Tsuki dan Tahun-Tahun yang Sunyi
Oleh : Halimah Banani
Terbaik 1 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Aku tahu ada beberapa jenis kucing yang tumbuh lebih besar dari kucing pada umumnya, tetapi aku tak pernah tahu bahwa kucing bisa tumbuh sebesar beruang dan berjalan dengan dua kaki. Dan itulah yang terjadi pada Tsuki, kucing peliharaanku.
Sewaktu aku memungutnya dua tahun lalu di tangga bukit menuju rumahku, Tsuki begitu kecil, kurus, dan tampak bisa mati detik itu juga. Sebenarnya, aku tak pernah berniat untuk memelihara hewan, terlebih kucing. Alasannya adalah karena Satoru, suamiku (mungkin aku harus membiasakan diri menyebutnya “mantan suamiku”, karena lelaki tidak berguna itu pergi meninggalkan rumah pada malam kami bertengkar hebat untuk pertama kalinya, sebulan sebelum aku bertemu Tsuki, dan tak pernah kembali lagi), memelihara ikan mas. Namun, ikan-ikan itu telah mati tiga minggu lalu dan akuarium itu telah aku kosongkan. Alasan lainnya, aku tak pernah becus merawat apa pun, entah itu benda, tanaman, hewan, maupun manusia. Mungkin karena itu juga pernikahanku jadi berantakan, sama berantakannya dengan rumahku.
Namun, akhirnya aku memutuskan membawa Tsuki pulang. Meski langit tampak cerah dengan bulan purnama yang menggantung indah, cuaca malam itu sangat dingin, dan tak mungkin aku meninggalkan kucing yang sedang sekarat di luar. Lagi pula, aku hanya akan merawatnya sebentar sambil mencari orang yang mau mengadopsinya. Mungkin saja Nenek Abe, tetanggaku, bersedia memeliharanya, dia punya seekor kucing dan menambah seekor lagi sepertinya bukan masalah.
Sialnya, baru saja aku menyerahkan kucing kelabu itu kepada Nenek Abe pada pagi hari sebelum berangkat ke kantor, malamnya—ketika pulang kerja—aku mendapati Tsuki tengah tertidur di dekat rak sepatu, seolah-olah sedang menunggu kepulanganku. Dan kejadian seperti itu terus berulang lebih dari tiga kali.
“Hahaha. Sepertinya dia menyukaimu. Kalau begitu kau rawat saja dia. Kucing itu mungkin bisa membuat rumahmu jadi ramai,” ucap Nenek Abe.
Rumahku sebenarnya sudah ramai, sangat ramai malah. Setiap hari laba-laba sibuk hilir mudik memintal benang di tiap sudut rumahku, nyamuk-nyamuk beterbangan mengitari menara-menara kardus berisi barang-barang tak terpakai yang tidak sempat kubereskan karena sibuk bekerja dari pagi sampai larut malam, dan kadang kecoak atau tikus hobi bermain petak umpet di sana. Hampir saja aku menjawab begitu dan membuat Nenek Abe menatapku dengan jijik, meski aku yakin dia bukan orang seperti itu. Alhasil, aku hanya membungkukkan badan dan mengucapkan maaf karena telah merepotkannya.
Begitulah awal mula aku membiarkan Tsuki tinggal di rumahku dan memeliharanya sampai sebesar beruang. Tentu saja pertumbuhan Tsuki mengejutkanku, Nenek Abe, juga tetangga lainnya. Bahkan Kuro, kucing hitam milik Nenek Abe, masih tidak bisa tidak terkejut tiap kali berkunjung ke balkonku dan melihat Tsuki berbaring di atap.
Selain pernah membuang seluruh stok mi instan dan birku ketika baru tinggal empat puluh tujuh hari di rumah ini, selalu menjajah sofa dan TV jika ada jadwal pertandingan bisbol, Tsuki memang tak pernah absen memaksaku untuk menemaninya bersantai di balkon jika langit sedang cerah, tak peduli meski cuaca sangat dingin dan aku sedang malas atau sibuk menyusun laporan sekalipun, untuk memandangi bintang-bintang yang sangat jarang bisa dilihat di langit Tokyo. Dia akan berbaring di atap sambil mengeong, mengajakku berbicara dengan bahasa yang tak pernah bisa aku terjemahkan atau mengobrol dengan Kuro. Entah apa yang mereka obrolkan, mungkin Kuro sedang bertanya tentang bagaimana Tsuki bisa tumbuh sampai sebesar itu dan hal-hal lainnya. Aku sama sekali tidak mengerti, karena yang bisa kudengar hanya “miau-miau-miau” dan itu benar-benar membuatku jengkel.
Namun, daripada mencoba mencari tahu apa yang kedua kucing itu bahas, aku lebih memilih menikmati kopi hitamku sambil menatap langit. Jarang-jarang aku punya waktu untuk bersantai dan memandangi langit kalau bukan karena paksaan dari Tsuki. Terakhir kali aku melakukannya, sepertinya sebelum Mitsuki lahir. Sejak kami berpacaran, Satoru sering mengajakku ke kuil tak jauh dari sini dan kami akan duduk di halaman dengan beralaskan karpet lalu menyantap makanan buatannya sambil membahas banyak hal. Lalu, karena faktor kesibukan dan lain sebagainya, kami sudah tidak pernah melakukannya lagi. Dan aku baru melakukannya lagi—memandangi langit—setelah ada Tsuki.
Lagi pula, tak ada salahnya aku menuruti keinginan Tsuki. Karena bagaimanapun, sejak kedatangannya, rumah ini jadi lebih bersih. Tsuki tak hanya cukup mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, dia bahkan juga membantuku membersihkan rumah, memasak, dan menanam beberapa sayur dan tanaman hias. Selain itu, aku juga tak perlu keluar uang untuk membelikannya makanan kucing kalengan, karena alih-alih makan makanan kucing, Tsuki lebih suka makan sup miso dengan isian kepala udang dan daun bawang yang banyak, sama seperti Satoru.
Sebenarnya, tak hanya makanan kesukaannya saja yang sama dengan Satoru. Matanya yang bulat dan terlihat seperti orang bodoh, rasa masakannya, kebiasaan tidurnya yang selalu berbaring miring dan menjadikan tangan kirinya sebagai bantalan kepala, dan … tempat yang ditujunya setiap kali hendak tidur pun juga sama. Tsuki tak pernah mau tidur di kamar yang sudah aku persiapkan untuknya, dia lebih suka tidur di depan butsudan[1] yang terdapat foto dan guci berisi abu Mitsuki di dalam kamar yang empat tahun belakangan selalu dituju Satoru setiap kali pulang bekerja dalam keadaan mabuk berat—sebelum dia pergi dari rumah ini. Kamar yang bahkan sangat jarang kukunjungi.
Seperti malam ini. Saat pulang kerja aku mendapati pintu kamar itu terbuka dan Tsuki sudah tertidur di dalamnya, padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan lewat tiga belas menit. Lalu aku melihat di altar terdapat sekotak susu cokelat dan se-cup puding mangga, bunga anyelir merah muda yang mengisi vas, dan dupa yang masih menyala dan tersisa separuh.
Aku memejamkan mata cukup lama. Hari ini adalah hari peringatan kematian Mitsuki yang keenam dan aku hampir melupakannya.
Aku kemudian masuk ke kamar itu, duduk di depan altar, lalu melepaskan tasku sebelum berdoa untuk Mitsuki. Namun, ketika hendak bangkit untuk pergi ke kamarku, ada rasa sepi yang melingkupiku dengan begitu pekat. Dan untuk pertama kalinya, aku enggan tidur sendiri.
Akhirnya, tanpa mengganti pakaian kerjaku, tanpa menghapus riasanku, aku membaringkan diri di belakang Tsuki, memeluk tubuhnya yang besar dan berbulu lebat. Setiap kali melihat Tsuki, aku selalu berpikir, kalau malam ketika Satoru pergi meninggalkan rumah ini, dia datang ke kuil seperti yang selalu dilakukannya setiap pagi—sejak pertama kali aku mengenalnya sebelas tahun yang lalu—dan berdoa kepada dewa. Entah apa yang dimintanya, aku tidak tahu. Satoru memang suka berdoa dan meminta banyak hal, sampai-sampai aku sering mengingatkannya agar tidak terlalu banyak minta karena nanti dewa akan kesal. Dan mungkin, setelah bertahun-tahun mendengarkan doa Satoru yang kelewat banyak itu, dewa mengubahnya menjadi seekor kucing. Atau bisa jadi Satoru mengalami kecelakaan dan mati pada malam itu lalu bereinkarnasi menjadi kucing.
Mendadak dadaku terasa nyeri dan mataku memanas. Aku mengeratkan pelukanku pada tubuh Tsuki, membenamkan wajahku pada bulu-bulunya. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku benar-benar tidak ingin menangis. Namun, ketika kurasakan tangan besar Tsuki menepuk-nepuk punggung tanganku, air mataku keluar juga.(*)
Jakarta, 26 Oktober 2024
Catatan kaki:
[1] Butsudan: ruang suci kecil yang biasanya ditemukan pada kuil dan rumah penduduk dalam budaya Buddhisme di Jepang atau altar keluarga yang berbentuk lemari kayu.
Komentar Juri, Berry:
Tidak ada keraguan dari pada juri untuk memilih cerpen ini sebagai yang terbaik. Ia menunjukkan bahwa cerita fantasi tidak harus dieksekusi dengan cara yang “sangat remaja”, yang sesak dengan istilah asing dan rujukan, dan diisi dengan tokoh-tokoh klise. Cerita fantasi, nyatanya, sangat bisa digunakan untuk mengangkat tema-tema melankolis, menyuguhkan misteri, menyisipkan simbolisme, dan mengeksplorasi karakter yang kompleks.
Kalaupun ada yang kurang, aku merasa cerita ini masih terlalu telling.