Trilogi Kenangan: Jendela yang Tidak Pernah Dibuka

Trilogi Kenangan: Jendela yang Tidak Pernah Dibuka

Trilogi Kenangan: Jendela yang Tidak Pernah Dibuka
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Nenek buyutku punya banyak sekali rahasia—atau sihir, aku tidak memahaminya. Tangannya amat piawai dalam mengolah bahan makanan. Nenek dapat dengan mudah mengolah jangkrik serta kodok menjadi santapan luar biasa lezat. Rahasia lain yang dimiliki Nenek adalah fisiknya yang masih saja bugar meski sudah berusia nyaris seperempat abad. Meski tidak lagi mengurus sawah, Nenek masih bisa bepergian sendiri menggunakan sepeda motor—meski, yah, jalannya sangat lambat.

Aku amat kagum, lagi-lagi bertanya apa triknya hingga bisa sekekinian itu, dan Nenek malah menjawab, “Itu karena Nenek ingin melihat cucu-cucu Nenek tumbuh dewasa, jadi Tuhan memberikan umur yang panjang serta tubuh yang sehat.” Untuk rahasia ini, aku percaya saja dan mulai berdoa pada Tuhan agar diberi kesehatan serta umur panjang, seperti yang Nenek dapatkan.

Itu hanya dua dari rahasia Nenek—sekali lagi, beliau punya banyak sekali rahasia. Namun, apabila ditanya rahasia terbesar apa yang beliau miliki, akan kujawab: Jendela di sebelah utara rumahnya yang menghadap langsung ke kebun singkong. Tidak ada yang istimewa, sebetulnya. Itu cuma jendela biru di dekat ranjang empuk yang dulu biasa ditempati Kakek. Akan tetapi, yang membuatnya jadi rahasia terbesar Nenek, menurutku, adalah karena Nenek tidak pernah membuka jendela itu—pagi, siang, sore; kemarau atau penghujan. Bahkan, mungkin tidak ada yang pernah mendekat atau membuka jendela itu.

Ketika aku bertanya, Nenek berkata bahwa jendela itu memang sudah rusak lama sekali. Kenapa tidak dibetulkan, Nenek menjawab bahwa ia telah berusaha membetulkan jendela tersebut—ia bahkan meminta Papa untuk mencarikan kenalan tukang kayu andal—tetapi hasilnya nihil. Jendela itu tidak juga terbuka, malah engselnya semakin berkarat sehingga bila didorong paksa, bisa-bisa kayunya ikut lepas dan Nenek pun kehilangan satu jendelanya.

Waktu itu, tentu saja aku langsung menyahut, “Bukankah tidak masalah kehilangan satu jendela? Bentuknya sudah ketinggalan zaman … Nenek bisa membeli jendela baru dengan bentuk serta warna lebih trendy—atau, ah! Nenek bisa menggantinya dengan jendela warna pink!”

Nenek tersenyum. Mata jernihnya bercahaya. Telapak tangan kasarnya mengusap rambutku sebelum beliau menjelaskan, “Ada banyak hal yang tidak bisa digantikan. Hal-hal yang mestinya dapat diganti dengan mudah, padahal tidak sesederhana itu. Misalnya saja, Karin tidak mau sepeda roda tiga Karin dibuang padahal sudah sangat butut, ‘kan?”

Aku mengerti dan seketika teringat sepeda roda tiga yang kini pastilah berdebu di gudang. Tahun lalu, Papa berkata akan menjualnya ke pasar loak, yang langsung kutolak dengan alasan kami melewati banyak hal bersama dan aku ingin menyimpannya tanpa terkecuali. Ini aneh, kutahu, dan kupikir itu sama anehnya dengan alasan Nenek, jadi kuiyakan saja perkataannya. Namun, menyetujui bukan berarti rasa penasaranku serta-merta lenyap.

Aku masih membayangkan rahasia di balik jendela itu: kenapa tidak pernah dibuka, kenapa pula dipertahankan jika tidak berguna. Aku menyusun sekian puzzle, menggabungkan semua hal yang kuketahui selama ini, dan membayangkan jendela itu sebagai pintu menuju alam kematian, yang bila dibuka akan menarik sekian roh jahat untuk menguasai dunia. Aku juga sempat berpikir bahwa jendela itu semacam gerbang menuju Wonderland, Narnia, Dunia Kapur, atau bahkan gudang dari semua rahasia Nenek. Jangan-jangan pula, Nenek sebenarnya seorang penyihir atau makhluk-dari-planet-lain yang punya kekuatan super. Nenek terlalu tamak, tidak ingin predikatnya sebagai manusia super tertandingi, makanya menyimpan semua rahasianya di ruangan transparan di balik jendela dan tidak mengizinkan seorang pun ke sana.

Aku pernah menceritakan hal ini pada Mama, tetapi Mama justru tertawa seraya mengusap rambutku, “Apa Karin tidak tahu? Kita memang keluarga pahlawan super. Kita melindungi negara ini selama bertahun-tahun, tetapi Pemerintah menyamarkannya sebagai jasa mereka dan menyimpan data aslinya dalam sebuah arsip besar nasional. Kita geram, mencuri arsip tersebut, lantas menyembunyikannya ke Limbo—yaitu ruangan di balik jendela rumah Nenek.”

Aku kembali mengerjakan PR, menggerutu. Imajinasi Mama ternyata lebih liar dari yang kukira.

***

Bicara tentang jendela itu, mau tidak mau aku harus menyinggung dua hal: kebun singkong serta kasur yang jarang dipakai sejak kepergian Kakek. Kalau kebun singkong, aku sering main di sana sambil sesekali mengambil singkong muda untuk dibakar asal-asalan, sedangkan kasur Kakek … kupikir keberadaannya hampir sama dengan jendela itu: bagaimana orang-orang menghindar dan membiarkannya apa adanya.

Kakek pergi ketika Mama remaja sehingga aku pun sama sekali tidak punya kenangan tentangnya. Dari yang kudengar, Kakek adalah seniman sejati—ia membuat lemari serta patung Reog di depan rumah, memahat ornamen kayu, menggambar Abimanyu pun menulis geguritan di atas kertas A3, bahkan melukis potret wajahnya sendiri. Buah tangan dinginnya menghiasi setiap sudut rumah, diikuti dengan mahakarya lain dari anak-cucunya, dan kupikir bakat Kakek pula yang membawa keluarga ini menjadi keluarga seniman.

Dari cerita beberapa orang, aku juga tahu bahwa Kakek sudah tidak bisa beraktivitas setelah mengalami serangan strok kedua dan menghabiskan sisa usianya dengan tidur di ranjang yang berada di dekat jendela berwarna biru itu.

Dulu, setelah membeli bunga tujuh rupa untuk nyekar[1], Nenek berkata padaku, “Gara-gara itu, Nenek harus mengurus Kakek siang-malam: memandikan, membersihkan luka, bahkan ngurusi semua pengobatannya. Dan, ya, kakekmu itu cuma itu tidak bisa aktivitas lagi. Dan, hiburannya selama itu hanya pemandangan di luar jendela. Hanya itu.”

Waktu itu, aku membalas, “Kalau begitu, Kakek pasti bahagia di sisa umurnya, ‘kan?”

Nenek tersenyum. “Tidak ada yang tahu pasti perasaan seseorang, tetapi kakekmu jadi sering tersenyum sejak serangan strok itu. Jadi, itu sama saja dengan dia bahagia, ‘kan?”

Ada sekian kata tidak terucap hari itu dan aku lamat-lamat mengerti alasan orang-orang enggan menempati kasur Kakek. Aku membayangkan hari-hari yang Kakek lewati secara monoton; seberapa terbatas pemandangan yang ia lihat selama tiga tahun ini; bagaimana Nenek selalu memandang jendela di dekat kasur Kakek dengan sayu. Ada beberapa hal menyedihkan terlintas dan aku mulai berpikir, barangkali, kasur, juga jendela itu, menyimpan kenangan hari-hari terakhir Kakek yang bila dibuka akan mencipta luka lama. Luka yang mesti diikhlaskan meski masih juga terasa perihnya.

Namun, itu sekadar perkiraanku—pikiranku lebih liar dari yang seharusnya dan itu membuatku menghubungkan setiap kronik cerita yang kutahu menjadi puzzle sempurna. Kenangan Kakek hanyalah satu dari sekian versi utuh dari potongan-potongan tersebut sehingga aku terus mencari, bertanya, berfantasi … sampai akhirnya datang waktu itu.

***

Sekali lagi, Nenek punya banyak rahasia. Akan tetapi, lambat laun, usai mengetahui sebagian kecil profil Kakek, aku mulai berpikir bahwa Kakek—barangkali—juga memiliki rahasia, berkaitan dengan kepiawaiannya dalam bidang seni. Ini tentu saja mencipta keasyikan tersendiri: aku berfantasi tentang Kakek dengan gudang inspirasi raksasa, yang bila berkarya cuma perlu membuka dan mengambil beberapa simpanan ide dari sana. Aku berkhayal tentang tempat yang sangat rahasia, sangat sakral, yang pintu masuknya pun dikeramatkan orang-orang.

Lebih lanjut, aku menghubungkan sumber inspirasi tersebut dengan jendela yang tidak pernah dibuka: barangkali, Kakek menyimpan idenya di balik jendela biru tersebut; barangkali, Kakek menghabiskan sisa usianya dengan menyimpan sebanyak mungkin ide di sana—ide-ide yang kelak ditemukan, diwariskan oleh keturunannya.

Ini memang salah satu hasil kefanatikanku terhadap jendela biru itu, sih. Namun, hari Minggu, ketika aku diimpit tenggat waktu tugas menggambar, khayalan itu tiba-tiba saja datang, dan seketika aku membayangkan segala keuntungan bila dapat membuka ruang inspirasi Kakek—bagaimana jika aku memang ditakdirkan untuk selalu ingin tahu, untuk selalu mengira-ngira, untuk menemukan rahasia milik Kakek?

Nenek ada di belakang waktu itu, menggunakan sihirnya guna memasak berbagai makanan lezat serta memerintah Mama untuk membantu ini-itu. Tidak ada orang lain di ruang tengah, selain aku yang menyusun sekian rencana ilegal dalam kepala.

Aku tahu larangan absolut tentang jendela itu. Sayangnya, ejekan tentang betapa kontrasnya gambarku dengan cap keluargaku sebagai keluarga seniman terngiang dan itu membuatku kebakaran. Aku memikirkan beberapa kemungkinan sembari menghibur diri: meskipun itu bukan pintu ke gudang inspirasi Kakek, bisa saja itu merupakan jalan menuju rahasia-rahasia Nenek atau hal lain semacam kenangan dengan Kakek. Tidak masalah, aku menghibur diri, toh, aku akan semakin mengenal Kakek jika akhirnya mengetahui memori tentangnya.

Aku berdebar waktu itu. Sekian fantasiku selama ini terulang. Aku berdoa banyak-banyak agar tidak betulan pergi ke alam kematian. Aku menghela napas, memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, lantas membuka jendela—yang di luar dugaan amat mudah didorong. Aku menelan ludah ketika jendela itu berderit diikuti terdengarnya suara-suara asing. Ada keramaian yang tidak familier dan begitu dibuka, seperti dugaanku, aku melihat sekronik peristiwa. Kenangan … yang tidak menyenangkan.

Apa yang kulihat di balik jendela serupa ruang tengah dengan dekorasi lebih jadul. Tidak ada kasur Kakek; hanya beberapa satu-dua lemari baju yang memang dibiarkan hingga saat ini. Di sana, dua orang dewasa saling menghardik: seorang wanita yang senyumnya mirip dengan Nenek, sedangkan satunya menyerupai lukisan Kakek di ruang tamu. Suasananya sangat buruk. Aku tidak melihat reka peristiwa yang kuharapkan sejak awal. Aku tidak melihat figur Kakek yang selama ini dibicarakan Mama ataupun Nenek.

Dibandingkan potret diri Kakek, wajah Kakek saat itu begitu gelap. Uratnya menonjol. Beliau berkeringat. Nenek dalam penglihatanku lebih muda, lebih ayu, lebih … entahlah.

Aku menutup mulut. Terduduk di ranjang Kakek.

Khayalanku benar: ruang di balik jendela itu adalah kotak rahasia; kumpulan kilasan kejadian berpuluh tahun silam. Dan, harapanku juga terwujud: aku bisa berkenalan dengan Kakek, memahami fakta yang selama ini tidak kuketahui.

Kakek menuduh Nenek berselingkuh. Kakek memaki Nenek, mengatakan hal-hal buruk tentang Nenek. Kakek bertengkar dan sering menyalahkan Nenek. Kakek yang kerap mempermasalahkan hal-hal kecil pada Nenek. Kakek yang mengatakan pada anak-anaknya untuk menjauhi Nenek. Kakek mendiamkan Nenek.

Kakek menyakiti Nenek.

Potongan-potongan kejadian itu muncul sebagaimana kilasan film hitam-putih. Tangisan serta suara tinggi yang saling serang memenuhi gendang telingaku, membuatnya berdenging, sampai-sampai aku merasa pusing luar biasa. Aku mundur dengan gemetar, tetapi suara-suara itu terus bergaung, memuakkan, jadi aku menangis sambil menutup kuping. Ingatanku bercampur dengan setiap kenangan, rahasia, serta realitas di tempat ini, dan detik setelah ruang oksigenku cukup longgar, aku berlari menjauh.

Berlari … sampai menabrak tubuh Mama.

Mama bertanya apa yang kulihat. Aku tidak menjawab, malah menangis keras. Mama sepertinya mengerti, karena ia langsung memeluk, mengusap rambutku, kemudian berucap, “Semua punya alasan untuk mengambil keputusan. Kenapa Nenek tidak pernah berusaha membuka jendela itu, kenapa beliau membiarkannya begitu saja, tentu dengan alasan tertentu, ‘kan? Jadi, sudah seharusnya kita menghargai keputusan Nenek.”

Mama tidak menceritakan kelancanganku pada Nenek, tetapi aku punya firasat bahwa Nenek mengetahuinya. Aku sendiri kapok dan tidak pernah mendekati jendela tersebut tiap ke rumah Nenek. Ada bayangan serta suara yang membuat tubuhku menggigil dan aku benci itu. Ini menjadi semacam trauma dan aku sedikit-banyak mengerti alasan Nenek tidak pernah membuka jendela tersebut. Mungkin, karena jendela itu mengantarkan Nenek pada kenangan buruknya dengan Kakek—karena bisa saja kenangan tersebut lepas, mengucur seperti air mancur bila dibuka setiap hari—makanya beliau tidak pernah membuka jendela itu.

Aku akhirnya mengerti hal ini, tetapi masih juga tidak memahami alasannya kukuh mempertahankan jendela tersebut. Maksudku, aku pernah dikerjai teman TK-ku dan aku sangat marah waktu itu sampai-sampai tidak mau melihat wajahnya lagi. Di sisi lain, aku juga tidak mau terlalu ingin tahu karena ini menyangkut keputusan seseorang, seperti perkataan Mama, jadi aku cuma bertanya di siang yang hujan, “Apa Nenek menyayangi Kakek?”

Nenek tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia tersenyum tipis, baru menjawab, “Sayang. Sayang sekali. Karena itu, Nenek tidak pernah meninggalkan kakekmu … tidak sekali pun.”

Aku sebelas tahun waktu itu dan tidak terlalu paham urusan percintaan—Mama berkata aku akan memahaminya saat sudah dewasa—tetapi mungkin ini sama kasusnya dengan aku dan sepeda bututku: seberapa sering aku terjatuh saat mengendarainya, aku akan tetap menyimpannya, menjadikannya sesuatu yang berharga.

Mungkin, cinta bisa diterjemahkan seaneh itu.

Mungkin, itulah rahasia terbesar yang selama ini dimiliki Nenek: sesuatu di balik jendela yang tidak pernah dibuka. (*)

 

Catatan:

[1] Tradisi menabur bunga di atas makam yang dilakukan oleh suku Jawa.

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata