Unforgettable Moment
Oleh : Ina Agustin
Aku sedang menjaga hidangan di resepsi pernikahan teman. Beberapa kawan lainnya ada di bagian resepsionis dan menyambut tamu undangan. Alunan musik gamelan Sunda terdengar syahdu menemani para tamu saat makan. Dekorasi bunga-bunga tertata cantik, miniatur kolam air mancur terlihat apik, ditambah lampu kecil berwarna-warni menambah semarak suasana. Sesekali kulihat kedua mempelai di pelaminan. Mereka saling mencuri pandang dan tersenyum bahagia. Ah, indahnya. Kapan aku berada di posisi itu?
Tahukah kau, ini bukan yang pertama kali bagiku. Ya, aku sering membantu acara resepsi pernikahan teman. Bila perlu, menginap sehari sebelumnya untuk meyiapkan tenaga. Senang sekali bisa berkontribusi di momen bahagia sepasang manusia yang diikat oleh tali cinta.
Di tengah musik yang mengalun indah, gawaiku bernyanyi tak mau kalah.
[Assalamualaikum. Mbak Rina, besok bisa ke rumah? Umi mau ada perlu.]
Beliau adalah guru ngajiku. Orang yang sangat kuhormati setelah Ayah dan Ibu. Aku dan teman-teman pengajian setiap pekan datang ke rumahnya untuk menimba ilmu. Keesokan harinya aku bertolak ke Tangerang memenuhi panggilannya.
Aku duduk di atas benda berkaki empat. Di depannya terdapat meja kaca dengan vas bunga yang cantik. Dinding rumah Umi berwarna putih sangat kontras dengan lantai hijaunya. Sesaat kemudian Umi keluar membawa minuman dan sebuah amplop cokelat berukuran besar.
“Apakah Mbak Rina sudah siap menikah?” tanya perempuan berdarah Jawa itu.
Tumben beliau bertanya demikian. Apakah ini kabar baik?
“Insyaallah, Mi.”
“Bismillah. Jadi begini, ada seorang ikhwan yang siap menikah. Beliau mau taaruf dengan Mbak Rina. Ini biodatanya. Silakan dibaca di rumah, ya,” jelas Umi sembari menyerahkan amplop itu.
“Oia, terkait biodata Mbak Rina sudah Umi serahkan pada ikhwannya. Waktu itu kan semua binaan Umi diminta mengumpulkan biodata untuk pendataan dan persiapan taaruf.”
Tahukah kau bagaimana perasaanku saat ini? Berbunga-bunga seperti berada di taman surga. Tapi, siapa ikhwan yang Umi maksud? Aku bergeming.
“Mbak Rina, kenapa?”
“Ma-maaf, Umi. Baik, nanti saya baca di rumah.”
“Mintalah petunjuk Allah. Umi tunggu kabar selanjutnya seminggu kemudian.”
Sesampainya di rumah, kubuka amplopnya lalu kubaca dengan saksama. Ikhwan itu tidak mencantumkan kriteria khusus calon istri. Ia hanya ingin mencari wanita salihah yang setia mendampingi suami. Mungkinkah aku orangnya? Entahlah, aku tak mau menduga-duga. Terakhir, kupandangi fotonya. Ah, kenapa jantungku berdetak lebih cepat. Tatapan matanya yang teduh, batang hidung yang menanjak, dan bibirnya yang terbelah membuatku tersenyum semringah. Tunggu! Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang ini. Tapi di mana, ya? Kucoba mengingat, hasilnya nihil. Sudahlah. Aku tidak boleh terbawa perasaan. Seketika teringat pesan Umi, “Minta petunjuk Allah.”
Setelah seminggu salat Istikharah, Allah memberi petunjuk melalui mimpi dan kemantapan hati. Selain itu, aku pun bermusyawarah dengan Ayah dan Ibu. Mereka menyerahkan semua keputusan padaku.
Aku menyampaikan keputusan pada Umi untuk melanjutkan proses taaruf. Beliau memintaku datang ke rumahnya esok malam untuk acara nadzor, bertemu langsung dengan ikhwan yang bernama Ahmad tersebut.
Tibalah waktunya. Kubuka pintu garasi rumah Umi. Di sana sudah terparkir dua unit sepeda motor. Dua orang laki-laki sudah duduk di teras. Tak lama Umi pun keluar menyambutku.
“Silakan duduk, Mbak!”
Tahukah kau saat ini perasaanku seperti apa? Keringat dingin mulai bercucuran membasahi badan, hatiku tak karuan. Kutundukkan pandangan, kuatur irama degup jantung yang bertalu-talu laksana genderang perang. Setelah Umi menyuruhku minum, ia memulai pembicaraan.
“Baik, kita mulai saja, ya. Mbak Rina, ini ikhwan yang dimaksud. Dan yang ini Ustaz Ismail, guru ngaji Akhi Ahmad.”
Mereka mengucap salam. Ingin rasanya kulihat wajah ikhwan itu, tapi tak berani.
“Silakan Mbak Rina jika ada yang mau ditanyakan,” ujar Umi.
Aku terperanjat dan mengangkat wajah. Bingung harus berkata apa. Satu pertanyaan spontan meluncur dari mulutku.
“Mau punya anak berapa?”
Sontak semua tertawa. Duh, betapa malunya diriku.
***
Akad nikah dan resepsi dilaksanakan pada hari yang sama. Pancaran sinar bahagia terlihat jelas di wajah kedua orang tuaku yang sebentar lagi akan memiliki menantu untuk pertama kalinya. Jujur aku pun bahagia karena sebentar lagi akan berganti status. Walau kami tidak saling kenal, tapi kuyakin seiring berjalannya waktu rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya.
“Rombongan pengantin pria datang!” ucap sesepuh kampungku. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Ayah dan Ibu menyambutnya. Berbagai seserahan dibawa lalu diterima oleh saudara dan teman-temanku yang sudah siap membantu.
“Rin, sini cepetan belum selesai riasannya! Duh ya, pengantin enggak mau diem amat, sih!” cakap Dewi yang bertugas merias. Sebenarnya ia bukan tukang rias pengantin, tapi ia memiliki keahlian itu.
“Eh iya, maaf, Wi.”
Dewi melanjutkan tugasnya. Dengan lihai ia meriasku. Merapikan dandanan yang belum selesai, mulai dari atas sampai bawah.
“Wi, jangan menor-menor, ya! Gue malu.”
“Tenang aja, gue paham maunya lu,” jawab Dewi.
Setengah jam kemudian riasan selesai. Dewi menyuruhku becermin. Seketika aku terkejut melihat diriku sendiri.
“Ini beneran gue, Wi?!”
“Bukan, itu badut Ancol!” Dewi tergelak.
Aku lupa mengatakan padamu. Sebenarnya selain Dewi, ada Enong juga di kamar menemaniku sedari tadi. Ia lebih banyak diam memperhatikan aku dirias dan akhirnya bersuara. “Masyaallah cantiknya kamu, Rin!” pujinya. Ah, bikin aku melayang saja.
Kini aku hanya berdua dengan Enong. Dewi sudah keluar dari kamarku membantu teman-teman yang bertugas di bagian lainnya. Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tangan. Sepuluh menit lagi waktu akad nikah dimulai. Aku kembali gelisah. Enong menasihatiku agar tenang.
Entah kenapa seketika aku mengintip Akhi Ahmad dari lubang kunci pintu kamarku. Ia sudah duduk manis di atas kain berlapis yang memang disiapkan keluargaku untuk alas duduk saat akad. Kemeja putih plus dasi, celana dan jas hitam yang membungkus tubuhnya membuatku terperangah. Ditambah lagi peci berwarna senada dengan jas membuatnya terlihat sangat tampan.
“Ehem, ehem. Cieeeh yang ngintip calon imam!” goda Enong mencairkan suasana. Kami pun tertawa.
“Sttt! Dengarkan itu suara MC mulai rangkaian acara!” seru Enong.
Sekitar dua puluh menit kemudian terdengar suara Ayah mengucap ijab dan Akhi Ahmad mengucap kabul.
“Bagaimana saksi, sah?”
“Sah!”
“Silakan pengantin perempuannya keluar!”
Enong memegangi tanganku dan menemaniku ke ruangan itu. Ruang tamu yang disulap menjadi ruangan bersejarah indah. Penghulu memintaku menandatangani buku nikah dan surat-surat lain sebagai kelengkapan administrasi.
“Alhamdulillah sudah sah. Sekarang Neng Rina boleh cium tangan suaminya, ya!” seru Pak Penghulu.
Apa? Cium tangan? Benarkah sudah boleh? Aku bergeming.
“Rin, kok diam saja? Ayo cium tangan suamimu!” pinta Ayah, disusul suara teman-temanku, “Ayo Rin, kalian sudah halal, enggak usah ragu!”
Dengan bergetar kusentuh tangannya. Lalu, ia memasangkan cincin di jari manisku. Ah, semakin membuatku grogi.
Saat langit kian menggelap, keramaian berangsur lenyap. Hingga tepat pukul sembilan malam tak ada lagi tamu undangan. Akhi Ahmad mengajakku menunaikan dua rakaat sunah sebagai bentuk rasa syukur. Usai memimpin salat, ia berbalik ke arahku dan tersenyum.
“Alhamdulillah kita sudah halal.”
“Iya.” Aku membuka mukena, di baliknya kepalaku masih dilapisi jilbab agar rambutku tidak kelihatan.
“Ukhti, boleh lihat rambutnya?”
“Hah?!”
Perlahan aku membuka jilbab. Harum aroma hair spa masih tercium menenangkan. Ia mendekat membelai rambutku yang panjang.
“Akhi, tadi banyak sekali ya, tamunya. Duh, ana capek banget nih. Afwan ya, ana mau tidur duluan.” Aku berpura-pura menguap, berbaring lalu memejamkan mata. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Yes, selamat! batinku.
Aku membuka mata sepuluh menit sebelum azan Subuh berkumandang. Aku menoleh ke sebelah kanan, ia tak ada. Jangan-jangan ia marah. Lalu aku menoleh ke sebelah kiri, ternyata ia sedang larut dalam sujudnya. Aku bergegas mengambil wudu menunaikan dua rakaat qiyamullail di ujung waktu. Tak lama, azan Subuh berkumandang. Akhi Ahmad bergegas ke masjid.
Usai salat Subuh aku ke dapur membantu Ibu menyiapkan sarapan seluruh keluarga. Masih ada sejumlah lauk dan sayur tersisa yang bisa dihangatkan. Beberapa menit kemudian suamiku pulang. Kami semua sarapan bersama. Di tengah-tengah aktivitas sarapan, ia sesekali melihatku dan tersenyum. Syukurlah, itu berarti ia tak marah padaku. Setelah sarapan kami sekeluarga mengobrol ringan.
Waktu bergulir cepat. Tak terasa hari sudah sore. Sedari tadi aku membaca buku di ruang tamu. Akhi Ahmad menyapaku.
“Ukhti mau dipanggil apa? Kita kan sudah suami istri, masa panggilnya Akhi-Ukhti aja, hehe.”
“Neng aja, ya?”
“Baik.”
“Kalau Akhi?”
“Apa saja boleh yang penting Ukhti suka.”
“Ana panggil Aa, ya?” Ia mengangguk.
Malam kembali datang. Guyuran air langit turun begitu deras. Aku melanjutkan membaca buku tentang pernikahan.
“Neng ….” Ia memanggilku lembut.
“Iya, A, ada apa?”
“Bisa ditunda dulu baca bukunya?”
Aku mengangguk. Kemudian bertanya padanya dari mana ia tahu diriku.
“Aa pernah lihat Neng di resepsi pernikahan Akhi Sam dan Ukhti Ani. Akhi Sam itu teman SMA Aa. Ya udah, Aa cari info melalui dia, hehe.”
“Kenapa Aa pilih Neng? Kan banyak akhwat lainnya?”
“Kita tidak pernah tahu pada siapa hati kan berlabuh. Allah kasih kecenderungan hati Aa pilih Neng.”
Perlahan ia mengusap tangan lalu membelai pipiku seraya mendekatkan wajahnya padaku.
“Neng sudah siap?”
“Siap mau ke mana, A?”
“Ibadah bersama.” Ia mengedipkan sebelah matanya.
“Ish, Aa genit!”
“Enggak apa-apa, Sayang, kan sama istri sendiri.” Adem banget saat ia mengatakan “Sayang”.
Kemudian ia semakin mendekatkan wajahnya padaku hingga tak tercipta jarak di antara kami. Aku dapat merasakan setiap tarikan napasnya. Lalu … saat tangannya menggapai kancing bajuku, dengan spontan aku menghindarinya.
“Lho, kenapa?”
“Maaf, belum bisa sekarang.”
“Kalau malu matiin aja lampunya, ya?”
“Bukan, bukan itu.”
“Terus …?”
“Neng baru dapat tamu bulanan sehabis isya tadi.”
“Haduuuh, kenapa enggak bilang dari tadi?” Aa Ahmad menepuk jidatnya.
“Yeeeh, salah sendiri kenapa enggak tanya dulu! Hehe.”
Kami pun tergelak. (*)
Serang, 10 November 2020
Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang memiliki hobi baca. Penulis berasal dari sebuah desa kecil di Pandeglang, Banten, dan kini menetap di Serang bersama sang kekasih halal dan tiga jagoan cilik. Penulis bisa disapa di FB dengan nama akun yang sama.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata