Wajah Dari Langit
Nama: Niluh Santi
Mauren tetap diam sambil menundukkan kepalanya, ketika teman-temannya mulai mengucapkan kata-kata yang selalu sama setiap harinya sejak ia pindah sekolah.
Dia memilih diam dari pada adu mulut yang akan membuat hatinya makin terluka, tapi dadanya selalu sesak, tangannya bergetar setiap kata-kata itu keluar.
“Tahan dirimu, marah tidak akan menyelesaikan masalah,” nasihat ibu yang selalu Mauren ingat.
“Tapi, sampai kapan, Ibu?”
“Sampai mereka bosan.”
Namun, nyatanya mereka tidak pernah bosan dengan kata-kata itu. Mereka bahkan menjadikannya sebuah lagu. Apakah ini lelucon? Yang pantas mereka tertawakan dengan lagu? Apa mereka tidak tahu lagu itu terus berputar di kepalanya setiap saat? Seperti puluhan jarum tertusuk di kapalannya setiap lagu itu terdengar, dan dadanya semakin kencang berdetak.
Bila sudah demikian Mauren akan membentur-benturkan kepalanya di tembok—obat penghilang rasa nyeri sudah tidak mampu menghilangkan rasa sakitnya.
Tubuhnya mengigil, bayangan wajah ibu, ayah, dan Kama—adiknya berputar-putar seperti komedi putar, dan wajah-wajah dengan topeng yang mengerikan bermunculan silih berganti. Mereka semua tertawa, dan nyanyian itu terdengar semakin kencang, dan keras.
“Bu, sampai kapan aku harus bersabar!” teriak Mauren dalam hati.
Meskipun ia telah pindah sekolah, tapi kata-kata itu seperti bayangan yang selalu mengikutinya. Dulu waktu ia masih kecil, kata-kata itu tidak pernah membuat tubuhnya menggigil, dan nyeri pada kepalanya, tapi kini ia merasa disiksa oleh kata-kata itu.
Setiap kali Mauren melihat ibu, ayah, dan Kama, ia merasa berbeda. Meski mereka memiliki dua mata, satu mulut, dan satu hidung, tapi rambutnya jagungnya selalu membuatnya berbeda.
“Ibu, mengapa rambutku berbeda dengan kalian?” tanya Mauren.
“Ya, karena Ibu, dan Ayah selalu menyemir rambut kami. Kami lebih suka rambut hitam.”
“Apa Ibu, dan Ayah juga memiliki rambut yang sama denganku?” tanya Mauren dengan polos.
Sejenak ibu terdiam, dan wajahnya terlihat pucat.
“Eh… Iya. Rambut Ibu memiliki warna yang sama denganmu.”
“Apakah boleh aku juga menyemir rambutku? Supaya kita semua sama?”
“Boleh. Kelak ketika kau sudah remaja, kalau masih kecil, nanti rambutmu rusak. Tapi, Ibu dan ayah selalu sayang denganmu, ingat itu Mauren,” kata ibu.
Namun, semenjak Kama lahir dan ia memiliki warna rambut yang sama dengan ibu dan ayah, di situlah Mauren merasa berbeda. Ibu tidak pernah menjelaskan secara detail, mengapa hanya Maurena yang warna rambutnya berbeda.
Ibu selalu mengatakan, “Ibu hanya menyemir rambut Ibu agar berwarna hitam, bila sudah remaja kau juga boleh menyemir rambutmu.”
Mauren tahu ibu menyembunyikan sesuatu.
Setiap selesai mengatakan itu ibu dan ayah akan diam sambil saling memandang. Dulu mungkin Mauren bisa menerima penjelasan yang seperti itu, tapi kali ini tidak.
Ia pun tahu ada sesuatu yang tidak bisa Ibu jelaskan, hingga wajah itu datang. Jatuh dari langit. Seperti jawaban dari semua tanya dalam hati Mauren.
Tanpa sengaja Mauren menemukan foto usang di gudang, kala ia menaruh buku-buku bekas. Foto itu tertumpuk dengan baju-baju bayi, dan buku-buku usang. Ibu meletakannya tepat di antara tumpukan-tumpukan kardus. Ternyata tikus-tikus meninggalkan jejak lubang di sana, sehingga baju-baju bayi itu menyembul keluar.
Rasa penasaran membuat Mauren membongkar kardus-lardus itu, hingga ia menemukan foto perempuan berambut jagung.
Ia datang dalam bentuk lembar foto. Mauren seperti melihat dirinya sendiri. Terlebih rambut dalam foto itu sama dengannya—rambut jagung. Tangan Mauren bergetar, foto itu mengandung gas air mata.
Nak, kelak ketika kau membaca tulisan ini. Yakinlah aku telah berjuang keras untuk melindungimu, tapi takdir berkata lain. Aku menyayangimu, Nak. Meski kau tak sempat aku susui tapi di rahimkulah kau tumbuh. Nak, aku adalah korban kebejatan manusia pemuas-pemuas nafsu. Namun, aku sangat menyayangimu, gerakkanmu dalam tubuhku, telah merontokkan semua kebencian itu, dan mulai melalui takdir ini dengan lapang dada.
***
“Mauren rambut jagung, Mauren anak pungut.” Lagu itu kembali terdengar dan menggema. Mauren menjambak rambutnya, untuk menghilangkan sakit di kepalanya. Dengan tangan bergetar ia mengambil benda yang tergeletak di dekat kaca. Mauren melakukan hal yang sudah lama ingin ia lalukan.
“Selesai.”
Kini tidak ada lagi rambut jagung itu, Mauren menggundul kepalanya. Ia pun tersenyum puas.
Titimangsa: 9 juli, Salatiga
Niluh Santi, perempuan kelahiran Bali, yang menyukai kopi tanpa gula, dan bermimpi ingin menjadi penulis cerita anak yang terkenal.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/memjadi penulis tetap di Loker Kata