Ulang Tahun Kedua Kalinya
Oleh: Jemynarsyh
Aku tiba di rumah saat azan Magrib berkumandang. Tanpa mengucap salam kubuka pintu dengan pelan. Pandanganku menelisik sekitar yang nampak sepi. Di mana Mama? Aku bergegas ke taman belakang biasa tempat Mama bersantai. Namun, tak juga kulihat sosoknya di sana. Kulangkahkan kaki kembali ke dapur, mengamati sekitar yang nampak rapi persis tadi pagi sebelum aku berangkat bekerja. Lalu kubuka tudung nasi yang isinya masih lengkap, ada sayur bening bayam dan ikan goreng yang masih utuh tak berkurang satu pun. Dahiku mengernyit, ada perasaan tak nyaman yang mulai menyelusup ke hati. Dengan was-was segera kutelepon Mama, sambungan terhubung tapi tak diangkat juga dan berakhir dengan suara operator. Ke mana perginya Mama? Kucoba menghubungi Mahesa, sama tak diangkat juga. Perasaanku menjadi tak tenang, jantungku kian berdegup kencang saat sekelebat kejadian buruk melintas dalam benak.
Kucoba menghubungi kembali Mahesa, tetapi masih tak diangkat juga, membuatku kesal dan ingin memarahinya jika bertemu nanti. Saat pikiranku sedang kalut, pandanganku terpaku pada beberapa botol obat yang terletak di atas meja. Ah, pasti Mama melewatkan meminum obatnya secara teratur. Jika begini terus bagaimana Mama akan sembuh.
Aku masih berada di ruang tamu berjalan mondar-mandir mencoba menghubungi Mahesa dan Mama yang belum ada kabar. Waktu terus bergulir, bintang-bintang nampak bekerlip indah menghias langit. Sayup-sayup terdengar seseorang mengetuk pintu, tanpa mengecek terlebih dahulu aku bergegas membukanya.
“Selamat ulang tahun, Jihan!” seru Mama, seraya tertawa menampakkan barisan giginya yang rapi. Kedua tangannya memegang kue dengan lilin membentuk angka dua puluh delapan.
Aku terdiam menatap Mama yang nampak bahagia dan Mahesa yang berdiri tepat di belakang Mama, tersenyum paksa dan menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Rasa kesal dan amarah yang menggebu seketika menguap tergantikan rasa nyeri di relung dada, mencoba baik-baik saja di hadapan orang tersayang nyatanya aku tak sekuat itu. Dengan perasaan berkecamuk kutiup lilin dan melantunkan doa yang sama berturut-turut sejak semalam, semoga Mama lekas sembuh.
Setelah meniup lilin dan berdoa, Mama mencium pipi kanan dan kiriku dengan sayang disertai harapan-harapan kebanyakan orang tua pada umumnya. Kemudian Mama duduk di kursi seraya memakan sepotong kue. Aku masih berdiri tak jauh dari Mama, lalu Mahesa mendekat menatap iba. Tanpa banyak kata ia memeluk dan mengusap pundakku. Entah kenapa, dalam pelukan lelaki ini aku tak bisa lagi menahan sesak yang sedari tadi kutahan. Kugigit bibir untuk meredam isak tangis meski sakit rasanya tak apa, daripada harus melihat Mama yang bersedih.
Setelah perasaan mulai membaik aku dan Mahesa berbagi cerita tentang Mama yang tiba-tiba saja menghubunginya untuk membeli kue, serta memberikan kejutan. Mahesa sesekali memberi lelucon dan seperti biasa aku akan tertawa menanggapinya. Di sela-sela kami bercerita Mama beranjak dari kursi hendak ke dapur mengambil minum. Sepeninggal Mama, kami kembali hening. Tak ada yang bercerita hanya kedua tangan yang saling bertaut menguatkan.
“Jihan!” Mama berteriak dan bergegas menuju ruang tamu, wajahnya nampak cemas. Kedua tangannya memegang kue coklat yang tinggal setengah dan ada dua lilin angka dua puluh delapan dan meletakkannya di samping kue yang baru.
Aku dan Mahesa saling pandang, bersiap akan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Mama menatap lekat pada kedua kue, dahinya mengernyit mencoba mengingat sesuatu.
“Jihan ….” Mama memanggil dengan pelan.
Aku mendekat menghampiri Mama, yang matanya nampak berkaca-kaca. Dengan lirih ia berucap, “Mama… lupa lagi, Nak. Kemarin kita baru merayakan ulang tahunmu yang kedua puluh delapan. Orang tua macam apa Mama ini, dan sekarang merayakan ulang tahunmu lagi.”
“Ma… jangan menyalahkan diri sendiri. Jihan paham, kok, Ma.”
“Tapi, Nak. Baru lima bulan lalu diagnosa dokter. Kenapa cepat sekali…? Mama bakal nyusahin kamu.”
“Enggak apa-apa, Ma. Dulu waktu Jihan kecil nyusahin Mama, kan? Enggak apa-apa, Ma.”
“Entahlah Jihan, Mama perlu waktu,” ucap Mama, berjalan pelan menuju kamar.
Pandanganku kian buram. Buliran bening tak terbendung lagi keluar dari sudut mata. Membayangkannya saja seperti ada puluhan jarum yang menusuk dada. Nyeri.(*)
Palangka Raya, 15 February 2022
Jemynarsyh, gadis kelahiran Kalimantan yang jatuh cinta pada literasi.
Editor: Inu Yana
Sumber gambar: https://1.bp.blogspot.com/-X_2951jprG8/YEd9YIQlvGI/AAAAAAAADq8/8Ki18d7JwtYePb7xS7OWLIpE4GcuRXQUQCLcBGAsYHQ/s746/Potrait%2Bof%2BGerda%2B%2528Ernst%2BLudwig%2BKirchner%252C%2B1914%2529.jpg