengan bibirku yang mengerucut. Tidak cukup sampai di situ, Devan menjulurkan lidah sambil memainkan mata dan alisnya. Aku mengentakkan kaki beberapa kali tanda kekesalanku sudah memuncak. Kaki kecilku memilih lari secepat kilat menghindari ejekannya. Telingaku masih mendengar Devan tertawa besar.
Devan, anak laki-laki kompleks yang paling menyebalkan di antara teman mainku yang lain. Dia yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari anak laki-laki seusianya. Kulitnya yang putih ditambah dengan senyum yang menurutku menarik, bisa lenyap saat dia mulai membuatku jengkel. Apalagi setiap bermain petak umpet dia selalu bisa menemukan aku, Vie atau Rie. Namun, kali ini aku tidak ingin kecerobohanku yang dulu terulang lagi. Dengan hati-hati aku memilih lorong dan memastikan jalur yang aku pilih bukan lorong buntu.
“Dua puluh … sudah belum?!” serunya di kejauhan.
Tidak ada jawaban. Hening menyapa sesaat saja, karena terdengar teriakan berikutnya.
“Aku pasti menemukan kalian. Bersembunyilah …!”
Di dalam sebuah lorong, aku mendengar teriakan khasnya. Devan yakin betul dia akan menemukan aku atau yang lainnya sebelum mencapai poros labirin. Sekilas aku lihat ada lorong lain berbelok ke kanan yang menghubungkan lorong tempatku berdiri saat ini. Keraguan datang, antara memilih ke kiri atau tetap menyusuri jalur kanan. Setelah bimbang beberapa saat, aku pun akhirnya memilih ke kanan. Dengan lincah aku berjingkat lalu menyusuri lorong. Di hadapanku kembali ada dua pilihan, kanan atau kiri. Lagi, aku memilih ke kanan.
Sementara itu, langkah Devan mulai terdengar, pelan dan aku pun menahan napas. Tidak ingin helaan napasku terdengar, kedua tanganku membekap mulut. Sepertinya Devan berbelok ke kiri menjauhi tempatku bersembunyi.
Kembali kakiku menapaki lorong labirin ke kanan. Setelah berbelok ke kiri, akhirnya aku harus tersenyum kecut melihat lorong berakhir buntu. Dan akhirnya aku harus balik kanan dan mengambil belokan ke kiri. Cepat aku berlari kembali ke jalur tadi sebelum langkahku terdengar Devan.
Setelah belok ke kiri, aku dihadapkan dengan tiga belokan. Kiri, kanan dan serong kiri. Mengingat letak poros labirin di sebelah kiri dari posisiku, aku memilih jalur serong kiri. Tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar langkah dari arah depan. Aku cepat berlindung dari pohon teh-tehan di sisi kiri sambil mengamati siapa yang barusan lewat. Ternyata Rie.
Rie, sahabatku yang tomboy lebih menyukai celana pendek dan hanya memiliki beberapa setel rok saja. Rok sekolah yang pasti dan rok lebaran yang hanya dipakainya sekali saja. Rambutnya pendek, hampir mirip laki-laki dan sudah hilang ditelan kisi labirin. Lalu aku, kembali harus memilih jalur kiri atau kanan untuk sampai ke poros labirin sebelum Devan. Kali ini pilihanku berbelok ke kiri dan pilihanku kali ini benar.
Sekelebat aku melihat seseorang berlari dari arah kiri. Aku menahan langkahku, menunggu sesaat dan memastikan siapa orang itu, sampai benar-benar aman untuk melanjutkan pencarian poros labirin.
Bersambung ….
Episode 3 (berikutnya):
Airmolek, 24.06.2019
Respati, mengajar sambil menulis dan sebaliknya
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata