Waktu yang Bercanda (Episode 1)

Waktu yang Bercanda (Episode 1)

Waktu yang Bercanda (Episode 1)
Oleh: Erlyna

(POV Vie)

“Hompimpa alaium gambreng!”

Dari Tuhan kembali ke Tuhan, ayo bermain!’

Kulirik empat tangan yang saling berdekatan membentuk lingkaran.

“Vie, kamu yang jaga!” Suara Airina memecah lengang sesaat.

“Eh, lo … lo … lo …. Ini telapak tangan, kok. Lihat, nih, lihat! Meski hitam begini tetap telapak tangan.” Dengan mata sedikit melotot, kudekatkan telapak tangan ke wajah Airina yang menatap dengan senyum mengejek.

“Ha … ha … ha ….”

“Jahat kamu, Rin!”

Rie yang melihat pertengkaran kecilku dengan Airina ikut tertawa sambil menghisap lolipopnya.

“Jadi … aku yang jaga, ya?”

Aku dan kedua sahabatku kompak terdiam, lalu menatap satu-satunya lelaki yang ada di antara kami. Tubuh itu lebih tinggi dibanding anak-anak seusianya, terlihat semakin keren dengan rambut kecokelatan. Kulitnya putih bersih, bahkan punggung tangannya terlihat seperti telapak tangan. Senyumnya apa lagi, begitu sempurna dengan sepasang lesung pipi yang menjorok tidak terlalu dalam. Pas sesuai porsi. Setidaknya begitulah dia di mataku.

Bicara soal senyum, ingatanku terbang ke masa tiga tahun silam. Aku tepat berusia tujuh tahun saat pindah ke kompleks perumahan ini. Karena bosan ditinggal sendirian sementara Ayah dan Ibu sibuk bekerja, aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, sambil mengamati suasana sekitar.

Brak!

“Aduh!”

Sebuah sepeda tiba-tiba menabrak kaki kananku dari belakang. Aku yang tidak fokus, langsung jatuh tanpa bisa menahan diri. Sementara pengendara sepeda itu langsung kabur tanpa mengucapkan apa-apa. Aku meringis sambil menggigit bibir bawah. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan ingus yang keluar tanpa malu-malu, aku hanya bisa menunduk sambil menutupi lutut yang mengeluarkan darah. Perih sekali.

Entah datang dari mana, sebuah telapak tangan tidak dikenal tiba-tiba menggenggam dengan begitu hangat. Pemiliknya tersenyum manis saat aku menatapnya sekilas. Masih sambil tersenyum, pemilik tangan itu menarikku pelan-pelan.

“Ayo, ikut aku sebentar,” ujarnya lirih. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berdiri mengikutinya.

“Aduh!” Aku mengerang lagi. Kali ini rasa perih di lutut terasa semakin menjadi ketika berdiri. Sosok di hadapanku menatap sebentar sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dahinya berkerut, seolah-olah memikirkan sesuatu.

“Ah, kamu suka permen?” Dia bertanya sambil merogoh saku celananya.

“Hah?”

“Aku punya dua permen. Nih, untukmu semua.”

Dia menyodorkan dua buah permen yupi rasa stroberi. Aku menerima sambil menatap wajahnya yang kali ini tersenyum lebih lebar, memamerkan sepasang lesung pipi yang begitu menarik, setidaknya bagi mataku.

“Jangan sedih lagi. Ayo ikut sebentar. Lukamu harus diobati.” Ia kembali meraih tanganku dan menariknya. Dengan langkah tertatih aku berusaha mengikuti.

“Tunggu! Ini sakit sekali.” Aku bicara dengan nada memelas. Rasanya tidak sanggup jika harus berjalan dengan kaki terpincang-pincang.

“Em … kalau begitu, naiklah!”

Mataku melotot kaget saat melihat dia berlutut dengan posisi membelakangi. Sama sekali tidak mengerti dengan tindakannya. Dia … apakah dia ingin menggendongku di punggungnya? Tidak! Ini tidak benar. Dia yang kurus itu akan menggendongku yang gemuk ini?

* * *

“Hoi! Vie!” Airina menepuk bahuku. Cukup keras hingga membuatku hampir terjengkang ke belakang.

“Eh, hah? Kenapa?”

“Kamu itu yang kenapa? Hobi melamun sekali, sih?”

Aku menatap Airina yang kali ini terlihat kesal. Sepertinya temanku yang paling galak ini membuang waktu cukup lama untuk menyadarkanku dari pikiran yang ke mana-mana.

“Jadi siapa yang jaga?”

“Dia,” timpal Airina sambil menunjuk seseorang dengan dagunya.

Aku melirik ke arah kanan. Kulihat laki-laki yang tiga tahun lalu memperkenalkan diri bernama Abaramo Devan itu mengangkat tangan, sambil menjulurkan lidah ke arahku. Aku balas menjulurkan lidah ke arahnya, tidak mau kalah.

“Hei! Kalian berdua. Berhenti saling menggoda.”

Aku menatap Airina kesal, lalu menjambak rambut panjangnya yang selalu dikepang. Ia menjerit keras, tangannya menggapai-gapai rambutku, berusaha membalas.

Hah! Menggoda katanya? Memangnya aku suka dia?

Kulirik Devan yang sedang tersenyum menatap Rie yang masih asyik mengulum lolipopnya. Sejak dulu dia selalu begitu, ramah dan hangat dengan semua orang. Termasuk dua sahabatku ini.

“Ayo! Kita ke sana.” Devan memecah lamunan sambil memainkan kedua alisnya. Sepertinya anak laki-laki satu ini sudah siap jadi kucing yang kelaparan dan mencari kami, tikus-tikus yang menggemaskan.

Kami berjalan beriringan menuju lapangan di belakang deretan perumahan. Lapangan itu sangat luas, lebih luas dibanding lapangan upacara di sekolah. Di tengah tanah lapang itu ada pohon teh-tehan yang menjulang melebihi tinggi badan kami, terpangkas rapi, berderet-deret dan berliku, membentuk sebuah labirin.

“Aku hitung sampai dua puluh, ya. Kalian berlarilah sejauh dan sekencang mungkin. Aku pasti menemukan kalian,” ujar Devan sambil tersenyum penuh arti. Ia berjalan menuju pohon mangga besar yang berdiri kokoh di sisi kiri lapangan. Menyandarkan kepala, lalu mulai berhitung dengan mata terpejam.

“Satu ….”

Aku menatap kedua sahabatku. Airina menarik napas sambil memainkan ekor rambutnya, sementara Rie terlihat menggigit sisa lolipopnya, lalu meniup gagangnya ke sembarang arah.

“Dua ….”

Aku menarik napas dalam-dalam, melempar sandal jepitku ke udara. Keduanya terjatuh dengan suara gedebuk pelan, mendarat entah ke mana.

“Tiga ….”

Kami bertiga saling tatap, tersenyum, mengangguk bersamaan, lalu mulai berlari memasuki labirin.

“Empat ….”

“Lima ….”

Bersambung ….

Episode 2 (selanjutnya)

Purworejo, 22 Juni 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply