Trilogi Kenangan: Aku Berkaca dan Melihat Bapak di Sana
Oleh: Devin Elysia Dhwyinanda
Aku berkaca dan melihat Bapak ada di sana.
Bapak berdiri setegap pohon jati. Rambutnya masih putih, tetapi matanya bercahaya, berbeda sekali dengan tiga tahun terakhir ketika pupilnya merupa bulan yang hanya tertuju pada langit-langit rumah kami. Urat-uratnya menonjol di tangan serta kaki, persis seperti akar banir. Bedanya, kali ini tubuh Bapak lebih berisi. Lebih sehat. Lebih bugar dibandingkan yang kulihat setiap aku berkunjung ke rumahnya di daerah batu gamping.
Aku tidak menceritakan refleksi Bapak saat aku berkaca pada orang-orang, sebab aku takut mata mereka akan menjadi merah dan mereka mulai mengatakan hal-hal yang mirip penghiburan diri sendiri. Aku akan melihat dada mereka rekah, berdarah, sedangkan mereka terus saja bercerita, mengabaikan cairan merah yang membanjiri tegel-tegel yang lamat-lamat retak. Aku tidak suka pemandangan macam itu, jadi kuputuskan menjadikan bayangan Bapak sebagai rahasia, yang kemudian kugambar dia dan kusimpan baik-baik dalam catatan keseharianku.
Kendati demikian, perihal seseorang yang melihat refleksi orang lain saat berkaca, aku ingat Bapak pernah menceritakannya di umurku yang sepantaran tujuh tahun. Waktu itu, mangsa ketiga[i]—dedaunan jati jatuh, membikin karpet yang bergemerasak bila dijejaki—dan kami tengah ongkang-ongkang di depan rumah ketika Bapak menjelaskan, “Jangan pernah takut bila kamu melihat orang lain saat bercermin, sebab itu sama saja dengan kamu melihat dirimu sendiri.” Rambut Bapak masih hitam waktu itu, meskipun telah merupa lahan licin di tengahnya. Pun, tubuhnya masih bugar—setiap sore, Bapak selalu bersepedah, entah menengok hutan jati kami di sebelah utara ataupun menengok sawah yang ada di sebelah selatan.
Aku ingat, waktu itu aku mengernyitkan dahi seraya membalas, “Kok, bisa, Pak? Lha, wong, wajahnya saja sudah beda.”
Bapak terkekeh. “Ndhuk[ii], setiap orang selalu menjadi beberapa orang sebagai panutannya. Itu pasti. Hidup memang seperti itu. Dan, setiap kali mereka meneladani orang lain, segala miliknya akan semakin menyerupai orang tersebut—termasuk wajah mereka. Mereka akan menjadi satu. Manunggal. Meskipun kelihatannya berbeda, mereka sebenarnya orang yang sama. Karena itu, ketika yang lain berkaca, ia sebenarnya tengah mematut dirinya sendiri.”
Setelah itu, Bapak menceritakan hal-hal yang tidak begitu kumengerti, sedangkan aku khidmat mendengarkan semua ceritanya. Entahlah. Kata-kata Bapak seolah punya hal magis, punya ruh, yang membuatnya hidup dan bertunas dalam diriku. Tunas yang kelak akan tumbuh jadi pohon besar dan kukuh.
Bapak sendiri sepertinya percaya aku akan memahami ucapannya sehingga ia tidak pernah bertanya macam-macam. Hanya, setiap selesai bercerita—termasuk hari itu—Bapak selalu mengusap rambutku seraya berkata, “Kamu akan jadi orang hebat.”
Telapak tangan Bapak lebar dan kasar, seolah menjadi saksi bisu atas berbagai hal yang selama ini telah Bapak lakukan—seolah mengatakan bahwa aku mesti kelak bakal melalui jalan terjal untuk menjadi “orang hebat”. Itu menjadi memori tersendiri dalam diriku, termasuk kelakar-setengah-serius Bapak tiap menceritakanku pada sanak saudara, “Aku cuma jadi guru SD, tapi Sendhuk pasti bisa jadi dosen.”
Aku tertawa tiap mengingatnya—tawa keras; tawa pelan. Lantas, ketika aku berkaca dan melihat Bapak berdiri, tersenyum hangat padaku, persis seperti senyum yang selama ini mengisi ingatan masa kecilku, aku memaksa menarik bibir, kemudian beranjak. Meninggalkan Bapak yang masih tersenyum kendati aku tidak berdiri di depannya.
*
Bapak serupa musafir, sebab Bapak selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari satu desa ke desa lain. Ajaibnya, setiap tempat yang pernah disinggahi selalu menjadi tempat subur, di mana benih-benih bertunas, tumbuh dengan baik, dan kelak dapat dipetik, dimanfaatkan, oleh masyarakat sekitar. Bahkan, bagiku sendiri, bekas tapak Bapak selalu membuahkan tetumbuhan. Kadang-kadang oasis. Di sana, setiap orang datang untuk beristirahat, berteduh, sekaligus menyesap air dingin di tengahnya.
Aku pernah bertanya pada keluarga kami, kenapa Bapak bisa punya keajaiban seperti itu, dan mereka menjawab, “Karena Bapak selalu bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Bapak itu guru, dan dia tidak mau jadi guru yang hanya menerangkan materi ke murid-muridnya.” Jeda sebentar, dan angin kering berembus. “Yah, bisa juga itu karena Bapak lahir dari keluarga kurang mampu, wong cilik[iii], yang mesti berjuang untuk bisa bertahan, dan satu-satunya jalan adalah pendidikan. Maka dari itu, Bapak tidak mau setengah-setengah … karena Bapak seolah-olah melihat dirinya yang dulu dari murid-murid yang dia ajar.”
Kubayangkan tunas-tunas anyar yang tumbuh kukuh, lalu jadi kanopi sekaligus sumber penghidupan orang-orang. Lagi, kubayangkan tunas-tunas itu adalah cikal bakal pohon jati yang kelak tumbuh setegap dan sekuat sosok Bapak kala itu.
“Dan, lagi, di setiap tempat yang pernah disinggahinya, Bapak selalu meninggalkan sesuatu. Sebuah karya. Ben isa dideleng lan dadi seksi yen aku ana ing kene[iv], katanya seperti itu.”
Aku mendengarkan dengan khidmat, membayangkan Bapak yang berjalan dan menumbuhkan tunas-tunas anyar di setiap jejaknya. Kureka sosok Bapak yang membelah gunung gamping dan menumbuhkan tanaman-tanaman baru: spesies baru yang kelak bisa menaungi masyarakat sekitar. Lalu, kubayangkan aku sebagai salah satu tunas itu, dan Bapak mengalir dalam serat-seratku, membikinku—kami—sedemikian tegar. Menakjubkan.
Akan tetapi, saat mendengar hal itu, Bapak justru tertawa. “Bapak tidak seberapa, karena Bapak cuma guru SD. Tapi, Sendhuk pasti bisa melakukan yang lebih.”
Aku tersenyum tiap mendengar perkataan itu. Bahkan, aku masih tersenyum tiap mendengarnya, ketika aku berkaca dan melihat Bapak di sana. Namun, ketika aku mengingat sederet angka, rumus-rumus fisika, perhitungan untuk sebuah konstruksi bangunan, atau goresan dari mekanik, setumpuk contoh desain rumah, gedung perkantoran, aku seketika menunduk. Tidak dapat bersitatap dengan Bapak.
Di sisi lain, orang-orang tidak lagi mencari penghiburan konyol dengan dada terbelah dan darah menetes ke tegel-tegel menggigil. Sementara itu, aku masih bungkam perihal bayangan Bapak setiap aku berkaca.
*
Aku berkaca dan melihat Bapak di sana. Tatapannya hangat. Juga dekat. Itu adalah tatapan yang selalu Bapak berikan ketika aku masih kecil, ketika kami kerap menghabiskan sore hari di teras rumah, melihat daun jati yang berguguran; anggrek yang lamat-lamat mekar; orang-orang yang lalu lalang di jalan makadam. Itu adalah tatapan yang tanggal bertahun-tahun silam, setelah kondisi Bapak memburuk dan hanya dapat melakukan aktivitas kecil, dengan dibantu orang lain.
Aku ingat, waktu begitu lihai menyusup, meregangkan sebuah ikatan, dan kutemukan diriku lebih dewasa; lebih suka bergumul dengan layar bercahaya ketimbang mendengarkan cerita Bapak yang lama kelamaan merupa radio rusak; lebih suka bergeming setiap Bapak memandang tanpa daya, barangkali ingin berbicara; lebih kekanakan ketimbang aku yang dulu membicarakan guguran daun jati yang manunggal bersama tanah di bawahnya. Orang-orang berubah sedemikian cepat, ternyata—Bapak yang suka membicarakan hal-hal monoton pun akhirnya kalah dan berbincang dengan keheningan—dan aku bertemu realitas baru yang lebih mengasyikkan: arsitektur.
Aku amat gandrung tiap memikirkan desain bangunan: bagaimana gambar 3D berkeliaran, berloncat-loncatan dalam kepala, sedangkan lembar buku sketsaku beradu dengan granit berbagai ukuran, penghapus, atau drawing pen; bagaimana aku memilih begadang untuk mencari referensi dan menuangkan inspirasiku ke kertas A3; bagaimana aku merenung amat lama untuk menemukan pemecahan atas masalah konstruksi bangunan.
Aku seolah menemukan diriku di sana. Sesuatu yang tidak kudapatkan ketika aku hanya menjelaskan suatu materi atau pokok permasalahan kepada teman-temanku. Sesuatu yang datang bersama keheningan dan urung singgah ketika dunia menuntutku berbicara seumpama seorang cendekiawan. Oleh karena kegandrungan itulah … aku tidak mau setengah-setengah.
Sementara itu, suara Bapak bergema, lantas lamat-lamat senyap: Aku cuma jadi guru SD, tapi Sendhuk pasti bisa jadi dosen.
Aku tidak tahu kenapa gema itu perlahan menyisa senyap. Aku hanya menerka, barangkali karena keheningan telah mengambil suara Bapak, atau karena suara-suara lain mulai memenuhi kepalaku, dan suara Bapak pun akhirnya tertindih suara-suara itu. Itu adalah sekian probabilitas yang kupikir.
Akan tetapi, suatu hari, setelah mendaftarkan SNMPTN di Jurusan Arsitektur, aku memandang Bapak yang kini menatap kosong plafon tripleks, mengingat kata-kata monoton yang selalu diucapkannya ketika ingatan mulai angkat kaki dari kepala (“Putuku kabeh iku[v] juara satu sekota. Yang satu jago olahraga. Satunya jago sains,” ulang Bapak hingga para pendengarnya protes, berbisik: Bapak sudah pikun, ternyata), kemudian berpikir … barangkali, karena Bapak sendiri sudah mulai melupakan banyak hal, karena itu gema suaranya pun pudar. Lalu, hilang.
Aku dan Bapak nyaris tidak pernah membicarakan batiniah seseorang. Bapak lebih suka sesuatu yang nyata, sesuatu di luar tubuh manusia, dan kalau pun membicarakan sebuah konsep, konsep itu biasanya berkaitan dengan generalisasi serta miskonsepsi Tuhan bagi beberapa orang. Kalau ditanya kenapa bisa seperti itu, aku akan ingat rangkaian kisah masa kecilnya: Bapak adalah putra sulung yang dituntut untuk tegar dan berkompeten jadi tulang punggung keluarga. Itu tidak pernah kupikirkan awalnya, tetapi hari itu aku berpikir, barangkali karena sering berpura-pura kuat—karena Bapak menghapus definisi perasaan pribadi demi orang lain—Bapak pun akhirnya sangat jarang membahas sesuatu yang sentimentil.
Hari itu, aku tiba-tiba ingat, pernah bertanya pada entah-siapa, “Apakah Bapak pernah mengeluh lelah atau semacamnya?” yang dibalas satu jawaban absolut: tidak.
Waktu itu, aku mendekat, entah kenapa diliputi perasaan bersalah. Dan, kulihat air mata turun dari mata kosong Bapak. Tidak deras. Hanya seperti embun yang mengalir perlahan dari pucuk daun. Dan, aku terdiam.
Kenapa Bapak menangis? Apa karena Bapak kesepian? Karena dunia berputar monoton dan tidak berarti? Karena dunia kentara tidak adil dalam perspektifnya kini? Atau … karena aku? Karena Bapak tahu aku tidak jadi seperti yang Bapak mau, atau karena aku pun berubah, maka Bapak menangis tanpa sadar? Atau, hanya aku saja yang berlebihan? Mungkin saja, Bapak menangis tanpa sadar sebab, toh, banyak hal tergerus dari ingatannya. Kenangan-kenangan indah. Kenangan tentangku … barangkali.
Iya, ‘kan?
Daun jati masih bertengger di reranting.
Dan, aku tidak pernah mendapat jawaban. Bahkan, sampai akhirnya aku berkaca dan melihat Bapak, yang raganya kian pudar diterpa cahaya, tersenyum padaku. Tulus. Juga hangat.
*
Aku berkaca … dan melihat Bapak di sana.
Itu adalah sekian tahun setelah aku pertama kali melihatnya dalam kondisi lebih bugar di balik kaca—setelah gundukan tanah miliknya menggembur, turun, dan sama rata dengan tanah lain di taman yang ditumbuhi pohon kamboja. Berbagai hal berubah—pagar berlumut yang kini dicat oranye; dapur tanah yang disemen; sangkar burung burung yang digusur beberapa minggu setelah Bapak menyatu dengan tanah—sedangkan yang lain bertahan, konstan, seolah menolak campur tangan waktu: tempat tidur Bapak yang kini suwung[vi]; plafon tripleks di atasnya; lemari reyot yang setia menyimpan baju-baju Bapak.
Aku masih menyembunyikan keberadaan Bapak dari orang-orang, kendati aku tahu mata mereka tidak akan menjadi menjadi merah dan mereka tidak akan mengatakan hal-hal konyol dengan dada rekah serta darah menetes ke tegel-tegel rumah. Orang-orang telah beradaptasi dan aku pun telah menyesuaikan diri untuk bersitatap dengan Bapak lebih berani, lebih lurus, untuk kemudian menerjemahkan setiap perasaan, setiap kata … setiap jawaban.
Aku berkaca, melihat tubuh Bapak yang lamat-lamat lesap. Kupejamkan mata, merunut semua ingatan, kemudian menemukan senyumnya di sana.
Musim hujan bertandang. Mengetuk jendela kayu. Bergumul dengan lahan gersang. Bercumbu dengan reranting serta tubuh jati.
Musim hujan bertandang. Hujan yang berbeda, sekaligus familier. Hujan yang hangat.
Dan, aku berkaca, melihat Bapak di sana—tanpa kata, cuma tersenyum, sedangkan tubuhnya memudar, tersapu entah, dicairkan entah.
Di luar, waktu berjalan, dan perkataan Bapak jadi gema monoton dalam kepala. (*)
[i] (bahasa Jawa) Musim kemarau.
[ii] (bahasa Jawa) Sendhuk. Panggilan untuk anak wanita.
[iii] (bahasa Jawa) Orang kecil.
[iv] (bahasa Jawa) Supaya bisa dilihat dan jadi saksi saya pernah di sini.
[v] (bahasa Jawa) Cucu saya semua itu
[vi] (bahasa Jawa) Kosong.
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata