Tumbal

Tumbal

Tumbal
Oleh : Nishfi Yanuar

Belakangan ini, kampung Durian Runtuh dihebohkan dengan kejadian hilangnya binatang ternak secara misterius. Binatang-binatang ternak tersebut hilang secara bergilir dari satu rumah ke rumah lain. Yang membuat merinding, ternak yang sebagian besar berupa ayam kampung itu raib dengan meninggalkan kepala. Ya, kepalanya tanggal sedangkan tubuhnya melayang entah ke mana.

Sebagian besar warga percaya dengan rumor yang sudah terlanjur menyebar. Adalah Nenek Si Bongkok Tiga, perempuan tua yang dianggap mempunyai kekuatan mistis dan merupakan salah satu leluhur di kampung ini. Meskipun sudah meninggal sejak ratusan tahun lalu, konon arwahnya masih sering berlalu-lalang untuk mencari tumbal berupa binatang ternak.

“Kalau memang ini semua ulah Nenek Si Bongkok Tiga, kenape baru akhir-akhir ni terjadi?” Upin membuka suara. Terlihat teman-temannya lesu berseduku.

UncleMuthu cakap, nenek itu mau membalas dendam. Nah, supaya hidup lagi dia makanlah ayam kampung dan meminum darahnya,” ujar Mail menanggapi. Semua mata sontak terbelalak menatapnya. Seolah-olah meminta kelanjutan cerita darinya.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, nenek tersebut memang meninggal dengan cara tak wajar. Sepeninggalnya, banyak warga yang mengaku pernah melihat arwahnya. Maka, pada masa dulu warga berbondong-bondong memberikan sesaji berupa aneka macam makanan dan olahan ayam panggang di area punden Nenek Si Bongkok Tiga. Di bawah pohon beringin tua, warga meletakkan sesaji tersebut secara bergantian.

Namun, seiring perkembangan zaman dan bertambahnya wawasan agama, tradisi tersebut lambat-laun berhenti. Satu-dua warga masih ada yang melakukan, tetapi semenjak pergantian Lurah sekitar tiga tahun lalu, tradisi itu betul-betul dilarang. Hanya kemaksiatan dan buang-buang rezeki, instruksi Pak Lurah kala itu.

“Nasib baik dia tak ambil darah budak-budak macam kita.” Fizi berkata gemetar lantas menggigiti jari-jarinya.

“Tak per-ca-ya!” Mei Mei bersuara lantang. Seperti biasa, ucapannya dipenggal-penggal sebagai penegasan. “Tak boleh percaya!” Bocah berkacamata itu mengulang.

“Tenang! Serahkan semuanya kepada … Detektif Upin dan Ipin!” seru Upin dan Ipin serempak.

“Ellaah … yakin berani kau orang?” cibir Ehsan meragukan. Si kembar plontos itu hanya tertawa malu-malu sembari menggaruk kepala licin mereka.

Mereka berdebat. Saling lempar argumen sampai akhirnya gerimis tiba-tiba menyambangi. Satu per satu pun berlarian ke rumah masing-masing.

***

Begitulah, rumor tentang kembalinya Nenek Si Bongkok Tiga itu semakin hari kian merebak. Entah siapa yang pertama memulai rumor tersebut, tetapi yang jelas suasana kampung Durian Runtuh semakin terasa mencekam. Selepas magrib, rumah-rumah sudah tertutup rapat. Mereka yang memiliki ternak diterpa perasaan was-was. Seakan-akan tinggal menunggu giliran ternak mereka hanya tersisa kepala.

Ada yang beranggapan, kembalinya Nenek Si Bongkok Tiga ini karena warga sudah tak pernah lagi memberi sesaji di punden yang dianggap keramat itu. Sontak hal itu kembali disanggah Pak Lurah. Bahkan beliau mengancam akan memberi denda kepada warga yang kedapatan nekat meletakkan sesaji di sana. Para warga zaman old, mereka usia-usia sepuh yang masih ngugemi pun menjadi serba salah.

Sebenarnya, sudah beberapa kali Pak Lurah menggalakkan ronda malam. Akan tetapi, mereka yang mendapat giliran ronda sering dibuat bergidik dengan bau kemenyan yang menguar entah dari mana. Hingga satu celoteh terdengar, bahwa bau kemenyan tersebut berasal dari punden, tempat makam Nenek Si Bongkok Tiga di ujung kampung sana. Bahkan, ada  satu-dua orang yang bilang melihat sendiri kemenyan itu mengepul dari balik pohon beringin besar tepat di samping makam.

“Yang benar saja, Muthu! Kau yakin itu bukan asap sampah yang dibakar?” ujar Tok Dalang siang itu di kedai UncleMuthu sepulang mengunjungi homestay-nya yang tak lama lagi akan disewa para siswa dari luar negeri.

“A … yo … yoo! Ya benar sajelah. Aku tak salah lihat. Malam itu, aku pulang dari belanja bahan jualan. Tak sengaja aku tengok makam tu, benar-benar bau kemenyan!” UncleMuthu berusaha meyakinkan dengan logat khasnya, campuran Melayu-India.

Tok Dalang menerawang. Pandangannya nanar, khawatir jika sewaktu-waktu Rambo, ayam kesayangannya akhirnya juga tinggal nama sebagaimana nasib ayam-ayam lainnya. Selama ini, Rambo-lah temannya bercerita dan berbagi kisah di sisa usianya yang kian menyenja. Ah, lamat-lamat mata cekung itu pun terlihat mengembun.

“Mau A-B-C-D?” seru pemilik kedai mengejutkan. Menawarkan es sirop segar yang biasa dinamai minuman A-B-C-D.

“Hah, bolehlah. Haus sangat ni!” Tok Dalang menurut. Mengalihkan lamunannya. Dikibaskannya tangan kanan untuk menghalau keringat yang berjatuhan. “Oh, ya sekalian kaubungkuskan kepala ayam goreng, ya! Nak buat makan di rumah,” lanjutnya saat pesanan semangkuk sirop segar tiba di mejanya.

“Tak de, udah habis. Sayap je, mau?” timpal Uncle Muthu sambil berlalu.

“Ish. Okelah, boleh!” Tok Dalang kembali menurut.

***

Genap dua pekan peristiwa yang meneror warga kampung Durian Runtuh ini berlangsung. Tak ada tanda-tanda teror penuh misteri itu berhenti, justru jika di awal-awal munculnya peristiwa ini berselang 1-2 malam, akhir-akhir ini malah setiap hari warga secara bergantian mengaku kehilangan ternaknya. Kejadiannya sama. Unggas-unggas yang diternak tinggal kepala yang terkapar di dalam kandang. Beberapa warga pun akhirnya memilih menjual ternaknya meskipun dengan harga murah karena banyaknya yang menjual.

“Pokoknya Rambo harus selamat,” lirih Tok Dalang hampir setiap malam. Semalaman ia bersiaga. Rela terjaga sampai fajar tiba demi Rambo dan beberapa ayam piaraan lainnya.

Malam ini, gerimis tak kunjung reda. Hujan rintik kecil-kecil menambah sepi suasana. Jalan-jalan kampung pun lengang. Sungguh, teror Nenek Si Bongkok Tiga yang mencari tumbal ini belum juga mencapai akhir.

Baru saja berbaring melepas penat, Tok Dalang dikejutkan dengan teriakan ayam kesayangannya. “Rambo!” serunya tiba-tiba lantas beranjak meraih senter lalu menuju keluar.

Suara ayam-ayam semakin berisik. Antara berani tak berani, Tok Dalang mengendap-endap menghampiri kandang. Mata tuanya menangkap satu sosok di kegelapan yang membungkuk dengan kepala tertutup kain. Sontak pikirannya tertuju pada bayangan Nenek Si Bongkok Tiga yang konon, perawakannya juga membungkuk sembari membawa tongkat.

“Hei, mau apa kau? Jangan sakiti Rambo!” seru Tok Dalang seraya melempar batu yang sudah disiapkannya. Kena! Namun, akhirnya sosok itu berlalu cepat dan menghilang di kegelapan.

Lelaki sepuh itu menghampiri kandang. Dilihatnya Rambo dan ayam-ayam lainnya masih selamat. Ia bernapas lega. Namun, sejurus kemudian hidungnya mencium sesuatu yang belakangan ramai dibicarakan.

“Apa benar itu tadi Nenek Si Bongkok Tiga?” ujarnya lirih. Dadanya gemetar bukan main.

Setelah memastikan keadaan kembali aman, ia hendak kembali ke rumah. Persis di samping kandang, kakinya menginjak sesuatu. Tangan keriput itu mengarahkan senter ke bawah, lalu memungut benda yang diinjaknya. Matanya memicing, kemudian menyungging senyum tipis dan membawa serta benda tersebut ke dalam rumah.

***

Tok Dalang berhenti di pekarangan sebuah rumah yang asri. Berbagai pernak pernik khas negara Shah Rukh Khan tergantung di teras.

“Hai, Rajoo … Bapak kau ada?” tanya Tok Dalang begitu melihat putra pemilik rumah kebetulan membuka pintu.

“Oh, Atuk. Mau jenguk Bapak aku, ya? Tahu je Bapak aku sakit.” Remaja itu menjawab sopan seraya pandangannya tertuju pada bungkusan yang dibawa Tok Dalang.

Tok Dalang segera melepas sandalnya di depan teras. Matanya menangkap satu sandal yang hanya sebelah di samping sandal yang dilepasnya.

“Selipah siapa ni sebelah je?” tanyanya ragu-ragu.

“Itu selipah Bapak, yang sebelah dah hilang. Padahal kemarin masih ….” Rajoo berucap  sambil berlalu. Tok Dalang mengekor di belakangnya.

“A … yo … yooo, kenape repot-repot kemari?” UncleMuthu menyambut gagap kedatangan pembeli langganannya.

“Aku tak nampak kau jualan, sakit kau rupanya?” ujar Tok Dalang sembari mendelik ke arah kepala Muthu yang terlihat diperban.

“Aku … aku cuma terantuk tembok ja ini. Besok pun baikan.” Lagi, laki-laki berdarah India itu tergagap.

“Mengaku jelah kau, Muthu! Hentikan teror buatanmu itu. Kasihan warga ….”

Ucapan Tok Dalang seketika membuat Muthu terperanjat. Matanya mengerling, lalu menunduk risau. “Maksud kau apa, Tok Dalang?”

Lelaki kurus itu mengeluarkan benda dari dalam kantung. Sandal sebelah, sarung, dan sisa kemenyan. “Ini ulah kau, kan? Selipahni tertinggal di kandangku. Sisa kemenyan ini nampak pagi tadi, kerana semalam gerimis matilah kemenyan yang kaubakar. Lalu sarung ni, kutemukan pagi tadi di dekat rumah. Ini kaugunakan tutup kepala, kan? Dan kepala kau yang luka tu, pasti kerana lemparan batu semalam.”

Muthu menunduk lesu. Gemetar seperti sedang menggigil.

“Kalau tak mengaku, mau aku laporkan ke semua warga? Pantaslah, tiap mau beli kepala ayam goreng selalu tak de!” geram Atuk sambil mengepalkan tangan.

“Ampun … ampun … jangan! Baiklah aku mengaku, tolong kau kena jagerahasiani!” Muthu berlutut memohon.

Tok Dalang menatap sinis. “Apa sebab kau bisa begini, Muthu? Bahkan setiap pembeli yang datang ke kedaimu kau ceritakan perihal Nenek Si Bongkok Tiga meminta tumbal. Jadi, kau juga yang bakar kemenyan di kuburan tu? Ish, kena tanggung jawab kau, Muthu!”

“Tak! Sungguh, aku tak pernah bakar kemenyan di kuburan tu. Tak pernah, tak bohong ini!” Muthu menangis menunduk, bicara terbata.

“Benar bukan kau?”

Yang ditanya menggeleng lemah. Bersimbah air mata. Tok Dalang tak peduli, memilih pergi meninggalkannya.

“A … yo … yooo, habislah aku!”

***

Paginya, rumah UpinIpin yang geger. Ayam kesayangan Oppa ternyata menjadi giliran ke sekian. Dua ekor hanya tersisa kepala.

Duo kembar itu pun merajuk di rumah Atuk, menangis tiada henti.

“Ulah siape lagi ni? Semalam aku menginap di rumah Muthu. Dia tak pergi ke mane-mane!” lirih Tok Dalang risau.(*)

Nishfi Yanuar, penyuka nasyid dan penggemar serial UpinIpin. Senang berbagi lewat tulisan. Mari silaturahmi di akun Facebook/Instagram: Nishfi Yanuar.

Tantangan Lokit 10 adalah kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK. Cerpen ini dibukukan dalam kumpulan cerpen misteri-horor Loker Kata yang akan terbit bulan Januari.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata