Terbaik Ke-2 TL 20
Genre Folklore
Tumbal Cinta Sejati
Oleh: Kang Kung
Akan kuceritakan ulang sebuah kisah yang terjadi beberapa tahun silam. Dahulu, aku sengaja menyamarkan kebenaran demi kesenanganku semata. Aku terlalu berlebihan menyelipkan unsur cinta ke dalam kisah itu. Kisah yang pada akhirnya menggaung ke seluruh negeri. Begitulah, cerita cinta memang tidak pernah gagal menghanyutkan perasaan manusia.
Baiklah, aku harus segera menuliskannya. Kali ini aku akan menceritakannya dengan kejujuran yang penuh. Tidak akan kubiarkan setan memengaruhiku lagi. Ah, bahkan makhluk terkutuk itu telah meninggalkanku sendiri di sini. Di tempat yang pengap dan lembap ini, aku duduk di lantai yang dingin dengan kaki dililit rantai karatan. Orang-orang yang menyeretku kemari membiarkan sebuah obor menggantung di antara jeruji besi, agar aku bisa menulis kebenaran yang mereka nantikan, terutama laki-laki itu. Laki-laki bertubuh kekar yang memiliki kumis tipis. Laki-laki yang telah memaksaku untuk memakan bara hingga aku kehilangan bakat yang telah diwariskan nenek moyangku. Gaston, itulah nama lelaki itu.
Tanpa basa-basi lagi, aku akan memulainya. Suatu hari, di saat bunga-bunga di seluruh penjuru negeri tengah bermekaran, seekor gagak singgah di gubukku. Gagak itu bukanlah gagak biasa. Sahabatku bersemayam di dalam jiwanya. Sahabatku itu memang bisa menjadi apa pun yang ia mau. Bahkan ia sering menyelinap ke dalam aliran darahku.
Dengan suara yang parau ia berceloteh tentang seorang pangeran tampan yang senang bermain-main dengan wanita. Kemudian ia menambahkan, bila sang pangeran selalu berpesta dengan para wanita setiap malam. Lantas sahabatku mengatakan padaku tentang kebenciannya terhadap sang pangeran. Menurutnya, terlalu mudah bagi laki-laki itu untuk bersenang-senang.
“Kamu ingin aku mengotak-atik nasibnya?”
Burung gagak mengepakkan sayap, lalu berkeliaran di atas kepalaku. Sesekali ia mematuk bagian kepalaku secara acak. Ia terus-menerus berteriak seperti gagak yang menemukan bangkai. Karenanya, aku harus menutup rapat kedua telingaku. Ia baru berhenti saat aku berhasil meraih dan mencengkeram kedua kakinya. Pada akhirnya, kami saling menatap. Aku mulai menyelami matanya yang gelap, pun sebaliknya. Beberapa saat kemudian, kami sama-sama mengangguk.
Pada malam harinya, aku telah sampai di istana sang pangeran. Dua penjaga di depan gerbang membiarkanku masuk begitu saja. Mantra yang telah kulafalkan sebelumnya mampu mengelabui penglihatan mereka. Dari sudut pandang orang-orang itu, aku adalah wanita cantik yang tubuhnya dibalut gaun berwarna merah.
Aku terus melangkah sembari mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan. Tampak taman bunga mawar yang menghampar seperti lautan darah. Lalu, aku berhenti sejenak. Kupetik setangkai mawar untuk kuhadiahkan kepada sang pangeran. Setelah itu, kubiarkan jari telunjukku tergores duri yang menghiasi tangkai bunga mawar. Selanjutnya, kubisikkan mantra-mantra yang lantas mengubah warna mawar menjadi lebih pekat, sepekat darah yang mencuat dari ujung jariku.
Aku kembali melangkah seraya tersenyum lebar. Kemudian aku menengadah tatkala mendengar pekikkan burung gagak. Lantas mulutku melebar dua kali lipatnya. Dengan cepat, burung gagak meluncur ke arahku. Ia menukik tajam, lalu menghunjam jantungku. Seketika kabut hitam menyelimutiku. Bersamaan dengan itu, kilat menyambar. Aku berputar di bawah pusaran awan seraya mengangkat kedua tangan. Mulutku tidak berhenti berkomat-kamit. Sampai akhirnya hujan turun dan menghapus topengku.
Gaun merah sebelumnya telah berganti menjadi jubah yang lusuh. Aku kehilangan tubuh tegap juga gigiku. Saat kuusap wajah, kurasakan kulit yang peyot. Sementara itu, setangkai mawar tadi menjelma menjadi sebuah tongkat yang kemudian kugunakan untuk menopang tubuhku yang ringkih.
Sesampainya di pintu utama istana, aku diadang oleh beberapa pasukan penjaga. Bahkan salah satu dari mereka mengacungkan pedangnya di depan wajahku. Aku mundur dengan spontan. Aku lantas memelas, dan memohon kebaikan mereka agar membiarkanku berteduh hingga hujan reda. Sayang sekali, mereka menolakku mentah-mentah.
Keributan di luar istana membuat sang pangeran akhirnya menampakkan diri. Ah, lelaki itu memang memiliki ketampanan yang luar biasa. Aku belum pernah melihat mata yang jernih, sejernih lautan. Pantas saja banyak wanita terhipnotis olehnya. Wajar rasanya bila ia angkuh.
“Tidak ada yang boleh mengalahkan keangkuhanku,” bisik makhluk di dalam jiwaku. Ah, tentu saja.
Lantas aku bersujud di hadapan sang pangeran. Aku memohon belas kasihnya. Sial, hati laki-laki itu tidak sesempurna parasnya. Sang pangeran dengan kasar menendangku hingga aku berguling lalu terjerembap.
Sontak darahku mendidih. Sejurus dengan itu, pusaran awan kembali hadir, pun dengan kilat yang menyambar. Lalu tubuhku melayang di udara. Kemudian, kuayunkan tongkatku sembari mengucapkan mantra sihir. Ada semacam aliran listrik yang terempas dari ujung tongkat, lalu mengenai tubuh sang pangeran.
Jeritan pangeran terdengar memekakkan telinga. Bahkan para wanita turut menjerit karenanya. Jalang-jalang itu lari tunggang langgang tatkala menyaksikan perubahan yang mencengangkan pada pangeran. Tubuhnya mengembang berkali-kali lipat. Surai yang lebat memenuhi raganya. Di kepalanya menyembul tanduk. Dari mulutnya mencuat taring-taring yang tajam. Mulai saat itu aku memanggilnya si Buruk Rupa.
Dengan beringas si Buruk Rupa menerkam siapa pun yang tertangkap oleh penglihatannya. Setiap darah yang ia isap membuat energiku bertambah. Sahabatku pun turut bersukacita. Karena malam itu dahaganya terpenuhi. Apakah semua itu selesai begitu saja? Tentu tidak. Justru yang terjadi di malam itu barulah awal.
Ketika si Buruk Rupa selesai dengan santapannya, ia baru sadar dengan apa yang telah terjadi. Ia pun melolong seperti serigala yang dilanda duka. Aku mendekatinya sembari menenteng tongkat yang perlahan wujudnya kembali seperti sedia kala, yaitu setangkai mawar.
“Wahai Pangeran Buruk Rupa, janganlah bersedih. Waktumu belum selesai,” kataku seraya memberikan setangkai bunga mawar kepadanya.
Aku menyeringai tatkala ia masih hanyut dalam penyesalan. “Setiap kelopak mawar ini adalah waktumu. Bila sampai saat itu kau tak kembali, maka kau akan jadi budakku.” Lantas tawaku melengking dan menggema ke seluruh istana.
“Hanya cinta sejati yang bisa mematahkan kutukan ini,” bisikku. Aku kembali tertawa saat si Buruk Rupa menatapku dengan penuh amarah.
Aku kembali membaca mantra sembari menengadah ke angkasa. Tubuh ini kembali melayang di udara. Kemudian kuempaskan sihirku ke setiap arah. Dengan demikian, istana si Buruk Rupa terisolasi di tengah hutan. Selain itu, kubuat orang-orang melupakannya. Satu lagi, dengan secuil nuraniku, aku membiarkan para pelayanan setianya untuk tetap mengabdi. Kuubah mereka menjadi perabot istana.
***
Seperti yang kutulis sebelumnya, yang terjadi di malam itu barulah awal. Aku … ah, maksudnya kami –aku dan sahabatku belum selesai bersenang-senang. Pada hari-hari berikutnya, aku mulai menyebarkan kisah pangeran yang dikutuk menjadi binatang buas, dan hanya cinta sejati yang mampu mematahkan kutukan tersebut. Sebelum cerita itu disebarkan, kutiupkan jampi-jampi agar segalanya sesuai dengan mauku. Sahabatku turut andil dalam penyebarannya.
Mau tahu apa yang terjadi berikutnya? Mereka datang! Wanita-wanita bodoh dengan mudah terhipnotis oleh tipu daya yang telah kuembuskan. Mereka berlomba-lomba untuk bisa menaklukkan hati sang pangeran. Sayang sekali, mereka datang dengan niat yang keliru. Wanita-wanita itu datang hanya untuk menjemput kematiannya sendiri. Dan itu terjadi terus-menerus. Berkat hal itu, tubuhku terasa muda kembali. Lima indraku pun berfungsi lebih baik, bahkan tanpa bantuan sahabatku.
Suatu hari, hal yang tak kuduga terjadi. Bukan wanita, melainkan pria tua datang dalam keadaan basah kuyup. Saat berhadapan dengan si Buruk Rupa, ia bersujud sembari memohon agar ia diberi kesempatan untuk berbicara. Namun, kesempatan itu tidak ia dapatkan. Si Buruk Rupa mencengkeram kerahnya, lalu melempar pria tua itu.
“Aku memiliki seorang putri yang bisa melepaskanmu dari kutukan ini! Aku yakin ia akan datang sebentar lagi!” seru si pria tua. Si Buruk Rupa menghentikan pergerakannya. Di sisi lain, para pelayan yang telah diubah menjadi perabot dapur seperti teko, cangkir, bahkan jam besar mulai riuh. Mereka menyarankan agar tuannya memberi kesempatan pada pria tua itu. Mengingat mawar kutukan tinggal menyisakan beberapa kelopak saja.
Si Buruk Rupa menyetujuinya. Tidak hanya ia, aku dan sahabatku bahkan turut penasaran dengan ucapan pria tua itu.
Selang beberapa jam kemudian, terdengar suara kuda yang mengentak-entak di atas lumpur. Kemudian suara itu berganti dengan suara langkah kaki yang bergerak dengan cepat. Dari dalam istana, kami bisa mendengar suara wanita yang tengah memanggil-manggil ayahnya.
Pria tua itu tersentak. Beberapa detik kemudian raut wajahnya berubah. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Dengan cepat ia bergegas menuju asal suara. Sementara si Buruk Rupa, ia beranjak dari tempat duduk, lalu mengekori pria tua itu. Aku dan sahabatku memilih untuk tidak memperlihatkan wujud kami dan menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di pelataran istana, seorang wanita muda berlari ke arah pria tua. Ia langsung memeluk erat ayahnya sembari sesenggukan. Wanita muda itu lekas melonggarkan pelukannya ketika mendengar geraman binatang buas. Bukannya lari, ia malah memperkecil jarak dengan si Buruk Rupa.
“Tolong maafkan ayahku, ia tidak bermaksud mengganggumu,” ucap wanita itu seraya menautkan kedua telapak tangannya.
Aku terkesiap melihatnya. Wanita muda itu tampak berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya. Tidak hanya paras yang menawan, ketenangannya menghadapi si Buruk Rupa membuat ia tampak berkelas. Tidak hanya aku, si Buruk Rupa tampaknya tertarik dengan wanita itu. Aku bisa mendengar jantungnya berdegup dengan cepat.
“Ayahmu telah menjualmu padaku.”
Wanita itu terlihat kebingungan. Ia menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia terus menatap pria tua itu seolah-olah tengah menunggu sebuah penjelasan.
“Pergi! Aku sudah mendapatkan bayarannya. Pergi sebelum aku berubah pikiran!” Si Buruk Rupa mendelik tajam pada pria tua itu.
Lantas pria tua itu bersujud di hadapan si Buruk Rupa. Lalu ia mendongak seraya berkata, “Lalu apa yang kudapatkan? Aku telah memberikan Bela padamu. Tidak hanya cantik, ia pun masih suci.”
Si Buruk Rupa menyeret Bela dengan cepat ke dalam istana. Setelah ia masuk, pintu istana benar-benar tertutup rapat. Bela berteriak memanggil-manggil ayahnya. Ia pun mencoba membuka pintu itu. Sayang sekali usahanya gagal.
Sejak hari itu, Bela mengabdikan dirinya pada si Buruk Rupa. Ia begitu lembut dan cekatan mengurus tuannya. Namun, si Buruk Rupa tak kunjung berubah ke sedia kala. Ketika si Buruk Rupa menanyakan perihal perasaan Bela, ia malah mendapat kenyataan bila wanita yang berhasil mencuri hatinya itu telah bertunangan dengan lelaki lain sejak lama. Si Buruk Rupa tidak bisa menahan diri lagi. Akal sehatnya yang susah payah dibangun seketika runtuh. Dengan beringas ia mendorong Bela hingga wanita itu jatuh tertelentang. Lalu ia merobek dada Bela sehingga ia bisa melihat jantung yang masih berdetak. Kemudian ia melahap jantung gadis cantik itu. Belum puas, ia beralih pada perabotannya, lalu memorak-porandakannya. Bersamaan dengan itu, kelopak bunga mawar telah habis. Pada akhirnya, ia mendekam dalam istana seorang diri, sambil menunggu wanita-wanita datang untuk menyerahkan nyawanya.
Begitulah, tidak ada cinta sejati, apalagi pernikahan. Justru kemenangan berpihak pada kami –aku dan sahabatku, walaupun pada akhirnya sahabatku pergi meninggalkanku sendiri. Ia membiarkan aku menghadap Tuhan dalam keadaan tercela seorang diri. Namun sebelumnya, aku harus menghadapi lelaki penuh dendam yang telah kehilangan kekasihnya bertahun-tahun lalu. Bagaimana, apakah kau akan tetap menyebarkan kebenaran ini, wahai Gaston?***
Kang Kung, mungkin belum expert, tapi ia tetap berusaha menyelesaikan cerita di saat gempuran overthinking menyerang.
Komentar juri:
Apa yang akan kita lakukan jika bisa mengotak-atik nasib seseorang?
Mengangkat cerita dengan latar kisah “Beauty and The Beast”, penulis menyuguhkan kisah dengan versi berbeda yang tidak kalah menarik dari versi aslinya.
Mengambil dari sudut pandang narator, seorang penyihir yang merasa iri dengan pangeran, ia yang dibisiki oleh Gagak yang merupakan jelmaan iblis, menghancurkan kebahagiaan yang selama ini sudah dimiliki sang pangeran. Di akhir cerita, ia ditinggalkan si Gagak dan harus menanggung dendam seseorang yang merupakan “tokoh baru” dengan peran yang mengejutkan tetapi sangat nyambung dengan kisah yang dibangun; tokoh ini, Gaston, pernah punya kekasih yang tewas oleh si pangeran, yang jika ditarik jauh ke awal, ialah korban dari sihir si narator. Ciamik!
—Erlyna