Tuan M

 


Waktu sebulan yang lalu saya memperingatkan mereka, bahwa Tuan M akan murka,  semua yang ada di ruang ini tertawa tergelak-gelak. Bahkan suaranya yang terdengar kencang menembus koridor gedung parlemen yang senyap. Kurang apa sopannya saya menegur mereka! Saya yang selalu berkata dengan penuh kehati-hatian, malah dicibir dan direndahkan dengan tidak sepatutnya. Saya disamakan dengan seekor keledai patuh yang lamban berpikir. Ini sangat membuat kesal.

Lalu saya memelototi mata mereka satu per satu, penuh rasa geram. Dan tak lama kemudian saya mulai berteriak untuk menghentikan suara bising mereka yang memenuhi ruangan. Alih-alih menghentikan tawa, serombongan orang-orang sok pandai-yang sebenarnya pandir-itu malah balik mencemoh. Seolah-olah saya adalah seorang stand-up comedian gagal, yang baru saja salah bicara dengan melontarkan lawakan yang sama-sekali tidak lucu. Tak ada yang mau mendengar atau menggubris peringatan saya, yang justru sebenarnya untuk menyelamatkan mereka.

Baiklah, saya sudah mengatakan semua. Resiko tanggung sendiri, begitu kata saya kepada mereka. Dasar goblok! Bukannya berpikir, mereka malah tertawa-tawa.

Hanya satu orang yang mau menutup mulutnya. Adalah Pak Dibjo, satu dari orang yang paling dituakan di ruangan ini. Ia yang berasal dari sebuah partai yang bergambar pohon besar, dan yang menurut selentingan kabar, sebentar lagi akan segera ditugaskan sebagai duta besar di sebuah negara miskin di Afrika. Beliau menepuk-nepuk pundak saya, seolah-olah ingin menguatkan, padahal sebenarnya ia sedang mengusir secara halus, saya tahu dari caranya menggiring saya ke arah pintu keluar. Mungkin menurutnya, seekor keledai tidak pantas berada di sini. Saya menggeleng-gelengkan kepala, tanda heran, dan menyayangkan ketidakpercayaan mereka atas Tuan M. Saya buru-buru memasuki pintu lift yang kebetulan telah terbuka.

“Brengsek kalian semua,” gumam saya membuang kecewa.


*

Memang tidak dikeesokan harinya ancaman saya akan terbukti. Toh, cepat atau lambat pasti akan ada yang mengendusnya. Bau busuk tidak pernah dapat disembunyikan lama-lama. Benar saja, tidak sampai sebulan, si Opung, lelaki yang biasanya selalu bicara dan tertawa paling keras, hanya diam menurut seperti seekor kerbau penurut yang dicocokhidungnya. Ia diam tak melawan saat digiring dua orang petugas dari komisi pemberantasan rasua. Ketika mengenakan rompi warna oranye, ia kehilangan semua kewibawaannya, hilang juga suara orasinya yang biasanya terdengar menggelegar. Atau mungkin ia sedang kehilangan rasa percaya dirinya, sebab menjadi tersangka? Kini ia lebih mirip seorang pesakitan yang sedang menunggu divonis. “Saya akan mengikuti proses hukum yang berlaku di negara ini, saya belum tentu bersalah!” begitu pembelaannya singkat, tapi kemudian kepalanya tertunduk setelah moncong kamera diarahkan tepat pada wajahnya.

Ah, saya pikir ucapannya tadi mengandung pesan-pesan “titipan.” Itu ucapan yang terdengar sangat biasa, jika ada seorang anggota dewan yang tertangkap tangan menerima uang suap. Mungkin para petinggi partai telah mengirimkan satu pesan rahasia: “Bicara seperlunya, jangan sembarangan. Nanti bisa menyeret teman-teman. Jaga kewibawaan partai ….”

Seperti jatuhnya selembar kartu domino di atas meja yang menimbulkan efek beruntun, saya menatap wajah-wajah mereka satu per satu di layar televisi. Pak Bedu yang biasanya tampil tenang, kini justru tampil kebalikan dengan temannya, si Opung yang mendadak pendiam! Ia justru melawan dengan suaranya yang berapi-api dan lantang. Tak ada yang menyangka akan perubahan temperamennya yang berubah 360 derajat. Ia mendadak pemarah. Dua hari kemudian menyusul Ibu Soenarti yang diseret. Ia yang selalu tampil anggun saat mengenakan baju kebayanya, dengan tas merek ternama yang selalu melekat pada penampilannya,, kini cuma bisa menangis terisak-isak. “Saya dikorbankan,” katanya. Namun ia sedikit terlihat lebih baik. Tetap terlihat modis; seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ini agak mengherankan juga …. Namun bagian yang paling menarik adalah, dengan apa yang terjadi pada Pak Zoel. Ia segera dilarikan ke rumah sakit setelah menghadapi pemeriksaan penyidik yang melelahkan selama berjam-jam. Gula darahnya naik, pun angka tensi darahnya yang melonjak drastis. Keluar ruang pemeriksaan ia harus segera dilarikan ambulance ke rumah sakit. Sepertinya ia dilanda “shock” berat, atau, entahlah … Mungkin juga ia sedang mencari celah untuk mengulur-ulur waktu. Bisa jadi Pak Zoel juga sedang memperlihatkan bakatnya yang lain, menjadi seorang aktor! Di dunia ini, apa sih yang tidak mungkin …

Saya menang, sebab hanya saya satu-satunya yang tidak terlibat. Tak ada bukti. Saya menikmati duduk santai di sebuah kafe sambil menyeruput segelas kopi panas yang nikmat dan menonton pertunjukan paling dramatis yang sedang mereka sajikan.

**

Siang begitu terik saat saya sedang menunggu di bawah pendopo beratap joglo, di kediaman seorang tokoh ternama. Empunya rumah memang sedang sibuk menerima beberapa tamu yang lebih dulu datang. Mereka sedang berbincang di dalam ruang utama. Entah apa yang mereka bicarakan, siapa, atau dari mana, saya tidak mau tahu. Tapi saya pikir, saya pasti mengenalnya. Republik ini begitu sempit bagi kami yang mempunyai banyak relasi. Itu sangat, sangat mudah. Lagipula apa kepentingan saya, untuk sok tahu.

Sambil menunggu, saya menikmati angin semilir yang berembus sejuk. Tak lama, seorang ajudan keluar dari dalam, dan mempersilakan saya masuk setelah tamu-tamu tadi pulang.

Seorang seorang pria yang wajahnya tidak terlalu tua datang menyambut dengan senyumnya yang ramah. Wibawanya tetap memancar, meski ia telah lama pensiun. Tetapi kata pensiun di sini bukan berarti ia tidak lagi memiliki pengaruh seperti dahulu. Sekarang ia adalah ketua dewan pembina sebuah partai. Jabatan yang tidak kalah prestisius, namun mampu menentukan siapa-siapa yang akan memimpin kepala daerah, siapa-siapa yang akan duduk di bangku nyaman dewan rakyat yang terhormat. Restu darinya masih dibutuhkan banyak orang yang memiliki kepentingan. Ia juga masih lelaki yang sama, lelaki yang dahulu selalu berbicara dan bertindak dengan penuh kehati-hatian. Meski banyak orang yang menjulukinya pria peragu.

“Bagaimana? Apa kata Tuan M?” Ia bertanya sambil menjabat tangan saya.

“Siap, Pak. Aman. Ia sudah konsolidasi dengan semua orang penting. Tidak ada benturan kepentingan dengan Bapak,” begitu pesannya.

“Tetapi mengapa orang-orang itu harus disingkirkan? Mereka kan biasanya loyal!” Lelaki itu menatap mata saya, mencari jawaban ….

“Beliau telah mengeluarkan orang-orang yang tidak memahami aturan permainan. Atas ketidakhati-hatian sikap dan tindakan, mereka harus dikorbankan. Toh, Tuan M telah menyelidiki dengan teliti beberapa orang itu. Ternyata mereka dengan mudah dapat diendus. Ada yang hobinya memiliki mobil mewah dan properti, ada yang suka berbelanja di negeri sebelah, ada yang suka kawin di sana-sini, dan ada yang nongkrong di tempat dugem.

“Mereka yang membahayakan kepentingan ke depan, harus disingkirkan.” Begitu penjelasan Tuan M.” Saya mencoba menerangkan.

“Begitu ya?” si Bapak mulai mengerti.

“Lagipula improvisasi membuat sebuah permainan menjadi lebih menarik, sebab ending lainnya menjadi tidak terduga!” Sekali lagi sibuk saya menjelaskan.

“Maksudnya…”

“Besok ada proyek yang jauh lebih besar. Nilainya sungguh luar biasa. Harus ada pemimpin yang mengarahkan semua agar prosesnya kasat mata dan tak ada yang mampu mencium ketidaklaziman. Berita kemarin adalah pengalihan yang bagus. Saat semua mata memandang ke situ, proyek utama segera ketok palu, lolos dengan mudah. Tinggal mereka membuat kewajaran-kewajaran dalam proses, dari awal hingga akhir. Dan tak akan ada tranfer dalam bentuk cash. Fee akan dikirim ke sebuah negara entah-berantah yang tidak mengenakan pajak. Ada mesin cuci uang yang membereskan …..”


“Ya, sudah. Saya hanya mengingatkan agar berhati-hati. Jangan sekali-kali mengait-ngaitkan saya. Masalah fee yang adil, permainan yang cantik, dan lain-lain, silakan Tuan M yang atur dengan sedetail-detailnya. Saya percaya.”

“Baik. Bapak tenang saja. Bapak terima rapi. Tak akan ada yang curiga, apalagi akan ada penyadapan yang membuat khawatir. Orang kami telah menyusup.. Tuan M tahu, keselamatan siapa yang lebih diutamakan.” Saya menutup percakapan.

Lelaki paruh baya itu tersenyum, lalu menjabat tangan saya. Percakapan kami telah usai, tamu yang lainnya telah menunggu dan ia telah memberi tanda kepada ajudan.

Kami berpamitan dan tak ada lagi keraguan.

“Oh, ya. Sampaikan salam saya untuk Tuan M,” sekali lagi ia tersenyum dan kemudian mendekat sambil membisiki kuping saya: “esok musim kampanye ….”

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula. Ia tinggal di pinggiran kota Jakarta.

Leave a Reply