Two Shadows that Talk about Albino People

Two Shadows that Talk about Albino People

Two Shadows that Talk about Albino People
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Waktu itu, sehabis membaca ulang The Da Vinci Code karya Dan Brown, May serta-merta membuka tirai putih apartemen Jo, lantas memejamkan mata, seolah menikmati sinar mentari yang jatuh di Marshall Apartment Luxury, West Virginia. Jo melihatnya sambil tertawa kecil. May memang sering melakukan hal aneh ketika merasa terinspirasi, atau ketika punya “pertanyaan agung”—demikian dia menyebutnya—di kepala, seperti yang gadis berambut pirang itu ajukan kemudian, “Jo, apa pendapatmu tentang orang-orang albino?”

Pria yang menjabat sebagai office manager di salah satu perusahaan dagang Amerika tersebut meletakkan cangkir kopi, lalu mendekat. “Mereka cantik, sekaligus rapuh.” Jo melirik buku sarat simbolisme yang terbuka di halaman pertengahan, “Apa yang kaupikirkan, hm? Ceritakan saja.”

May mengedipkan mata cepat, tipikal saat sedang gelisah. “Kulit orang albino sangat rentan cahaya matahari dan berpotensi lebih besar terkena kanker kulit daripada orang normal. Penglihatan mereka juga terganggu—kebanyakan penderita albinisme biasanya menderita rabun dekat, mata juling, atau nistagmus.” May menelan ludah. “Lalu, bagaimana cara mereka mengatasi musim seperti ini? Maksudku, sungguh! Aku bahkan harus memutar otak agar kulitku tidak memerah atau iritasi—aku bahkan lebih suka bersantai di rumah, menyalakan AC dengan suhu terendah, sambil merevisi naskah dari penerbit—tapi bagaimana dengan mereka? Apa mereka kesakitan? Apa mereka memilih membolos sekolah, tidak masuk kerja, mendekam di rumah, mengisolasi diri dari dunia luar?”

May menggigit bibir. “Di Tanzania, orang albino dianggap sebagai pembawa sial, bahkan kerap dijadikan sesaji oleh para dukun Tanzania. Mereka didiskriminasi, diburu, dibunuh … jadi apa yang mereka lakukan untuk bertahan hidup? Apa mereka terus menerus bersembunyi, dikekang dalam kegelapan?”

Jo memejamkan mata, mengikuti lakon May tadi.

Jo bukan penggila hal rumit, seperti May, tetapi wanita berambut panjang itu berkali-kali memaksanya melihat film sejenis, dan salah satunya adalah The Da Vinci Code. Jo tentu saja menontonnya ogah-ogahan, tetapi dia masih cukup sadar untuk mengingat beberapa adegan ikonik, seperti ritual aneh di pertengahan, serta tangis May ketika salah satu antagonis mati. Silas, antagonis itu, dibuang keluarganya sejak kecil akibat menderita albinisme, dan bertahan hidup bertahun-tahun dengan mencuri di pelabuhan. Dia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama kriminal lain, tetapi berhasil melarikan diri lewat kepanikan massal akibat gempa bumi yang tiba-tiba datang.

Dalam perjalanannya, Silas menemukan pencerahan spiritual bernama Manuel Aringarosa, seorang pendeta salah satu gereja kecil di Spanyol, dan memutuskan untuk mengikutinya: menjadi manusia “taat”. Meskipun, yah, ketaatan itu akhirnya disalahgunakan oleh antagonis utama dalam The Da Vinci Code.

Apa itu yang mengganggu pikiran May?

“Aku tahu, tidak semua orang menganggap albino sebagai kutukan. Ada sebagian kecil yang mau memahami dan menerima mereka apa adanya. Tapi, itu yang jadi masalah, ‘kan?” Jo terdiam, mulai mengerti alur pembicaraan May. “Karena hanya beberapa orang yang mau menerima mereka—karena mereka hanya bisa berbagi, menunjukkan diri mereka yang sebenarnya, seperti apa perasaan mereka selama ini pada sebagian kecil orang—makanya mereka terus bersembunyi dan berpura-pura, ‘kan? Sama seperti bila mereka berhadapan dengan musim panas atau sinar matahari.”

“Zaman berubah, May. Ini hanya butuh adaptasi, waktu, sampai mereka bisa diterima di masyarakat. Toh, dunia modern perlahan sudah mau menerima keberadaan mereka.”

“Karena itu, aku memikirkannya,” May menatap lurus langit biru West Virginia dengan mata merah, “sampai kapan mereka bersembunyi dalam kegelapan?” Ia kembali berkedip cepat. “Kapan mereka bahagia tanpa mesti bersembunyi? Kapan mereka bebas menikmati dunia ini, tanpa takut sinar matahari serta diskriminasi masyarakat?”

Jo lekas memegang pipi May yang mulai basah sambil berucap pelan, “May ….”

“Ah, iya, aku tahu. Maaf, tapi hari ini matahari terik sekali sampai mataku jadi perih.”

Mereka diam.

Jo menghela napas.

Ia tentu mengerti—sangat mengerti—maksud pertanyaan May. Ini bukan masalah buku itu ataupun nasib orang-orang albino. Ini tentang mereka. Pertemuan mereka.

Pertemuan mereka adalah sarana pelarian final atas realitas yang terjadi: Lyn yang perfeksionis dan selalu menuntut banyak hal pada Jo; Dean yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai pilot hingga tidak punya waktu mendengarkan cerita May. Mereka, Jo serta May, adalah sahabat sejak SMA dan telah berbagi luka untuk waktu yang lama. Jadi tidak heran, suatu hari, keduanya tersadar punya afeksi serta kebutuhan berlebih atas masing-masing, dan memutuskan untuk menjadikan satu sama lain sebagai rumah. Rumah kedua.

Budaya Barat cenderung mendukung kebebasan dalam berhubungan, tetapi bukan berarti setiap individu dilegalkan berkencan dengan beberapa orang sekaligus. Selalu ada sisi irasional, romantis, idealis, dalam cinta, dan itulah yang mendorong mereka bersembunyi. Terus menerus.

Kendati demikian, ada satu titik di mana mereka lelah berpura-pura, bersembunyi, atau apalah itu namanya. Ada banyak waktu di mana keduanya berpikir, mengapa mesti bertahan bila tidak cocok? Mengapa mesti menyembunyikan sesuatu yang membuat nyaman dan berlama-lama bermain duri? Mengapa mereka tidak mencoba berani, mengatakan yang sebenarnya pada Lyn dan Dean, lantas menjalani hubungan yang “transparan”, jujur? Apa karena Jo masih saja menyukai senyum Lyn—ketika bussiness woman itu diam, tidak menyuruh ini-itu—sedangkan May telanjur terikat dengan Dean?

Entahlah. Barangkali, karena hakikat manusia adalah makhluk terikat, karena itu mereka ada di sini, bersembunyi … sama seperti orang-orang itu.

Jo menghela napas, lantas menggenggam jemari kurus May. “Dengar, kau punya aku, oke? Kita sudah saling memahami sejak lama, jadi kalau ada masalah, langsung cerita saja padaku.” Mereka berpandangan sejenak sebelum Jo mengusap rambut lembut May. “Orang-orang selalu berpura-pura … tetapi bukan berarti mereka tidak bahagia. Justru karena inilah, kita bisa bertahan dan bahagia sampai sekarang, ‘kan?”

May menunduk sembari meraih ujung kemeja Jo. “Harusnya aku yang berkata seperti itu. Maaf … sudah membuatmu khawatir.”

Jo tergelak. “Kau selalu mengatakannya dan mengulangi hal sama.” Ia kembali melihat buku bersampul tebal di atas meja putih. “Kurangilah membaca hal-hal semacam itu. Kau sudah banyak berpikir meski tidak membaca buku atau menonton berita di televisi.”

“Ini sulit. Lagi pula, pekerjaanku memang berurusan dengan hal-hal semacam ini.”

“Karena itu, kau membutuhkan seseorang untuk diajak bicara,” lanjut Jo dalam hati. Ia tersenyum, kembali mengusap rambut May, mengecek ulang agenda hariannya, kemudian mengambil jas di gantungan baju.

May mendongak, mengerti maksud gerak-gerik Jo. Ia lekas beranjak, menuju kulkas, lantas menuangkan pasokan limunnya ke gelas seraya menawarkan, “Jadi … segelas limun sebelum pergi?” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata