Tujuh Hantu Wanita Botak

Tujuh Hantu Wanita Botak

Tujuh Hantu Wanita Botak

Oleh: Chan

 

Pada suatu Jumat malam yang diguyur gerimis, tujuh hantu wanita muncul begitu saja di depan Maria saat ia sedang menonton TV. Sejak saat itu ketujuhnya selalu mengikuti Maria, melayang-layang mengelilinginya sambil berteriak-teriak tanpa suara. Dan seketika perempuan 35 tahun itu merasa hidupnya berantakan. Ia bahkan nyaris tak sanggup membuka mata karena penampilan mereka: kepala mereka dikuliti hingga tempurung kepala mereka terlihat.

Setelah dua hari mengurung diri di kamar tidur apartemennya sambil menutup mata, Maria sadar bahwa ia tak bisa terus-terusan begini. Ia pun melakukan langkah pertama untuk meraih kembali kehidupannya: meyakinkan dirinya bahwa mereka hanyalah sekumpulan hantu wanita botak yang kurang kerjaan. Namun, tetap saja ia tidak bisa menceritakannya kepada orang-orang yang mengenalnya, terlebih kepada Peter, lelaki yang ia kencani sebulan lalu berkat sebuah aplikasi kencan online.

Maria tidak ingin Peter menganggapnya gila. Perasaan takut Peter akan meninggalkannya merongrong batinnya. Selain mematahkan hatinya, hal itu akan menenggelamkannya ke palung kesepian, tempat yang selama nyaris satu dekade menjadi penjara bagi hatinya. Peter begitu baik dan manis. Lelaki jangkung berperawakan sedikit kurus dan berwajah ramah itu kerap memuji rambut merah Maria dan memberinya bunga yang disertai puisi yang melelehkan hati. Maria paham betul, bagi seorang gadis tambun dan berwajah biasa-biasa saja, mencari pria seperti itu di kota besar yang penuh tipu daya dan keegosian sama sulitnya dengan mencari sehelai jerami dalam segunung jarum.

Maria meminta bantuan Nyonya Madelaine, seorang wanita keturunan gipsi sekaligus ahli metafisika yang membuka praktik pengusiran roh yang terletak di ujung timur kota. Langkah keduanya itu bisa dibilang cukup berani sekaligus munafik. Dulu ia mencap Nyonya Madelaine dan orang-orang yang seprofesi dengan wanita 60 tahun itu sebagai pendusta. Namun, keterdesakan bisa membuat siapa pun dengan mudah melupakan ucapannya. Dan di sanalah ia berada, duduk menahan cemas di sebuah kursi yang menguarkan aroma apak di sebuah ruangan kecil yang dipenuhi benda-benda berbau klenik dan lukisan-lukisan orang berwajah muram.

“Tolonglah saya, Nyonya. Saya tidak mau menjadi gila.” Maria berkata lirih sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dengan poni sementara ketujuh wanita itu terus melayang-layang mengelilinginya dan Nyonya Madelaine.

Nyonya Madelaine membuka kacamata hitamnya. Bibirnya yang keriput dan berpulas lipstik merah delima dimonyongkan. “Ada tiga jenis roh. Pertama, mereka yang datang berniat mengganggu. Kedua, mereka yang datang untuk meminta bantuan. Dan yang ketiga, mereka yang datang untuk menceritakan sesuatu.”

“Yang sedang kuhadapi jenis yang mana?”

“Kita akan segera tahu.” Nyonya Madelaine meletakkan papan ouija dan beberapa lilin di meja, menyalakan lilin-lilin itu dengan perlahan, lalu mematikan lampu sehingga suasana di ruangan itu terasa lebih menyeramkan. Sesudah membetulkan bandana biru mudanya, ia mengangkat tangan lalu berucap dengan sedikit lantang, “Wahai roh yang hadir di sini, sudilah kiranya mengatakan apa maksud kalian.”

Usai Nyonya Madelaine mengatakan itu, salah satu roh mendekati meja, lalu meletakkan telunjuknya di segitiga penunjuk. Dengan ekspresi sedingin nisan makam, ia mulai menggerakkannya, menunjuk satu per satu huruf hingga membentuk sebuah kata: P-E-R-G-I, R-A-M-B-U-T, dan M-A-T-I.

Maria merasa jantungnya seperti ditabuh seorang drummer hyperaktif dan gila. Getaran halus mulai merambati sekujur tubuhnya. Seandainya ia tidak ingat maksudnya ke tempat itu dan dengkulnya tidak membeku, mungkin ia sudah lari. Meskipun begitu, benaknya bertanya-tanya, apa maksudnya?

Seolah bisa membaca isi pikiran Maria, Nyonya Madelaine mengulangi pertanyaannya. Namun, sebanyak apa pun ia bertanya, hantu wanita itu tetap mengeja ketiga kata yang sama.

“Aku tidak mau mati!” Maria mulai menangis.

“Sabar. Roh tidak bisa berbicara segamblang kita.”

“Bagaimana jika memang itu yang dia maksudkan?!”

“Kita tanya sekali lagi.”

“Daripada terus-terusan bertanya, mengapa kau tidak mengusir mereka saja?!” Wajah Maria kian pucat.

“Soal itu …. Apa kau tidak ingin tahu maksud mereka yang sesungguhnya? Karena aku tidak merasakan–”

“Mereka ingin aku mati! Mati! Apa kau akan menunggu hal itu terjadi?!”

Nyonya Madelaine menarik napas. “Baiklah.”

Dalam mengusir roh, Nyonya Madelaine memiliki beberapa metode dan alat. Namun, di antara semua, yang menjadi favoritnya adalah sebuah genta tembaga seukuran piring makan, yang diperolehnya dari seorang rahib buta dari Tibet. Cukup dengan mengucapkan sebuah mantra sambil memukul genta itu dengan irama tertentu, maka semua hantu yang mendengar bunyinya akan segera pergi.

Tung-tung-tung. Bunyi genta dan lantunan mantra bergema ke seluruh ruangan. Selama setengah menit penuh, ketujuh hantu wanita itu melayang kocar-kacir bak sekumpulan belalang yang kalap karena ilalang tempat mereka bertengger disibak paksa, sebelum melesat meninggalkan kediaman Nyonya Madelaine. Bersamaan dengan itu, ponsel Maria berbunyi. Pemiliknya cepat-cepat menjawabnya setelah melihat nama pemanggilnya.

“Kau di mana? Mengapa sulit sekali menghubungimu? Apa kau baik-baik saja?” Pria di ujung sambungan telepon terdengar cemas.

Maria mengusap air matanya. “Ya, tentu.”

“Hei, apa kau sedang menangis?”

“Tidak.”

“Ada yang sebenarnya terjadi?”

“Tidak terjadi apa-apa. Bisakah kita bertemu?”

“Tentu saja. Kebetulan aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Bisa kau datang ke tempatku?”

“Baiklah.”

Maria menutup teleponnya, lalu membayar Nyonya Madelaine sesuai tarif yang disepakati. Ia merasa lega karena telah mendapatkan kembali kehidupan dan senyumannya. Ia menggunakan senyuman itu saat mengucapkan banyak hal kepada Nyonya Madelaine, termasuk sebaris ucapan terima kasih yang cukup panjang yang dipungkas sepotong permintaan maaf karena tadi telah membentaknya.

Nyonya Madelaine menerima permintaan maaf itu dengan kelapangan dada seorang ibu yang memaafkan putrinya yang badung. Ia melepas kepergian Maria dengan senyuman. Namun, jauh dalam hatinya ia tetap merasa bahwa tugasnya masih jauh dari tuntas. “Jika ada yang tidak beres, segeralah kembali ke sini.” Suara altonya yang berwibawa berbalut kecemasan.

Satu bulan telah berlalu. Ketujuh wanita itu tidak lagi mengganggu Maria. Sekarang mereka berteman. Potongan rambut mereka sama. Bahkan ia melayang-layang bersama mereka sambil berteriak-teriak tanpa suara di hadapan seorang gadis berambut merah yang menjadi teman kencan Peter yang baru.

Rumah Nyonya Madelaine, Juli 2023

 

Chan. Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.

 

 

 

Gambar: Pinterest

Editor: Imas Hanifah N

 

 

 

 

Leave a Reply