Waktu dan Penyesalan
Oleh : Kharisma
BRAK!
“SUDAH AYAH BILANG, PERGI DENGAN BIBIMU SAJA!” Setelah menggebrak meja, dengan amarah yang memuncak pria berpakaian rapi itu membentak hingga suaranya menggema di seisi ruang makan. Sontak seluruh pasang mata di sana terarah padanya.
Bocah perempuan berumur 8 tahun yang tadinya ingin berucap langsung terlonjak, ia tertegun. Kaget bukan main. Baru pertama kalinya dengan sedemikian rupa ia mendapatkan bentakan penuh amarah dari sang ayah hanya karena meminta menemaninya pergi ke acara tahunan di sekolah.
Pria yang diketahui bernama Orion itu menghela napas berat, merapikan pakaiannya dan meminta Gisel—bibi Lisa—menemani pergi ke acara tahunan tersebut.
“Orion, apa kau tidak sedih sama sekali?” tanya Gisel dengan Lisa di pelukannya.
Langkah Orion terhenti, ia menatap Gisel dan Lisa datar.
“Kau tidak pernah menemani putrimu, kau pulang selalu larut malam, kau bahkan tidak pernah mengunjungi kedua orangtuamu, dan kau hadir di sini hanya untuk sarapan!” lanjut Gisel dengan nada bentakan di akhir. Gisel sudah cukup muak dengan perilaku gila kerja pria ini, sampai menelantarkan putrinya yang jelas anak kandungnya sendiri.
“Lalu?” Seolah hati Orion sudah benar-benar menghilang dari tempatnya, nada bicaranya begitu dingin tak menampakkan perasaan. Dan kepeduliannya hanya sebatas kewajiban sebagai pemimpin yang menafkahi keluarga.
Gigi Gisel bergemerutuk menahan amarah, matanya menyipit penuh kebencian. Sebegitu berhargakah pekerjaan di kantor lelaki itu daripada waktu bersama keluarga? Apalagi yang tersisa di sini hanyalah gadis kecil yang butuh kasih sayang, satu pembantu kolot dan pembersih kebun. Apa yang Orion harapkan dari mereka?
“Dengar ini baik-baik, Tuan Gila Kerja,” desis Gisel, “suatu saat kau pasti menyesali, karena sesuatu yang berharga akan menghilang dari kehidupanmu! Aku yakin itu!”
Orion tak menanggapi ucapan Gisel, ia memilih pergi dari tempat tersebut. Melewati Gisel dan putrinya yang kini sesenggukan menahan tangis tanpa berucap apa pun.
Sibuk, benar-benar sibuk. Orion menggerakkan jarinya lincah membalas pesan pada sang manajer, yang sudah sedari tadi menghubunginya agar segera datang ke kantor untuk menghadiri rapat. Ck! Gara-gara pertengkaran tadi waktu Orion jadi terbuang percuma.
***
Pukul 22.30.
Orion masih berada dalam ruangan kerjanya. Menyelesaikan berkas-berkas yang diberikan kepadanya dari tadi sore. Kedua matanya yang dilapisi kacamata itu terasa perih dan kepalanya pun terasa berat. Orion beranjak dari kursi kerjanya menuju sofa, ia segera merebahkan tubuhnya di sana. Menengadahkan kepala sambil mencoba relaks. Orion memejamkan mata sambil memikirkan jalan keluar terbaik untuk masalah finansial perusahaannya yang sudah seminggu ini masih belum selesai.
Tring ….
Mendadak suara ponsel mengisi ruang kerja Orion yang sunyi, membuat sang pemilik terkejut hingga tubuhnya limbung dan hampir mencium lantai.
Orion mendengkus, merutuki foto ibunya yang kini tertera di layar ponsel. Karena kesal, ia memilih mengabaikan panggilan itu, melanjutkan acara istirahatnya. Toh pasti Ibu hanya akan mengingatkan tentang makan teratur dan jangan lupa istirahat, batin Orion yakin.
Beberapa menit berlalu, dan ponsel Orion masih saja berdering, entah mengapa hal itu terasa menyebalkan. Kenapa orang-orang suka sekali meneleponnya? Tadi sore juga Gisel tiba-tiba menghujani ponsel Orion dengan belasan misscall. Orion baru tahu ketika ia membuka ponselnya di ruang kerja, karena selama rapat Orion dilarang membawa benda tersebut. Sedikit banyak ia dibuat penasaran. Sebenarnya ada apa? pikir Orion heran. Tapi saat mencoba menghubungi balik, ponselnya malah tidak aktif.
Orion mengambil ponsel dari atas meja, berniat mengangkat panggilan dari sang ibu. Namun, layar ponselnya berubah jadi hitam, baterainya habis. Padahal Orion tidak bawa charger. Ck, ada-ada saja.
“Sudahlah, mungkin bukan hal penting,” gumam Orion sambil mengacak-acak rambutnya.
Ia berdiri dari sofa menuju meja kerja. Melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sejenak.
Tak lama setelah selesai dengan pemikiran juga pekerjaan, Orion mulai membereskan barang-barang dari atas meja kerja. Kedua kaki lemahnya ia langkahkan menuju ruangan khusus para pegawai yang bila ingin bekerja lembur, agar tidak susah-susah pulang larut malam dengan senang hati telah disediakan oleh perusahaan.
Tubuh Orion sudah terlalu lelah, belum lagi mata Orion yang sudah dilanda rasa kantuk. Menyadari hal itu berbahaya bagi keselamatannya saat berkendara, akhirnya ia memilih bermalam di kantor dan pulang besok pagi. Hal yang sering Orion lakukan, orang rumah juga tidak akan masalah jika ia tak pulang, kan?
***
Pagi itu Orion pulang ke rumahnya menggunakan mobil, sama seperti hari-hari biasa ia melewati gang besar yang langsung mengarah ke rumahnya. Tapi di sana penglihatan Orion menangkap sesuatu yang tak biasa, dadanya agak tergerak. Sesuatu tiba-tiba saja membuat hatinya tak enak.
Orion mempercepat laju mobilnya, setelah sampai buru-buru ia keluar dari mobil dan berlari ke dalam rumah. Kakinya cepat melangkah menuju ruang tamu. Terlihat banyak sedikit orang berkumpul di sana.
“Jelaskan apa maksudnya bendera kuning di luar rumah!” teriak Orion dengan napas tersengal-sengal. Beberapa pasang mata menatap kedatangan Orion dengan tatapan sendu.
Riky, teman semasa kecilnya tiba-tiba muncul dari belakang Orion sambil menepuk bahunya pelan.
“Dia masih pingsan, dan tenanglah, Orion,” ujar Riky menenangkan Orion.
Mengikuti ucapan Riky, Orion mencoba menetralkan napasnya terlebih dahulu dan menanyakan perihal yang sudah terjadi di rumahnya tanpa sepengetahuannya.
“Ikuti aku!” lanjut Riky dengan nada serius.
Orion tak banyak bicara, ia mengikuti pria berjaket hijau itu perlahan. Tak lama berselang dada Orion terasa sesak bukan main ketika mereka berdua sampai di tempat tujuan. Mendadak Orion menutup matanya dengan telapak tangan, kini kedua pipinya basah oleh air mata penyesalan.
“Kemarin jenazahnya langsung dikebumikan, kami sudah mencoba meneleponmu, tapi ….” Riky menggantungkan kalimatnya dan mengusap punggung Orion prihatin.
Orion tersungkur, lututnya mencium tanah basah. Kini tubuhnya sejajar dengan dua nisan di hadapannya. Bibirnya terbuka ingin berucap, namun sesak di dada seolah menahan suaranya keluar.
Dengan gemetaran tangan Orion terangkat, mengusap dua batu nisan itu sambil terisak. Perlahan rintik hujan turun, membasahi kepala juga tubuh Orion. Di sana Orion mulai teringat momen-momen putrinya terus meminta dirinya menemani entah itu saat tidur, saat ingin pergi ke mal, ke taman bermain, dan berlibur. Yang ditolaknya mentah-mentah tanpa memikirkan perasaannya. Belum lagi fakta bahwa ibunya ternyata menyembunyikan penyakit parah selama satu tahun, dan hal itu menyebabkan penyakitnya tidak bisa diobati lagi, menyebabkan nyawa sebagai gantinya. Orion tidak pernah tahu hal itu karena ia terlalu sibuk bekerja.
Bersamaan dengan putrinya yang mengalami kecelakaan, ibu Orion meninggal di dalam kamarnya karena sakit yang diderita. Dan kini Orion benar-benar kehilangan semua hal yang disayanginya. Hanya kesepian yang menanti di masa mendatang. Hal berharga di hadapannya sudah menghilang ke tempat yang amat sangat jauh.(*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata