Tugas Menulis Artikel
Oleh: Uzwah Anna
Ditugaskan menulis artikel mengenai pemilu, pendidikan, dan sastra membuat kepalaku serasa kebakar! Serius, aku sama sekali tak paham dengan ketiganya.
Ava-avaan ini?
Mengenai pemilu, apa yang harus kubahas? Cebong dan kampret? Oh, tidak semudah itu Ferguso! Dari dulu aku tak memiliki ketertarikan akan politik. Jadi jika ada artikel politik atau berbagai video yang bertebaran di Youtube membahas mengenai politik selalu ku-skip. Serius tema politik itu berat. Lebih berat daripada menahan rindu; Dylan.
Sempat beberapa waktu lalu aku ditantang menulis tentang kardus yang berhasil menggantikan alumunium sebagai kotak pemungutan suara. Tapi tak berapa lama, mendapat teguran. Sebab di dalam tulisan tersebut mereka bilang aku hanya main-main.
“Ini bukan artikel, tapi cerpen. Niat nulis artikel apa cerpen?”
Dalam hati aku cuma bilang, “Ini bukan cerpen Pak Bos, cuma cerkit (cerita sedikit).”
“Artikel itu mestinya menyertakan sumber. Bukan asal berkhayal sesuai imajinasi. HALU!”
“Tulis ulang!”
Njir …!
Nulis itu saja cukup membuat ubun-ubun mendidih, lantas begitu kelar bukannya diminta revisi jutru disuruh menulis ulang? Emak … aku dijahatin!
Kedua: pendidikan. Cobaan apa lagi ini, Esmeralda? Kau tahu tentang diriku, bukan? Alih-alih paham mengenai pendidikan, lulus SMA saja sudah cukup, cukup susah dan cukup segitu saja. Karena dulu aku bukan termasuk siswa yang pandai apa lagi pintar, no, big no!
Hari-hari semasa sekolah dulu hanya berangkat ke sekolah, istirahat, dan pulang. PR dikerjakan di sekolah—pagi-pagi sebelum kelas dimulai—itu juga mesti merebut buku seorang teman yang dianggap paling rajin dan cukup pintar di kelas. Jika ada tugas juga bukan murni hasil pemikiran sendiri, lagi dan lagi mencari contekan! Gitu-gitu aja hingga tiga tahun berlalu.
Dulu aku berpikir, tujuan utama sekolah bukan mencari nilai, tapi ijazah, jujur. Karena pada bidang tertentu, ijazah dibutuhkan untuk melengkapi berkas-berkas lamaran kerja. Meski nilai berpengaruh toh, saat terjun ke lapangan kerja sebenarnya yang dibutuhkan bukan cuma sederetan angka di atas kertas, tapi lebih ke skill, you know, skill man, skill.
Pasti banyak di antara mereka yang tak setuju dengan pendapatku kali ini. Sudah barang tentu mereka akan berkata, “Kau anggap dirimu siapa? Berani sekali meremehkan tentang pendidikan. Kau kira kau orang hebat, eh?”
Ya, ya, ya … aku paham bahwa diriku bukan siapa-siapa. Tapi bukankah setiap orang bebas berpandapat? This’s my opinion and c’mon open minded, Guys.
Selain skill, ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi diterima atau ditolak saat melamar kerja; tinggi badan. Aku pernah merasa terdiskriminasi dengan adanya peraturan ini. Peraturan yang memuakkan!
Dulu aku pernah melamar ke beberapa pabrik yang biasa-biasa saja, bukan pabrik berstandar kelas satu, tapi sebelum mengikuti sederetan tes, pihak HRD sudah menyatakan bahwa aku tidak lolos. Padahal mereka belum melihat berkas lamaranku, yang jika dibandingkan dari pelamar lainnya—aku sempat melihat berkas mereka—angka-angka pada ijazahku sedikit lebih tinggi dari mereka. Bahkan aku juga memiliki packlaring atau sertifikat yang menyatakan bahwa aku telah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya. Jadi dari semua itu seharusnya sudah dapat dijadikan pertimbangan bahwa aku layak mengikuti seleksi selanjutnya. Namun pada kenyataannya hal itu sama sekali tak bisa dijadikan point tambahan. Aku harus gugur hanya dilihat dari tinggi badan. Sekali lagi, hanya dilihat dari tinggi badan! Sial.
Ava-avaan ini? Memangnya aku mengikuti seleksi polwan, kowad atau pramugari? Kan, nggak.
Selain kecewa dan merasa didiskriminasi, tak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali mengumpat dan berharap perusahaan itu segera jatuh.
Namun ternyata sampai detik ini masih berdiri tegap, bahkan seperti yang kudengar dari seorang teman sekarang gedungnya telah meluas dan semakin banyak menyerap tenaga kerja; yang berbadan tinggi tentunya.
Untung saja Tuhan tak mengabulkan doaku waktu itu. Bayangkan jika saja permintaan itu diloloskan oleh Penguasa Jagad, tentu akan menjadi sebuah bencana. Para pekerja di-PHK. Orang tua kehilangan penghasilan. Pendidikan anak-anak terlantar sebab tak ada biaya. Kejahatan juga semakin merajalela sebab minimnya ketersedian lapangan kerja. Bahkan bisa saja aku menjadi salah satu korban kejahatan mereka, dirampok mungkin? Uh, ngerinya.
Casandra, please, help me …!
Ok, sekarang bahas tema terakhir: sastra. Mesti kumulai dari mana untuk membahas tema ini? Apa iya, aku harus melakukan ritual pemanggilan roh penyair dan pujangga agar bisa merasuki diriku, sehingga lancar menulis sastra? Konyol nggak, sih?
Masalahnya, bagaimana jika kelak mereka terlalu nyaman bersemayam dalam tubuhku lantas tak bersedia keluar? Aku tak rela ragaku dikuasai siapa pun, meski dia sesosok roh penyair. Tak rela!
Sabtu, 19 Januari 2019
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata