Upacara Bendera
Oleh: Rosna Deli
5 Naskah Terbaik Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Dengan kemeja lengan panjang, pantofel cokelat muda laki-laki itu mengayuh sepedanya mengelilingi kampung. Setiap berpapasan dengan yang lain dia akan menarik tuas bel sepeda lalu suara kerincing akan terdengar. Laki-laki itu menganggukkan kepala lalu kembali mengayuh pedal dengan gerakan lambat nan khidmat.
Laki-laki itu terus mengayuh sambil menikmati suasana pagi yang hangat. Tidak hanya sinar mentari yang menjadikan hatinya begitu lapang tetapi juga kibaran bendera di sepanjang jalan. Warna merah putih itu mengingatkannya pada puluhan tahun silam ketika dia ikut berjuang melawan penjajah. Meski namanya tak tertulis di buku-buku sejarah tetapi dia tak peduli. Baginya bahwa dia pernah mempertaruhkan nyawanya demi negeri ini jauh lebih berharga dari tepuk tangan orang lain. Meski ketika itu usianya masih muda tapi ingatan itu bagai kokohnya karang di lautan.
Kini setelah waktu berlalu, pemimpin silih berganti. Dia tetap setia kepada negeri. Setelah kemerdekaan dikumandangkan, semangatnya tak pernah berkurang. Meski dia tak mendapat penghargaan, laki-laki itu masih tetap berjuang setidaknya untuk tetap bisa hidup dengan tenang. Tak mengapa, pikirnya, bukankah hidup memang seperti itu?
Laki-laki itu memandang sekeliling, kibaran bendera dari setiap halaman rumah membuat hatinya bahagia. Hari Ini untuk pertama kalinya dia bisa kembali mengayuh sepeda ontelnya setelah sekian tahun menderita strok. Entah bagaimana ceritanya, kesembuhan itu akhirnya didapatkannya setelah berobat ke sana kemari. Meski yang tertinggal sekarang hanya ingatan tentang masa lalu dan keinginannya untuk kembali bisa mengikuti upacara bendera.
Ada pengorbanan di setiap gerak pengibaran bendera. Ada buncah semangat yang meletup ketika bendera merah putih secara perlahan naik hingga ujung tiang. Ada segunung harapan terbentuk saat melihat bendera berkibar gagah di langit nan luas bersama dengan alunan lagu Indonesia Raya.
Berkibar
Berkobar
Berkabar
Dia terus mengayuh hingga sekali waktu laki-laki itu berhenti lama di muka sebuah kedai. Kedai itu adalah kedai terbesar dan terlengkap di kampung itu. Hampir semua kebutuhan sehari-hari ada di sana.
Dengan posisi siap dan tangan hormat laki-laki itu menghadap bendera yang tengah berkibar. Selain kedainya yang besar, tiang bendera kedai ini juga yang paling tinggi.
Pandangannya tak lepas dari ujung bendera meski deru sepeda motor terdengar silih berganti. Dia seolah tengah mendengarkan lagu Indonesia Raya di hatinya sambil memberi hormat.
Tak lama seorang anak kecil menghampiri laki-laki itu lalu berkata, ” Kek, acara 17-annya tidak di sini. Ayo ke lapangan di dekat sana.”
Laki-laki yang dipanggil kakek itu menurunkan tangannya lalu memandang anak kecil yang melaju dengan sepedanya.
Dengan senyum lebar, laki-laki itu kembali mengayuh sepedanya mengikuti anak kecil itu.
**
Lapangan itu adalah lapangan yang sering digunakan untuk bermain bola kaki oleh anak-anak. Di sisi luarnya tembok pembatas telah dibangun. Tembok setinggi lima meter itu telah menutup akses masyarakat kampung untuk melihat ada apa di balik tembok besar itu.
Laki-laki itu tidak tahu ada apa di belakang tembok. Dan tak pernah tahu mengapa perlu pembatas setinggi itu untuk menandakan sebuah area di negeri yang sudah tak ada penjajahnya. Namun baginya itu sekarang tidak penting, bukankah kita sekarang sudah merdeka?
Alunan lagu Rumah Kita terdengar begitu laki-laki itu sampai di depan lapangan. Lagu itu belum pernah didengarnya dengan cermat. Baru kali ini sembari memarkirkan sepeda dia mencoba mendengarkan dengan seksama kata per kata lirik lagu itu.
Dia menarik napas panjang lalu mengucap syukur di dalam hati. Sebaik apa pun kehidupan orang di luar sana, pikirnya, lebih nyaman hidup di rumah sendiri.
Setelah memastikan sepedanya berdiri dengan kokoh ketika diparkirkan, dia merapikan rambut lalu memasang topi mut veteran yang diselipkannya di saku kemeja. Topi ini adalah topi kebanggaannya. Satu-satunya hadiah yang didapatkannya atas perjuangannya tempo dulu.
Hari ini laki-laki itu ingin sekali mengikuti upacara bendera. Dia begitu rindu melihat detik-detik pembawa bendera berjalan tegap di lapangan sambil membawa sang saka merah putih. Saat perlahan bendera itu dinaikkan hingga ke ujung tiang ada semangat yang berkobar di dada laki-laki itu. Dia suka melihat bendera berkibar seakan mengirimkan sinyal semangat pantang menyerah tanpa henti. Dia rindu, teramat rindu, seakan selama ini rasa pengorbanan itu telah lindap dimakan waktu
Dulu dia pernah ingin menaikkan sang saka merah putih tetapi selalu dihantui oleh moncong senjata serdadu. Namun sekarang dia yakin tak akan ada intaian serdadu, tidak akan ada nyawa yang melayang karena bendera dikibarkan. Dia yakin penerus bangsa ini masih merasakan debar perjuangan itu.
Namun saat laki-laki itu memperhatikan sekeliling lapangan, dia heran. Mengapa tak ada orang yang berbaris rapi? Mengapa tak ada para petinggi kampung? Mengapa yang ada hanya keramaian-keramaian?
Dua buah batang pinang telah berdiri tegak di tengah lapangan. Di sisi yang lain tali-tali dengan kerupuk diikat telah berjejer rapi. Beberapa penjual cilok, sosis bakar juga telah mengelar dagangannya.
Anak-anak berlari ke sana kemari tak tahu apa yang tengah mereka lakukan. Sebagian bercanda bersama temannya sebagian yang lain melihat para anak muda tengah mempersiapkan segala sesuatunya.
Laki-laki itu menyusuri setiap keramaian. Dia melihat botol kosong di dalam ember, karung-karung yang tersusun juga balon warna-warni.
Laki-laki itu menepuk bahu seorang anak kecil yang tengah membawa sebuah karung lalu bertanya “Mengapa tidak ada upacara bendera? Bukankah ini hari kemerdekaan?”
“Upacara, Kek?” Anak kecil itu menjawab dengan sedikit bingung.
“Tak ada upacara di sini, Kek. Kalau kakek mau lihat upacara ada di TV.” Anak itu menjawab lalu melihat teman di sebelahnya.
“Kakek mau ikut upacara?” tanya anak yang lain.
Laki-laki itu menganggukkan kepala
Anak-anak itu saling pandang lalu salah satu dari mereka berujar,” Apa serunya upacara, Kek? Hanya berdiri saja. Yang ada hanya capek,” imbuh anak yang lain.
Laki-laki itu semakin bingung tak tahu mana dulu yang harus ditanggapinya.
“TV Pak Ketua Kampung besar, Kek. Kakek bisa lihat upacara walaupun dari jauh. Nanti bisa lihat presiden, lihat bendera, lihat semuanya. Mana tahu dapat sepeda,” sambut anak yang lain lalu tersenyum.
Anak-anak itu ikut tertawa setelah mendengar ocehan temannya.
“Mana mungkin dapat sepeda, wong kita di sini.”
“Ya, mana tahu. Hehe.”
Laki-laki itu terdiam sambil memandangi anak-anak kecil yang kembali berlarian. Tiba-tiba saja kobaran di dadanya padam. Lalu kibaran bendera itu hilang di pandangannya. Dia melepas topi kebanggaannya lalu menyelipkannya kembali di saku kemeja. Laki-laki itu kembali mengayuh sepedanya entah ke mana.
Dumai, 22 Agustus 2024
Rosna Deli, perempuan penyuka keramaian.
Komentar juri, Inu Yana:
Patah hati, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan tokoh utama dalam cerpen ini. Bagaimana tidak, tujuh belasan dalam bayangannya adalah serangkaian upacara bendera yang penuh khidmat sebagai penghormatan kepada sang saka merah putih, tetapi kenyataan yang ia dapati hanya gegap gempita lomba-lomba dan hiburannya saja. Tak ada upacara yang begitu ia rindukan.
Ide yang berbeda, opening yang menarik, dan penggambaran suasana yang memukau, membuatku jatuh cinta pada cerpen ini sejak pembacaan pertama. Keren.