Ular Pemangsa
Oleh: Rachmawati Ash
Sebatas mata memandang hanya hamparan hijau sawah yang terlihat oleh kedua mataku. Puluhan orang pekerja sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Dari balik topi kuperhatikan mereka satu per satu. Seorang wanita paruh baya sesekali meledek teman di sampingnya, memercikkan air mineral ke wajah temannya. Disusul tawa canda dari beberapa teman lainnya. Meski mereka sedang bekerja, tapi terlihat sangat menikmati dan tidak mengeluh dengan teriknya matahari siang ini. Para pekerja laki-laki juga sibuk memindahkan karung-karung berisi padi menuju ke mobil pick-up di pinggir jalan.
Ayah memberiku tugas baru, menunggui para buruh yang bekerja di sawah kami. Alasannya, karena aku sedang libur kuliah dan tidak perlu mencari kerja tambahan di kota. Setahun ini Ayah telah berhasil menjadi petani sukses. Beberapa hektar sawah di desa kami telah dibeli oleh ayahku. Tidak hanya itu, warga di sekitar juga banyak yang datang ke rumahku untuk meminjam uang kepada Ayah.
Ayahku seorang pekerja keras. Dari menjadi pedagang tangga, buah hasil panen keliling dari desa ke desa, sampai menjadi buruh bangunan dan bermuaralah menjadi seorang petani pada setahun terakhir ini. Aku masih ingat sekali saat dulu masih kecil sering ikut Ayah dari kebun ke kebun untuk mencari buah-buahan yang bisa dijualnya di pasar.
Angin semilir membawaku terbuai ke masa kecil, kubiarkan tubuhku bersandar sesukanya pada pohon kapas di pinggir sawah. Mataku dimanjakan dengan pemandangan pegunungan yang hijau kebiruan. Beberapa pekerja Ayah menyapaku dengan sopan dan takzim.
“Mas Bagas libur kuliah, ya?” Seseorang bertanya kepadaku sambil membungkukkan badan ketika lewat di depanku.
“Iya, Mang. Kuliah libur, jadi saya bantu Ayah di sini biar ketularan pinter usaha katanya.” Aku tertawa, beberapa pekerja ikut tertawa sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Apa rahasia yang menjadikan Pak Lukman kaya raya seperti sekarang ini, Mas?” tanya seorang pekerja lainnya yang sedang berdiri di sampingku. Aku hanya tersenyum dan memberi kode kepada mereka kalau aku akan segera pulang ke rumah.
Dua langkah aku meninggalkan para pekerja ayahku di sawah, terdengar suara gaduh di antara mereka. Para wanita yang sedang memisahkan butir padi dari batangnya berteriak-teriak, berlompat-lompat dengan wajah ketakutan. Aku berlari ke arah mereka. Kudapati seorang laki-laki terkapar dengan memegangi kaki kirinya. Bekas gigitan ular meninggalkan warna biru keunguan di sekitar lukanya. Aku membopongnya ke pinggir sawah, dibantu beberapa pekerja laki-laki lainnya.
Aku sudah berusaha menyelamatkan dan membawa pekerja ayahku ke rumah sakit, tapi Tuhan berkehendak lain. Pak Karsa tidak tertolong, dia meregang nyawa saat sampai di ruang IGD. Pemakamannya berlangsung dramatis, karena anak-anaknya yang masih kecil menangis histris dan istrinya beberapa kali pingsan tidak siap menerima kepergiaannya. Aku bisa merasakan apa yang menimpa keluarga kecil itu. Sumber pendapatan satu-satunya adalah Pak Karsa. Kini, tulang punggung itu telah berpulang kepada Sang Pencipta untuk selama-selamanya.
***
Sore ini Ayah baru mengetahui kejadian di sawah yang membuat pegawainya meninggal dunia, karena dua hari ini Ayahku pergi ke luar kota. Ayah hanya bilang kalau di sawah memang ada ular yang biasa lewat di sana. Mungkin hanya kebetulan saja ular itu lewat dan sedang ada orang bekerja yang dianggap mengganggunya. Menurut Ayah, tidak ada alasan para pekerja takut untuk bekerja lagi di sawah kami. Aku setuju dengan pendapat Ayah yang selalu berpikir positif, sehingga tidak mengganggu kegiatan yang seharusnya tetap dilakukan.
Ayah memberitahuku bahwa besok pagi akan diadakan syukuran, karena Ayah membeli tiga mobil baru sekaligus. Aku diminta membuat undangan untuk beberapa tamu yang akan diundang. Tanpa sedikit pun berkomentar, aku melakukan apa yang diminta oleh Ayah.
Ratusan warga sedang menikmati hidangan yang disuguhkan oleh keluargaku. Canda dan tawa memenuhi ruang tengah hingga halaman di rumahku. Semua pegawai Ayah datang dengan keluarganya masing-masing. Ayah memberitahu bahwa akan membagikan uang bonus kepada keluarga yang datang ke acara syukuran di rumah kami. Semakin malam suasana semakin ramai, tiba-tiba suara jeritan anak perempuan di tengah-tengah tamu yang sedang menikmati hidangan. Sontak semua mata tertuju pada gadis kecil dengan dua ekor kuda yang diikat pita warna pink itu.
Seekor ular datang ke rumahku, membuat kacau suasana syukuran yang harusnya menjadi acara menyenangkan bagi semuanya. Namun nasib buruk terulang lagi, seekor ular kembali mengambil korban yang tidak disangka-sangka oleh siapa pun. Gadis kecil usia lima tahun itu meninggal di rumahku dengan keadaan seluruh tubuh membiru. Gigitan ular meninggalkan bekas mematikan di bawah mata kakinya, memasukkan racun yang dengan cepat terkirim ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Gadis kecil itu meninggal dunia di pangkuan ibunya. Tragis.
Aku menelan ludah, saat semua orang kembali panik dengan tatapan mata sinis tertuju kepadaku. Aku merasa seperti tertuduh yang menjadi penyebab kematian-kematian yang terjadi di sekitarku. Tatapan mereka seolah meminta pertanggungjawabanku.
“Ini bukan ular sembarangan. Pasti ada yang mengirim ular ini untuk mencari tumbal, ada yang punya pesugihan di desa ini!” Seseorang yang tidak terlihat jelas wajahnya berkata dengan suara tajam. Dari balik lampu yang tertutup rimbun daun mahoni keluar seorang laki-laki dengan deru napas memburu, tidak terima atas kematian putri kecilnya.
“Di mana ayahmu? Kenapa setiap kematian terjadi, dia tidak ada di sekitar kami. Di mana dia, hah?!” Kata-katanya yang beringas membuatku mundur beberapa langkah.
Aku jadi ikut-ikutan ngeri mencerna kalimat yang baru saja kudengar. Pesugihan? Apa yang ada di pikiran mereka. Bukankah ini ular? Mana ada pesugihan berbentuk ular? Yang kutahu dari cerita orang-orang pesugihan tidak ada yang berwujud ular. Atau aku saja yang kurang peka terhadap perkembangan perpesugihan di era milenial ini?
Dadaku naik turun, napasku ngos-ngosan karena diburu dengan kalimat-kalimat kasar dari warga yang riuh di rumahku. Ayah belum juga keluar dari kamarnya, sudah dua jam Ayah masih menghitung amplop dan isinya yang akan dibagikan kepada para tamu.
Memang sejak kepergian Ayah ke luar kota beberapa bulan lalu, mendadak keluargaku menjadi kaya raya. Sawah dengan luas hektaran terbeli oleh ayahku. Tanah dan kebun warga juga sudah banyak yang digadaikan kepada Ayah. Sekarang Ayah membeli mobil baru sebanyak tiga unit sekaligus. Ayah membeli mobil dengan alasan hasil panen yang melimpah dan membutuhkan alat transportasi yang memadai tanpa harus menyewa. Tuduhan mereka tidak masuk akal.
Warga berduyun-duyun meninggalkan rumahku. Mereka fokus pada mayat gadis kecil yang menjadi korban gigitan ular di rumahku. Aku masuk ke dalam rumah, bermaksud mencari Ayah untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian-kematian ini. Mengapa berurutan dan selalu terjadi saat aku berada di sana. Kupercepat langkah menuju ke kamar Ayah, bermaksud mengetuk pintu. Aku menghentikan langkah, kulihat bayangan hitam memenuhi kamar ayahku melalui celah di bawah pintu. Rasa khawatir membuncah di otakku. Aku merasa ada bahaya yang sedang mengancam ayahku di dalam kamar.
Kutekan gagang pintu, menekannya, tapi terkunci dari dalam. Aku mencuri penglihatan dari lubang kunci dengan satu mataku. Aku seperti kehilangan oksigen di sekitarku, napasku seperti terhenti dengan sendirinya. Kulihat Ayah sedang bercumbu dengan seekor ular di dalam kamar. Dengan tubuh separuh telanjang, Ayah bermesraan dan berciuman dengan sesekor ular raksasa. Asap dupa menciptakan aroma mistik dari kamarnya, sesaji juga kulihat di sisi ranjang Ayah. Kedua mata ular itu menangkapku, aku jatuh tersungkur melihat orang-orang yang mati digigit ular kemarin dan gadis mungil itu berdiri di hadapanku.(*)
Rachmawati Ash. Wanita berzodiak Scoprio.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata