Violett
Oleh: Reza Agustin
Pada tanggal kelima belas bulan ini, mereka akan membuka gerbang. Sudah lama sekali sejak hujan terakhir datang membasahi bumi Violett, kota kecil yang tersembunyi di antara kungkungan gunung. Nama yang singkat untuk menggambarkan seluruh wilayah yang didominasi bebatuan berwarna ungu dan tanaman merambat berwarna serupa.
Violett adalah negeri yang miskin sebenarnya. Apalagi jika manusianya makin berkurang tiap tahun. Penyebabnya karena membuka gerbang. Gerbang adalah pedang bermata dua. Di mana gerbang akan menurunkan hujan, tetapi juga membutuhkan manusia sebagai korbannya. Tak ada yang tahu nyawa siapa yang akan tertarik dari raganya setelah gerbang dibuka.
“Lalu, kau setuju kalau tetua desa membuka gerbang? Bisa saja tetangga, keluargamu, atau bahkan kau sendiri yang akan meninggal setiap gerbang dibuka,” ujar pengelana yang menumpang mampir di kedai milik keluargamu.
“Apa aku punya pilihan lain? Kambing-kambingku nyaris mati. Sudah tak ada tanaman yang segar akhir-akhir ini, kami terpaksa makan makanan sisa. Gerbang tetap harus dibuka,” ujarmu lantas menghela napas dan mengelap meja.
“Apakah itu berarti aku makan makanan sisa?” tanya si pengelana sambil menyisipkan nada jenaka.
“Itu makanan baru dan segar, maka dari itu harganya naik dua kali lipat,” balasmu garing.
Kau terheran-heran dengan kedatangan pemuda bersurai cokelat itu. Datang nyaris tengah malam meminta apa pun yang layak makan. Sudah dua hari dia makan tikus bakar atau cacing raksasa yang kebetulan menjerat kakinya selama perjalanan. Kau menyajikan semangkuk sup ayam. Sembelihan ayam jantanmu yang nyaris mati karena wabah penyakit. Kendati begitu kau masih mematok harga tinggi untuk calon bangkai itu.
“Aku sedang dalam perjalanan menemukan roh yang kalian bilang penjaga gerbang itu. Menemukan bukti eksistensi makhluk mitos seperti itu bisa membuatku kaya tujuh turunan kau tahu. Lebih baik begitu daripada menahan diri di kota kecil yang letaknya terpencil ini.” Si pengelana mengeluarkan secarik kertas usang yang bertuliskan nominal angka di sudut bawahnya. Jumlah fantastis untuk ditukar dengan nyawa.
“Ada baiknya kau pulang sebelum mati. Kau datang hanya untuk menyetorkan nyawa. Ada banyak orang seperti dirimu yang berakhir tinggal tulang belulang saat gerbang dibuka satu bulan kemudian.” Kau melempar lap kusam di atas meja semena-mena, menuntaskan rasa kesal. Pemuda itu tampaknya meremehkan roh penjaga gerbang.
“Setidaknya lebih baik daripada tidak tahu apa-apa lalu mati. Ini uangnya, aku pamit dulu.” Pengelana meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan beberapa koin sebagai tip. Jumlahnya cukup banyak untuk ukuran pengelana kurus yang hobi makan tikus.
Setidaknya lebih baik daripada tidak tahu apa-apa lalu mati.
Kau mencengkeram lap usang di tangan. Kau satu-satunya yang tersisa dari enam bersaudara. Kelima saudara laki-lakimu meninggal secara misterius. Kau sebagai anak bungsu dan lagi perempuan disebut-sebut akan dijadikan istri ketujuh kepala desa jika masih bertahan hidup setelah gerbang dibuka.
Gigimu saling dieratkan. Menikah dengan tua bangka yang napasnya tertinggal di ujung bukan pilihan menyenangkan. Mungkin kematian terasa lebih menyenangkan. Ah, kau mengurut puncak hidung frustrasi. Semoga si pengelana belum pergi terlalu jauh.
***
“Aku tak percaya kau akan mengikutiku, Nona ….”
“Violeta. Panggil saja begitu,” balasmu datar.
“Jadi apa motivasimu hingga mengikuti seorang pengelana miskin seperti diriku?” tanya si pengelana sambil sesekali menebas ranting-ranting kering menggunakan belatinya.
“Seperti katamu tadi, lebih baik daripada tidak tahu apa-apa lalu mati. Lebih baik aku berusaha mati daripada menanti waktu berlalu dan mati. Lalu, kalau aku hidup pun, hidupku akan sama nelangsanya,” balasmu sarkastis.
Si pengelana menolehkan kepalanya padamu. Tampaknya tertarik cerita hidupmu. Matanya berbinar seakan memintamu melanjutkan cerita.
“Kalau aku masih hidup setelah gerbang dibuka, maka aku akan dijadikan istri ketujuh kepala desa uzur itu. Apa bedanya dengan mati?” Kau mendecih lantas memutar mata jengah. Membayangkan bersanding dengan pria seusia kakekmu di atas pelaminan bukanlah khayalan yang indah.
“Menyedihkan sekali, aku harap kau betah ikut denganku. Aku sedang ingin ditemani seorang perempuan cantik. Sudah lama sekali sejak ada perempuan cantik yang datang langsung padaku, biasanya aku menjemput mereka secara paksa.” Si pengelana menghentikan langkah. Ia berbalik agar bisa melihatmu secara utuh. Pandangannya melunak.
“Ada apa dengan tatapan itu?” Kau bertanya waspada, kedua tangan bergerak menutupi dada.
“Kau tahu, hidup di dalam gerbang tanpa teman hidup itu sangat menyedihkan. Kendati aku ini sebuah entitas yang dipertanyakan keberadaannya. Tapi, aku juga butuh teman hidup, apalagi jika mereka perempuan.” Si pengelana memangkas jarak di antara mereka dalam satu kali kedipan.
Kau terkejut saat menyadari mata si pengelana berangsur berubah menjadi ungu, pun dengan surai-surai rambutnya yang ikut berubah warna. Telapak tangannya meraih pinggangmu lembut. Lantas menarikmu dalam kegelapan malam itu.
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata