Terbaik Ke-16 TL 20
Genre Folklore
Tuan Bulan
Oleh: Rifa Rahma Aliya
Sewaktu aku kecil, menyembul sebuah kisah—atau orang-orang sini lebih gemar menyebutnya sebagai dongeng—yang cukup laku bagi orang tua sekitar sini, sebab ia sangat berguna untuk membantu mengantar anak-anaknya menuju gerbang tidur. Termasuk orang tuaku.
Kisah itu berdasar dari bulan yang saat ini kita kenal. Ibu bilang, ribuan dasawarsa nan lalu, dipercaya bahwa bulan adalah seorang tuan yang luntang-lantung mencari puannya. Sebab, pada ribuan dasarwasa nan lalu itu pula, para orang tua menceritakan jika bukan cuma Tuan Bulan belaka yang selama ini menari mengitari poros bumi.
Pada masa tersebut, banyak Tuan Bulan-Tuan Bulan lain—bahkan Puan Bulan pula—yang bersama-sama menari mengitari bumi, dengan cahayanya nan berpendar indah kala malam singgah di penghujung hari, sebagai simbol akan suka cita mereka.
Biasanya, pada kegiatan yang sakral bagi mereka itu, salah satu Tuan Bulan akan mundur dari porosnya dan membiarkan Puan Bulan yang mampu memikatnya dengan cahaya cantiknya untuk melintas terlebih dahulu. Kemudian, jika sang Puan Bulan ikut terpikat melalui kelihaian Tuan Bulan dalam menyinari ia dari belakang, maka mereka berdua akan menari bersama. Seperti sepasang kekasih yang berdansa seolah-olah malam itu adalah malam di mana mereka menikah.
Karena itulah, perihal tersebut telah menjadi hal yang sangat dinanti-nanti untuk dapat dirasa oleh tiap-tiap bulan. Mereka ingin mencicipi bagaimana rasa menari bersama perwujudan bulan terindah dalam mata mereka; berdansa bersama menggunakan sepasang sepatu galaksi yang mengilap, berikut pula lampu-lampu agungnya malam nan bergelantungan di atas.
Kemudian, di penghujung tari, sang Tuan Bulan akan menghidangkan seikat bintang untuk Puan Bulan. Supaya dapat terus ia kenang, seberapa hangat masa itu, kendati malam dikenal akrab dengan dingin.
Namun, sungguh sayang sekali. Tuan Bulan yang selalu kita lihat bertengger di antara dahan malam sekarang ini, tidak pernah dapat merasakan masa itu. Sebab ia adalah Tuan Bulan terakhir yang ada.
Ayah yang saat itu menyahut dari ruang tamu kala Ibu bercerita, menyampaikan bahwa Tuan Bulan lahir sebagai bulan terakhir. Semua Tuan serta Puan Bulan lain telah berhenti mengeluarkan pendar cahaya mereka, kala ia lahir. Sewaktu kutanya mengapa, Ibu menjawab, “Mereka sudah terlalu tua untuk bisa menari lagi. Jadi, dalam keabadiaan yang hangat, mereka memutuskan berhenti. Sembari keadaan menaut lengan pasangannya.”
“Memang bulan punya tangan, Bu, sampai bisa bertaut lengan?” tanyaku saat itu. Meski pada kala tersebut aku baru menginjak usia tujuh tahun, aku adalah anak yang lebih gemar berpikir logis ketimbang imajinatif. Aku bahkan hampir tertawa di setiap kalimat Ibu sewaktu bercerita, karena rasanya kisah yang dijejalkan ke mulut anak-anak sebelum tidur tersebut terasa bak kebohongan nan diguna untuk membodohkan banyak orang.
Namun, Ibu malah tertawa mendengar itu dan justru balik bertanya, “Memang tidak. Tapi, bukankah akan seru jika benar begitu?” Kemudian, sebelum sempat mengangkat bibir lagi, Ibu sudah keduluan menutup mulutku dan kembali bercerita.
Sebagai bulan terakhir, Tuan Bulan pun merasa kesepian. Ia memang menari. Ia memang mengitari poros. Namun, tak lagi atas nama sukacita, melainkan kehampaan yang mendalam. Tiap pendar cahayanya, selalu diperuntukkan bagi Puan Bulan-nya yang pada kenyataannya tidak pernah ada. Semua nan dapat Tuan Bulan lakukan cuma berdansa bersama kekosongan dalam rongga dadanya.
Seiring waktu, cahaya Tuan Bulan pun kian meredup. Tak seperti Bulan-Bulan sebelum ia, Tuan Bulan enggan mengakui bahwa malam adalah anugerah. Sebalik hal tersebut, baginya malam merupakan sebuah lubang hitam menakutkan yang siap menelannya setiap saat, menuju padang hampa nan menghampar lebih luas dari yang ada dalam kepalanya. Sontak, itu pun membuat sebuah pertanyaan muncul dalam benakku, “Kenapa begitu?”
“Karena malam, atau bahkan sore, siang, maupun pagi, hanya akan terasa indah jika dijalani bersama yang kita cinta?”
Ibu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Pada masa itu, aku yang masih belia bertanya-tanya entah apa motif jelasnya. Namun, kini—barulah dapat—kusimpulkan bahwa Ibu cuma ingin membuat aku memikirkan kata-katanya lebih mendalam, demi mencapai pemahaman sendiri.
Ibu tampak ingin segera menyelesaikan ceritanya waktu itu—barangkali karena malam sudah semakin larut. Jadi, dengan segera dia melanjutkan, bahwa semasa dibelenggu erat oleh kesepian, Nona Bumi yang melihat ia dari kejauhan pada akhirnya mengajak Tuan Bulan berbicara. Mula-bula, Nona Bumi bertanya, “Ada apakah gerangan, Tuan Bulan? Sehingga cahayamu tak lagi kurasa suka citanya. Alih-alih, ia justru mengandung duka cita sedemikian pekat.”
Meski mulanya terkejut karena tak menyangka jikalau bumi ternyata dapat berbicara sebagaimana dirinya, Tuan Bulan dengan suasana hati yang sudah terlanjur dikelilingi gelap muram menjawab, “Memang, adakah alasan aku harus bersuka cita saat ini, Nona Bumi?”
Hening lalu menjalar di antara mereka berdua untuk sesaat, sampai Nona Bumi akhirnya menjawab, “Bersukacitalah untukmu sendiri, Tuan Bulan. Jangan engkau mengharap kebahagiaan dari selain dirimu. Sebab pasti mereka hanya akan fana belaka.”
Hati Tuan Bulan sontak bergetar kala mendengar ucapan tersebut. Namun, kehampaan di rongga dadanya mendorong ia untuk kembali ke rumah kehampaan, serta bertanya kembali, “Mungkinkah aku bisa menciptakan kebahagiaanku sendiri, jika aku sama sekali tak bisa menari dengan Puan Bulan mana pun, Nona Bumi?”
Kali ini, Nona Bumi tertawa. “Bahkan Tuan Bulan sebelum engkau pun belum tentu betul merasa bahagia, semasa mereka menari dengan Puan Bulan yang cahayanya seelok rekahnya mawar.”
“Mawar?” tanya Tuan Bulan teralihkan, sebab asing akan hal itu.
“Ya, sesuatu nan elok dan harum yang tumbuh dalam diriku,” jawab Nona Bumi. “Mawar, dan rumput, dan segala sesuatu yang ada dalam dirikulah, yang membuat aku tak pernah tertarik, untuk menari bersama bumi lain hanya demi memperoleh sukacita belaka.” Sesaat ia terdiam. “Lalu, tahukah engkau, Tuan Bulan? Bahwa bagiku, cahayamu lebih elok dari segala sesuatu yang ada padaku?”
Kini, gantian Tuan Bulan yang tertawa. “Haruskah aku percaya hal itu?”
Dengan mantap, Nona Bumi menjawab, “Harus.”
“Kenapa?”
“Karena memang engkau harus percaya. Karena semua yang dapat engkau percayai di alam semesta ini hanyalah dirimu sendiri,” jawabnya sembari menatap tepat ke rongga dada Tuan Bulan yang lambat laun menggerogotinya. “Seorang Puan Bulan bisa saja pergi meninggalkanmu, tapi engkau tak bisa meninggalkan dirimu sendiri.”
Setelah itu, Tuan Bulan pun terdiam. Nona Bumi juga ikut terdiam, membiarkan ia memikirkan terlebih dahulu kalimatnya. Bahkan meski sembari pergi meninggi, menjauh dari Nona Bumi tanpa memberi sepatah kata apa-apa lagi.
Kendati demikian, Nona Bumi tak merasa menyesal telah melontarkan lusinan kalimat untuk Tuan Bulan. Sebab keesokan malamnya, dilihatnya Tuan Bulan telah menyajikan sebuah cahaya yang sangat terang dan memenangkan sanubari tiap manusia penjejak bumi. Nona Bumi tak menyimpulkan bahwa cahaya tersebut ia pendarkan untuk mereka yang melihat. Melainkan, untuk dirinya sendiri.
Aku kemudian kembali ke mistar kayu tempatku duduk, sembari memandangi bulan. Kututup kilas balik mengenai bagaimana Ibu menceritakan kisah itu.
Kini, sudah genap enam belas tahun usiaku. Dan aku tertawa. Aku yang dulunya menganggap kisah tersebut sangat konyol, kini telah memahami betapa dalam makna penciptaannya. Aku yang dulunya menganggap kisah tersebut sebagai fantasi belaka, kian merasa bahwa ia adalah cerita yang paling nyata untuk disandingkan dengan realita manusia.***
Lampung, 18 Maret 2023
Rifa Rahma Aliya, gadis berusia enam belas tahun yang terobsesi dengan kata. Dari sana, dia selalu mencoba melalui bantuan para aksara, agar dapat lahir rangkaian paragraf nan kokoh untuk pondasi tiap karangannya.
Komentar juri:
Dongeng adalah hal ajaib yang diciptakan oleh penulis untuk menyampaikan pesan dengan cara yang menghibur, dan penulis berhasil membuatnya. Dengan mengambil salah satu bintang yang umumnya disukai anak-anak, cerita ini seakan-akan menyajikan sebuah dunia fantasi yang manis. Tokoh utama yang semula menyepelekan amanat pada dongeng tersebut di usia muda, perlahan mulai menyadari hal-hal yang menjadikannya lebih dewasa. Terkadang, kita seperti tokoh dalam cerita ini, bukan? Kita baru bisa memahami hal-hal sepele dan konyol yang semula hanya menjadi hiburan belaka saat bertambahnya usia dan pengalaman hidup.
—Hassanah