Tuan Takoor (Terbaik ke-7; Melanjutkan Cerita)

Tuan Takoor (Terbaik ke-7; Melanjutkan Cerita)

Tuan Takoor 

Oleh: Aiu Ratna

Terbaik ke-7 lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.

Laki-laki di depannya menerawang, berusaha mengingat sesuatu. “Lima bulan dari sekarang itu berarti akhir tahun. Apa bisa usia saya ditambah dua hari lagi, Dokter? Saya ada janji tahun baruan di puncak.”

Sang dokter ikut menerawang. “Hmmm, bisa tambah, bisa kurang.”

“Jadi, tambah atau kurang?”

“Tuan maunya tambah atau kurang?”

“Tambah sajalah, Dok. Sembilan bulan, kalau bisa. Sembilan itu angka keramat.”

“Oh, ya?”

“Sembilan wali, sembilan naga, sembilan bulan ibu mengandung dan melahirkan kita ke dunia.”

Sang dokter tak merespons. 

“Saya cuma bingung, Dok. Kalau lewat lima bulan nanti saya masih hidup, saya harus senang atau waswas?”

Ibu yang geregetan dengan adegan dua aktor di televisi itu, langsung meraih remot dan menekan tombol power. “Rumit betul sutradaranya bikin adegan.” Lalu, dibantingnya remot itu ke lantai. “Harusnya, si Tuan Takoor mati saja! Tak masuk akal hidupnya enak terus!”

Aku menggosok kuping kanan, bersiap mendengar orasi Ibu tentang drama yang sudah lama dia ikuti. 

“Kau bayangkan saja,” Ibu memutar posisi duduknya kepadaku yang duduk di sebelah kanannya, “dia ini rentenir, tukang kawin, naksir anak sopirnya yang masih remaja.”

“Ya, terus?”

Ibu berdecak. “Ya, begitu. Itu. Tuan Takoor, pakai duit buat mewujudkan kemauannya!”

“Bukannya itu sudah biasa, Bu?”

Ibu mendorong pundakku, sampai aku terpelanting. “Biasa bagaimana? Karakter macam Tuan Takoor itu harusnya mati disambar petir! Ah, kau ini!”

Lama-lama obrolan makin melantur. Aku kurang paham apa hubungan antara rentenir, mengawini anak sopir, dan mati disambar petir. Namun, harus kuakui keberhasilan aktor yang memerankan Tuan Takoor di drama itu. Ibu langsung mengunyah sirih ketika melihat karakter Tuan Takoor yang bola matanya seperti hampir copot itu muncul. Sambil meludah ke baskom berkali-kali, ia terus mengucurkan serapah manakala Tuan Takoor yang dinilainya bengis itu bermanis-manis dengan anak sopir. 

“Nanti, jangan berurusan sama laki-laki seperti Tuan Takoor, Yan. Pas dia bosan, kamu diantar pulang, lalu dilempar ke depan pintu rumah dari dalam mobil. Itu ada di episode Minggu kemarin, waktu adegan, apa itu namanya, flashback?” tutur Ibu kemudian. 

“Memangnya Ibu kenal orang seperti Tuan Takoor?”

“Ya, tidak.”

“Oh, bagus. Artinya, Yanti juga nggak bakal berurusan dengan Tuan Takoor.”

Ibu menoyor pundakku lagi. “Kau ini bagaimana? Hubungannya apa dengan kenalan Ibu?”

Aku mengusap-usap pundak. “Gadis-gadis yang dinikahi Tuan Takoor itu anak-anak kreditur atau karyawannya.”

Ibu mengangguk-angguk. “Benar juga.”

Seminggu setelah obrolan tentang Tuan Takoor, suatu sore, tiba-tiba ada tamu datang ke rumah: seorang pria seumuran Ibu yang kumisnya mirip buntut tupai yang sering mencuri jambu di depan rumah. Aku bertanya, apa urusan pria itu. Aku mau menagih utang, katanya. 

“Utang apa?”

“Utang kawin.”

Aku melongo. “Kawin dengan siapa?”

“Kamu Yanti, anaknya Bu Jaenab, kan?”

Aku masih melongo.

“Masa, calon suami tidak dipersilakan masuk?”

“Anda bosan bernyawa?”

“Saya bosan menduda.”

Oh, Tuhan. Dari yang kuingat, ulang tahunku masih bulan depan. Jelas, ini bukan prank yang sengaja dibikin ibuku untuk konten di medsos alay-nya. Tidak ada kamera, tidak ada naskah. Namun, kejutan dari Tuan Takoor sore itu bikin darahku membuncah. 

Aku menelepon ibuku. Sejak siang, ia pamit ke spa. Ototnya minta diservis setelah salah posisi jungkir balik di matras ketika senam lantai bersama lansia lainnya di lapangan balai desa. Ibuku memang antik. Kadang aku berpikir untuk melelangnya ke museum untuk diawetkan dalam lemari kaca karena tak sanggup menghadapi ke-antik-annya. 

“Ibu punya utang sama Tuan Takoor beneran?”

“Dia beneran datang ke rumah?” Suara Ibu seolah-olah hendak menjebol pelantang ponselku.

“Jadi, ini bukan prank?”

“Suruh tunggu sebentar, ya. Ibu on the way pulang.”

Wah, jambu air! Aku tak menyangka Ibu bisa berurusan dengan rentenir padahal sudah menamatkan 1679 episode Tuan Takoor Naik Langit. Minggu lalu, ia masih menyumpahi Tuan Takoor di drama agar segera mati setelah kena vonis dokter. Setelah akhirnya Tuan Takoor bertobat, lalu kejar setoran dengan banyak-banyak salat sunah dan membaca Al-Qur’an, Tuan Takoor malah sehat segar bugar setelah setahun vonis. Yang meninggal malah putri sopir yang dia nikahi setelah melahirkan anak pertama mereka. Aku sungguh kagum dengan penulis skenario Tuan Takoor Naik Langit. Tuan Takoor tidak segera dibikin mati karena anaknya menjelma jadi iblis kecil yang membuatnya ingin segera menyusul sang istri. 

Mungkin itulah alasan Tuan Takoor versi nyata memasang senyum pemancing muntah di depanku. Ia sengaja cari gara-gara agar nyawanya ditanggalkan paksa dari raganya oleh orang yang terdampak gara-garanya. Aku cukup peka akan hal itu. Maka, sebelum Ibu sampai di rumah, aku menyiapkan suguhan air jeruk bercampur obat kuat.

“Diminum, Tuan.”

Tuan Takoor menurut. Ia meneguk hingga setengah gelas. Kira-kira tiga ratus detik kemudian, wajah Tuan Takoor memerah. Gelagatnya gelisah. Obat kuat peninggalan Bapak sungguh belum kedaluwarsa. 

“Anu, ibumu masih lama datangnya?”

“Sudah di jalan.”

Tuan Takoor menekan dadanya. “Sebenarnya, oh ….” Ia menyelipkan tangan kirinya di antara cepitan kedua paha. “Saya dan ibumu … oh ….”

Aku membeku. Dingin menyuntik tengkukku. Dengan gemetar, kubaca ulang peringatan dosis dan efek samping obat kuat di bungkusnya, sementara di depanku, Tuan Takoor menggelepar-gelepar, lalu terdiam dengan mata terbuka. 

Bojonegoro, 29 Juni 2024

Aiu Ratna 

Komentar juri, Erlyna:

Drama kehidupan selalu memiliki sisi-sisi komedik yang ngenes. Entah disadari atau tidak, sisi tersebut selalu membuat kehidupan menjadi lebih berwarna, meski saat menjalaninya kita akan merasa menjadi orang paling sial di dunia. Seperti sosok Tuan Takoor dalam cerita ini, yang semula hanya dilihat si tokoh di televisi, tiba-tiba hadir begitu nyata di depan matanya. 

Saya suka sekali bagaimana percakapan-percakapan dengan bahasa yang sedikit kasar, menjadikan cerita ini lebih hidup. Tidak mudah membuat cerita komedi dengan “pesan” di dalamnya, dan cerita ini berhasil membuat saya menikmatinya hingga akhir. Mantap!

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply