Waktu untuk Menutup Buku
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Kalau membuka buku tentang kamu, aku bakal menemui kalimat ini sebagai pembuka paragraf: Kamu suka tersenyum. Kalau sudah begitu, aku akan tersenyum, membayangkan sendiri bagaimana kamu menarik sudut bibir dengan mata ikut-ikutan melengkung, persis anak kecil. Aku pernah mendiskusikan ini dengan Sarah, yang cerewetnya minta ampun, bahwa kamu seperti bocah lima tahun yang habis bermain lumpur—kamu barangkali tahu bakal kotor bila berkubang di dalamnya, tetapi tetap saja melakukan hal itu dengan dalih menyenangkan—dan Sarah mendengkus sambil berkata, “Kamu berlebihan.”
Aku tentu saja tersinggung, sebab pada dasarnya itulah impresiku tiap melihatmu tersenyum. Matamu menjadi amat jernih—seperti berkaca pada mata air yang masih steril dari polusi—dan di sana aku dapat melihat semesta lain dengan kamu di dalamnya. Semua orang punya semestanya sendiri, itu yang kuyakini, dan punyamu kentara amat jujur. Bebas.
Sampai di sini, aku termenung, dan tiba-tiba saja tertawa sarkas. Ternyata seberlebihan itulah aku memandangmu. Seingatku, ketika kita pertama bertemu di kelas delapan, kamu sekadar laki-laki bertubuh pendek yang datang terlambat dan tertidur di deret belakang. Kamu sama sekali tidak keren. Tidak tampan. Tidak istimewa. Namun, setelah guru-guru mencarimu lantaran bolos lima hari—usai teman-teman berkata kamu barangkali jadi begini lantaran punya masalah keluarga—aku jadi tertarik untuk memperhatikanmu. Ini sangat buruk memang, tetapi apa tanggapanmu jika aku berkata, kamu adalah tokoh utama dalam ceritaku kala itu?
Kamu yang merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Kamu yang dibesarkan dalam lingkungan fanatik-agama, orangtua yang terlalu memperhatikan Tuhan hingga lupa pada anak-anaknya, dan akhirnya berjalan terlalu jauh untuk mencari jati diri. Kamu yang bersahabat dengan Dimas, anak bermasalah lain yang kelasnya dulu di sebelah utara kelas kita. Kamu yang merokok sejak SD. Kamu yang rusak dan kupedulikan betulan … pada bagian kesekian cerita.
Ada yang bilang penulis punya semacam keterkaitan, korelasi, dengan tokoh ceritanya, dan itulah yang kurasakan pada dirimu. Aku khawatir padamu yang masih saja membolos kendati telah diperingati oleh Guru BK. Aku cemas pada nilaimu yang kurang dari rata-rata. Di sisi lain, aku kagum padamu yang ternyata mahir dalam olahraga, terutama futsal. Aku merasa lega tiap melihatmu tertawa bebas dengan teman-temanmu. Aku merasakan sesuatu yang aneh tiap menyadari semesta sederhana dalam iris arangmu.
Kamu tidak mempermasalahkan dirimu yang dicap “rusak” oleh orang-orang. Sebaliknya, kamu justru terlihat amat bebas, kentara bahagia, dengan stereotip macam itu. Barangkali, karena itulah aku memperhatikanmu … karena aku iri padamu.
Sampai pada bagian ini, aku tertegun, menyadari betapa berbedanya kita. Kamu yang bersuka dengan duniamu sendiri; aku yang mesti berjalan memperhatikan norma. Kamu yang selalu melangkah dengan pasti; aku yang sekadar memandang dari belakang. Ini seperti garis sejajar yang muskil bertemu. Aku paham hal itu.
Sarah berkata bahwa aku harus berani—mengungkapkan perasaan atau, minimal, berusaha mendekatinya. Aku sendiri tertawa kecil dan berkata bahwa perlu menjadi sosok secerah dia untuk bisa mendekatimu. Sarah tidak berkomentar lebih jauh dan mengalihkan pembicaraan. Dia sahabatku sejak SD. Karenanya, gadis berambut keriting-gantung itu tentunya sadar betul makna perkataanku kala itu.
Aku ingat, ketika class meeting kelas sembilan, Aulia—bendahara kelasmu—bercanda, berkata bahwa kamu belum membayar iuran kelas. Katanya, kau sangat susah ditemui dan, sekalipun bisa, kau selalu beralasan tidak membawa uang. “Dasar! Kalau begini, aku akan menagihnya ke Dimas saja—biar dia tanggung jawab karena suka ngajak ngopi tiap malam!”
Waktu itu, aku langsung bertanya nominal iuran kelasmu, mengambil uang dari dompet merah marun, lantas memberikannya pada Aulia. Gadis tinggi itu membatu sejenak, tidak percaya pada apa yang kulakukan. Ia berkali-kali memastikan perbuatanku didasari oleh keikhlasan dan sebagainya. Matanya membulat. Lucu sekali.
“Baiklah … aku cuma bercanda waktu mengatakan ini padamu. Serius,” Ia menandai namamu di buku catatannya sembari menambahkan, “mau kuberitahukan padanya? Biar dia mengganti uangmu, minimal.”
“Tidak usah. Aku benar-benar ikhlas, kok,” Aku tertawa, “lagi pula … hanya ini yang bisa kulakukan buatnya.”
Aulia menghiburku. Aku berkata bahwa aku baik-baik saja.
Selama ini, aku lebih suka dengan cerita fiksi ketimbang tulisan nonfiksi—isinya sangat padat dengan data, kutipan dari berbagai sumber, serta istilah yang membuatku memutar mata. Kendati demikian, aku sadar betul bahwa dunia ini punya kelogisan serta realitas tersendiri.
Ini bukanlah sebuah cerita fiksi yang mempertemukan seorang murid cerdas dan berandalan sekolah, menjembatani seorang maniak pelajaran dan penggila balapan liar, atau sekian hal utopis lain. Realitasnya, beberapa bintang kelas adalah mereka yang tidak kenal apa itu romantisme, sedangkan para pembangkang lebih menyukai sosok yang dapat dengan mudah didekati: yang kocak, humble, dan sebagainya. Atas fakta itulah … aku tahu apa yang bakal tertulis di akhir kisah ini.
Butuh waktu amat lama untuk beradaptasi dengan kondisi kita yang berbeda SMA. Ada kalanya aku menelusuri akun media sosialmu, mengecek apakah kamu baik-baik saja—di mana kamu sekarang, masih seringkah merokok, keluar malam, dan sebagainya—lantas, setelah mengetahui bahwa kamu baik-baik saja—kamu bertambah tinggi, tidak sekurus dulu, dan tidak terlalu membikin ulah di sekolahmu yang berada di lain kota—aku pun menghela napas lega. Terakhir aku tahu, kamu pulang dan berfoto bersama Dimas. Setelah itu, nomor WhatsApp-mu beralih pemilik ke adikmu. Beberapa bulan kemudian, setelah kucari lagi, nomornya sudah hilang. Ganti nomor, barangkali.
Setelah itu, aku terlarut dalam kehidupan SMA. Tidak lagi memikirkan semesta dalam matamu, senyum kekanakanmu, atau bibirmu yang menghitam karena kebanyakan mengisap nikotin. Waktu memang menakjubkan karena dapat membawa ke saat di mana aku membuka buku lusuh berisi cerita tentangmu; mengenang banyak hal … menyadari bahwa telah tiga puluh menit aku bergelut bersama memori lawas.
Hari ini, matahari bersinar tidak terlalu terik. Udara lembap. Bau tanah basah akibat hujan menyeruak. Aku melihat ponsel, tersenyum, lantas melirik barisan kalimat di akhir buku tersebut. Sekali lagi, waktu memang punya keajaiban tersendiri untuk mendewasakan manusia.
Aku mengangkat bahu. Saatnya menutup buku dan membuka cerita anyar.
Aku perlahan menutup buku itu, menyimpannya ke tempat yang lebih pantas, lantas ke luar kamar. Waktu beranjak siang … dan aku tidak ingin ketinggalan menikmati perubahan dunia. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata