Uli yang Tak Pernah Layu

Uli yang Tak Pernah Layu

Uli yang Tak Pernah Layu

 

oleh: Langit Renjani

 

Uli adalah nama rumpun bunga kurulu yang tinggal di Lembah Baliem di Papua. Uli berteman dengan Meri si buah merah dan Loli si ilalang. Mereka semua tumbuh di dekat rumah Anike, anak perempuan dari suku Dani. 

 

Uli dan teman-temannya menyukai Anike karena dia anak yang rajin. Setiap hari Anike membantu Mama Fielda, ibunya, berkebun menanam hipere, pisang, dan sayur-sayuran seperti kol, wortel, tomat, dan labu. Hipere adalah sejenis singkong yang tumbuh di Baliem. Hipere ada yang berukuran besar sekali sampai-sampai saat memanennya, Papa Silas, Ayah Anike, menggunakan kapak. 

 

Jika sedang tidak bekerja di kebun, Anike belajar membuat noken atau tas dari serat kulit kayu. Membuat noken tidak mudah karena serat kayu harus dipintal dulu menjadi tali, kemudian diberi warna, lalu dirajut menjadi tas. Uli, Meri, dan Loli suka bermain tebak-tebakan, warna apa yang akan dipakai oleh Anike untuk mewarnai nokennya. Kalau sedang bosan merajut noken, kadang-kadang Anike ikut Papa Silas ke hutan untuk mencari kayu dan berburu. Mereka pulang membawa kayu bakar, tanaman obat, dedaunan untuk bumbu masakan, buah-buahan, burung, atau babi hutan. 

 

Suatu hari, Uli mendengar  Bapa Kepala Suku memerintahkan untuk mengadakan pesta bakar batu untuk menyambut tamu dari tanah yang jauh. Uli pun melihat semua orang suku Dani sibuk mempersiapkan pesta itu, tak terkecuali Anike, Mama Fielda, dan Papa Silas. Papa Silas pergi hutan bersama bapa-bapa yang lain untuk berburu. Sementara Anike dan Mama Fielda memanen hasil kebunnya. 

 

Semua tanaman ikut bergembira karena akan menjadi bagian dari acara besar ini dan saling memamerkan kelebihannya.

 

          “Aku akan memberikan umbi-umbi terbaikku untuk pesta ini,” kata Hipere.

 

         “Dan aku pasti akan menjadi sup yang lezat!” ujar Wortel.

 

         “Huh! Asal kalian tahu saja, makanannya tidak akan lezat kalau buahku tidak dipakai sebagai bumbu sausnya,” sahut Meri. 

 

          Uli mendengarkan percakapan teman-temannya dengan sedih. Dia merasa tidak memiliki kemampuan apa pun untuk meramaikan pesta bakar batu nanti. 

 

Sore itu, Uli melihat Anike dan Mama Fielda sedang mengumpulkan ilalang yang akan dipakai untuk memperbaiki atap rumah honai Papa Silas. Saat sedang mengumpulkan ilalang, mata Anike tertuju pada Uli. 

 

Anike bertanya pada Mama Fielda, “Mama, bunga ini kita ambil jugakah untuk dimasak?”

 

           “Tidak, Nona. Bunga itu tidak bisa dimakan.”

 

           “Kalau begitu aku cabut saja, ya!”

 

           “Aduh, jangan! Setiap tanaman diciptakan pasti ada gunanya, hanya kadang kita belum tahu kegunaannya jadi biarkan dia tumbuh.”

 

           “Kalau begitu, aku akan memetiknya untuk dijadikan hiasan, Mama.”

 

Uli sedih sekali mendengar percakapan Anike dan Mama Fielda. Uli juga ingin berguna seperti Ilalang yang menjadi atap honai. Atau seperti Wortel yang bisa dimasak menjadi sayur. Paling menyenangkan tentunya menjadi Buah Merah yang minyaknya bisa menyedapkan masakan sekaligus menyehatkan. 

 

           “Ah seandainya saja aku bisa seperti Meri atau Loli… ,” pikir Uli sedih.

 

           “Uli, mengapa wajahmu sedih begitu?” tegur Loli ilalang.

 

           “Loli, aku sedih sekali, karena kalian semua bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat, sementara aku sendiri tak berguna.”

 

           “Hei, jangan berpikir begitu, menurutku kau bunga yang manis dan menyenangkan!” tukas Loli.

 

           “Dan bukankah si kecil Anike membawa bungamu? Itu artinya dia menyukaimu!” timpal Meri turut menghiburnya.

 

Uli merasa senang mendengar ucapan teman-temannya, meskipun di dalam hati dia masih merasa sedih. Bahkan kemeriahan pesta bakar batu juga tak mampu menghiburnya. Pesta bakar batu adalah acara suku Dani untuk memasak makanan bersama-sama. Semua orang mengumpulkan daging, hipere, dan sayuran untuk dimasak menggunakan batu yang telah dibakar. Setelah makanan matang lalu dibagi-bagikan untuk semua anggota suku dan mereka makan bersama. Pesta ini sangat menarik tidak hanya bagi suku Dani tapi juga bagi orang asing dari luar suku Dani.

 

Uli sudah terbiasa melihat berbagai macam orang dari luar mengikuti pesta ini. Seperti kali ini, beberapa orang bapa berkulit pucat disambut sebagai tamu dalam acara ini. Uli hanya sedikit heran ketika dirinya diteliti dengan saksama oleh salah satu tamu yang datang. Apalagi tiba-tiba saja bapa itu berteriak pada semua orang, “Astaga! Lihat! Ini bunga yang istimewa!”

 

Uli terkejut, baru kali ini ada yang menyebutnya bunga istimewa. Anike, Mama Fielda, Papa Silas, Bapa Kepala Suku, dan banyak lagi orang berkumpul mengerumuni Uli. 

 

Bapa berkulit pucat itu menjelaskan bahwa Uli adalah jenis bunga yang istimewa karena tidak bisa layu. Kelopaknya yang keras seperti kertas akan bertahan lama bahkan setelah mengering. Bunga-bungaan seperti Uli sangat disukai di luar sana untuk hiasan. Uli senang bukan kepalang mengetahui bahwa bunganya ternyata istimewa. Bahkan orang asing itu menyebutnya sebagai bunga abadi. 

 

Sejak pesta bakar batu itu, Uli tak lagi muram. Senyumnya selalu tersungging karena Uli tahu bahwa seperti teman-temannya, dia juga bisa bermanfaat sebagai hiasan bunga yang tak pernah layu. (*)

 

Langit Renjani, penyuka dini hari dan secangkir kopi susu, yang menulis untuk untuk meredakan badai di kepala.

 

Leave a Reply