Untuk Ibu

Untuk Ibu

Untuk Ibu
Oleh : Aisyahir25

Janjiku pada Ibu masih saja terngiang-ngiang di pikiran. Janji yang sebelumnya aku setujui, namun pada akhirnya aku ingkari. Bukannya aku tak ingin memenuhinya. Hanya saja, rasanya aku tak sanggup menepatinya. Mana mungkin orang lemah sepertiku mampu berdamai dengan mereka berdua, yang sudah seperti sosok monster. Dan aku pun tak dapat mengalah terus dalam setiap tindakan yang mereka lakukan. Sebab, aku juga punya harga diri!

Setelah pengusiran itu, aku mulai menjauh, tak lagi menampakkan diri ataupun menyapa mereka. Aku hanya tak ingin pertikaian itu semakin berlanjut. Biarlah aku yang menjauh. Asalkan mereka bahagia, aku pun juga akan bahagia. Menjauh bukan berarti hubungan persaudaraan putus, bukan!

Setelah pergi dari rumah itu, yang tak lain adalah rumah ayahku sendiri, aku mulai mencari pekerjaan untuk bisa mencukupi kebutuhanku. Aku tak lagi bisa bergantung pada harta ayahku. Sebab saudara tiriku sudah menguasai sepenuhnya. Jadilah aku hidup sebatang kara, dalam kemiskinan dan keterpurukan. Dari sini aku mulai belajar arti hidup yang sesungguhnya. Bagaimana susahnya hidup mandiri, bekerja, serta diremehkan orang lain.

Aku tinggal di sebuah kontrakan kecil yang tak jauh dari tempat kerjaku. Dan aku bekerja di sebuah toko sembako yang cukup besar di kota ini. Walau penghasilannya minim, aku tetap bersyukur. Setidaknya itu mampu mencukupi kebutuhanku. Selain bekerja di sana, aku juga bekerja di sebuah kafe yang terletak di pinggiran pantai. Dan gaji yang aku terima tergantung banyaknya pengunjung yang datang.

Pagi ini, seperti biasa aku akan menjalankan tugasku sebagai pelayan di kafe.

Setelah menganti seragam khusus pelayan, aku pun mulai menjalankan tugasku. Melayani para pengunjung dengan senang hati.

“Bayu, tolong antarkan ini ke meja nomor tiga, ya! Dan kamu harus sopan terhadap mereka! Sebab mereka itu adalah tamu penting di kafe ini!” kata Bram. Ia adalah pemilik kafe ini.

“Baik, Tuan! Saya akan melakukan segala perintah Tuan!” balasku padanya. Ia memang lebih memilih dipanggil tuan daripada bos ataupun semacamnya. Katanya itu lebih baik. Ia hanya mengangguk lalu pergi meninggalkanku.

Dengan segera aku mengambil pesanan meja nomor tiga, lalu membawanya ke sana.

Aku berjalan dengan hati-hati. Berharap tak ada kesalahan yang terjadi. Sebab pesanan orang terhormat seperti mereka, tak boleh memiliki kesalahan sedikit pun. Dan jika kesalahan itu sampai terjadi, maka siap-siap saja kamu akan dipecat.

“Kenapa pesanan kami belum datang juga? Apa-apaan ini! Kalau begini terus bisa saja saya menutup kafe ini!”

Sesaat aku terdiam. Aku mengenal suara itu, suara tegas yang mengandung keangkuhan. Dan aku sering mendengar suara itu. Suara yang selama ini selalu aku dengar hinaannya, dan sang pemiliknya itu adalah Hendrik. Saudara tiriku!

“Permisi, ini pesanan Tuan. Saya minta maaf karena terlambat membawanya!” ucapku seraya meletakkan piring yang berisikan makanan mereka. Sesaat mataku dan mata Hendrik beradu. Aku tahu pasti saat ini ia sangat malu melihatku jadi seorang pelayan. Apalagi saat ini ia bersama teman bisnisnya.

“Bayu! Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aris, ternyata bukan Hendrik yang bertanya.

“Aku bekerja di sini, Kak!” jawabku seraya menunduk.

“Dia adikmu, bukan? Kok bisa jadi pelayan?” tanya salah satu teman bisnis Hendrik dengan tatapan heran. Yang lain pun ikut heran. Apalagi saat mengetahui bahwa kami dari keluarga terpandang.

“Ayo ikut!” kata Hendrik seraya menarikku pergi. Aku terkejut. Dan aku pun tak bisa apa-apa selain menuruti keinginan mereka.

Sampai di luar kafe, Hendrik langsung mendorongku menjauh darinya. Sedangkan Aris, ia asyik melempariku dengan tatapan tajamnya. Keduanya pasti sangat marah padaku. Serta merasa malu terhadap teman bisnisnya.

“Apa-apaan kamu ini! Kenapa kamu harus jadi pelayan? Apa kamu mau mempermalukan nama keluarga kita? Dasar idiot tak berguna! Lebih baik kamu pergi menyusul ibumu yang juga tak berguna itu! Daripada harus tetap hidup, hanya mempermalukan kami berdua! Dasar tak berguna memang!” maki Hendrik dengan penuh amarah.

Seketika aku merasa sesak. Aku memang menerima dengan senang hati perkataan kasarnya tentangku. Tapi jika yang ia katai itu adalah Ibu, maka aku tak bisa diam saja.

“Dasar saudara tak berguna! Bisanya hanya mempermalukan dan jadi beban hidup! Mati saja sana!” timpal Aris dengan senyum yang sangat tak mengenakkan.

“Cukup! Berhentilah kalian menghinaku seperti ini! Apa kalian tidak puas! Selama ini kalian telah membuat hidupku susah! Menyiksaku, dan menyiksa ibuku! Apakah kasih sayang Ibu kepada kalian itu kurang? Tak bisakah kalian menghargainya? Jika memang tak bisa, setidaknya janganlah kalian menyebutnya tak berguna! Dia itu seorang ibu!” ungkapku penuh amarah. Sekarang aku tak bisa lagi menahannya. Sudah cukup kesabaranku selama ini. Sekarang tak lagi!

Seketika tempat kami berada menjadi ramai akan penonton. Sangat jarang adegan seperti ini terjadi. Apalagi pemerannya berasal dari keluarga terpandang.

“Sudah selasai ceramahnya? Atau masih mau dilanjut? Kamu memang tak berguna, Bayu! Sangat tak berguna! Lihatlah hasil perbuatanmu sekarang! Kamu telah membuat nama keluarga kita rusak!” teriak Hendrik seperti ingin menelanku hidup-hidup.

Plak!

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kananku. Dan pelakunya adalah Aris! Untunglah aku masih dapat menahan keseimbanganku, hingga aku tak sampai terjatuh.

“Dasar adik tak tahu diri! Tak tahu diuntung! Lihatlah sekarang perbuatanmu! Nama keluarga kita telah hancur! Dan itu gara-gara kamu!” teriak Aris. Penonton semakin berdatangan. Memenuhi lokasi tempat kami berada. Tepatnya depan kafe.

“Hancur? Bukankah hubungan kekeluargaan kita memang telah hancur! Jika hubungannya saja sudah hancur, lantas kenapa namanya harus dipertahankan? Bukannya sia-sia saja! Cih ….” Aku rasa inilah saat yang tepat untuk menyadarkan mereka. Bagaimanapun juga, janjiku pada Ibu harus terpenuhi. Karena aku telah berjanji. Walaupun itu atas dasar keterpaksaan.

“Kamu benar-benar tak tahu diri!” maki Hendrik. Kulihat para penonton mulai berbisik-bisik, ada juga yang memotret kami. Sesaat kami jadi trending topic di media sosial.

“Bukan aku. Tapi kalian!” balasku seraya menatap mereka. “Karena selama ini Ibu telah memberikan kasih sayang lebih pada kalian! Tapi kalian tetap tidak sadar diri. Hingga terus menganggap Ibu sebagai musuh kalian!” lanjutku. Kulihat Aris mulai mengepalkan tangannya. Aku tahu ia sudah sangat marah sekarang, begitu pun dengan Hendrik.

“Apa maumu sekarang?” tanya Hendrik coba menahan amarahnya. Ia mungkin tak ingin semakin banyak penonton yang datang.

“Orang seperti Bayu harus diberi pelajaran!” kata Aris.

“Cukup!”

“Jadi apa maumu?” tanya Hendrik padaku. Sesaat aku tersenyum.

“Aku ingin adanya persaudaraan di antara kita! Dan keadilan itu juga ada!” jawabku. Dan aku pastikan ia akan sangat mengerti dengan maksudku.

“Apa-apaan itu!” sanggah Aris tak terima.

“Oke! Sesuai yang kamu inginkan! Mulai hari ini kamu akan kembali ke rumah. Menetap di sana dan berlaku sebagai saudara kami!” jelas Hendrik, lalu pergi begitu saja. Sedangkan Aris, ia tampak masih bingung dengan keputusan kakaknya yang mungkin tak masuk akal baginya. Tapi tak lama kemudian, ia pun ikut pergi.

“Dan janji itu pun telah kutunaikan!”

Apa pun akan aku lakukan untuk Ibu. Apa pun itu. Dan itu semua hanya untuk Ibu.

 

Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis. Dan berharap bisa menjadi seorang penulis. Dapat dikenal lebih dekat lewat akun IG : Aisyahir_25, FB : Aisyahir, dan WA : 085340292689.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply