Traveling Ala–Ala (Bagian 4)
Oleh: Evamuzy
4. I’m Vanila
I’m Vanila. Dan, sudah dua tahun tujuh bulan ini, prinsip hidupku berubah menjadi: what is the meaning of beauty? It’s not slim, but when I’m healthy and happy.
***
58 menit yang lalu.
Ugh, leganya ….
Memang benar, ya, sesuatu yang buruk itu tidak baik jika disimpan lama-lama, harus segera dikeluarkan supaya lega. Termasuk kentut.
Orang bilang aku ini pabrik kentut. Aku, sih, tak marah, biarin saja. Emosi itu cuma milik orang-orang lemah. Bagiku, aku ini hanya punya intensitas kentut yang sedikit berbeda sama orang lain. Ya, katakanlah aku ini kentutnya lebih rajin dibanding orang lain. Lah, mau bagaimana lagi, sudah ingin keluar masa ditahan. Bisa-bisa jadi penyakit, dong. Lagian, nih, ya, sekarang aku semakin tahu, kalau kentut itu diibaratkan saja dengan sedekah, yang mana harusnya setelah dikeluarkan, kita menjadi lebih ikhlas, tenang dan damai. Dan lagi, bagiku, kentut yang dikeluarkan orang, bisa jadi ladang pahala jika yang menghirup menerimanya dengan lapang dada. Noted, ya, Guys.
“Kalau dihitung-hitung, ini sudah yang ketiga puluh tiga kali kamu kentut sepanjang perjalanan, deh, Van. Kamu nggak bosen gitu kentut terus? Pantatmu nggak panas?” Kenanga, atau kami akrab panggil dia Kenang, protes untuk ketiga kalinya. Gadis ini baik aslinya, kalem pula. Tapi sepertinya dia mulai terkonfrontasi sama gadis centil sampingku ini. Jadi, dia ikutan sedikit bawel begini.
“Ih, sempit, deh, sempiiit. Udah bau busuk, sempit banget lagi. Pengap, aku butuh oksigen. Lama-lama bisa pingsan aku di mobil ini.” Nah, ini dia gadis centil yang kumaksud tadi. Lagi-lagi dia nyerocos karena jatah tempat duduknya di dalam mobil VW kodok ini hanya selebar kira-kira dua jengkal, sisa jatah tempatku yang memang perlu bagian lebih banyak, sedikit.
Awalnya si Centil ini yang diberi tugas menyetir, lalu di tengah jalan tadi karena alasan dia mau mengurus kuku-kukunya, tugas menyetir kembali kepada Ken–si pembawa mobil.
“Lebay, deh, ah,” jawabku, bikin Yura–nama gadis di sampingku ini–semakin cemberut. Seperti tengah pamer lipstik merah cabe di bibirnya.
“Aku saja sampai sekarang nggak nyangka kalau kamu ternyata punya badan se–” kata Ken tiba-tiba dari balik kemudi. Buru-buru aku sambar saja dengan jawaban, “sebesar, segendut ini.”
“He’em,” jawab Ken sambil mengangguk.
“Image kamu kan selama ini manis, elegan, kalem, ala-ala nona gitu, Van. Makanya aku kaget banget pas kamu pertama datang di stasiun tadi. Aku pikir mataku yang salah lihat, atau seorang Vanila mau nge-prank kami bertiga. Vanila yang asli ngumpet di mana gitu.” Kenang kembali angkat suara.
“Iya, aku sampai clingak-clinguk nyari, loh. Barangkali ada gadis langsing ala nona-nona yang lagi ngerjain kita,” timpal si Centil sampingku. Matanya sibuk mengamati satu per satu kuku-kuku di kedua tangannya. Memperlakukan mereka seperti tembikar yang antik, mengilap, dan mahal. Kentutku yang terbang sepuluh menitan lalu, sepertinya sudah keluar semua melewati jendela mobil, makanya dia berhenti mengomel.
Aku hanya diam, dengan tetap asyik menikmati keripik kentang rasa baberque milik Yura. Gurih, asin, sedikit manis dan aroma khas sapi bakarnya itu, loh, bikin lidah ketagihan untuk terus-terusan menikmatinya. Kunyahannya membawaku ke sebuah lamunan tentang aku di dua tahun tujuh bulan yang lalu.
Bajuku dulu tak begini, tapi kini tak cukup lagi. Eits, bacanya jangan sambil nyanyi, ya.
Iya, dulu, tuh, aku tak segendut ini. Orang-orang bilang body-ku sebelas duabelas sama Pevita Pearce, anggunnya tak jauh beda sama Velove Vexia, atau Manohara Odelia Pinot. Hidupku makin sempurna dengan hadirnya kekasih tampan bernama Rey. Pria yang berprofesi sebagai barista dan DJ radio, juga seorang model busana pria. Kami menjalin kasih selama tiga tahun lebih. Hari-hariku sangat bahagia selama itu, sebelum pria itu memutuskan hubungan kami secara sepihak.
Aku masih ingat hari itu. Siang hari, Rey menjemputku untuk makan siang bersama dengan membawa mobilnya. Kami makan siang di restoran favorit, saling menikmati pilihan menu masing-masing sambil sesekali melempar canda. Namun, semua berakhir saat petaka itu datang, saat tak sengaja aku mengupil, lalu dengan tak sadar menempelkan upilku di bawah meja. Semuanya disaksikan mata Rey, membuatnya tiba-tiba meletakkan pisau dan sendok makannya. Dentingan kedua benda itu seperti petir di siang hari bagiku, karena pria itu melakukannya dengan kedua mata yang menatapku tajam. Potongan-potongan daging sapi di piringnya yang tak jadi masuk mulutnya saat itu, menjadi saksi Rey yang berang, kemudian berkata, “Kita putus!”
Aku patah hati. Setiap hari menangisi kepergian pria manis nan romantis itu. Waktu-waktu yang tak lagi diisi dengan membalas pesannya atau mengobrol lewat telepon dengannya, diganti dengan potongan kentang goreng, roti sobek, es krim, popcorn, cokelat, kacang mede, dan berbagai manisan buah yang rajin masuk mulutku. Lama kelamaan, berat badanku semakin bertambah. Terakhir, tiga hari lalu saat aku menimbang badan, angkanya sudah sampai 92 kilogram. Ya, ya, ya, mungkin karena inilah aku sekarang menjadi produsen karbondioksida paling produktif, karena memang hobiku adalah menggiling karbohidrat banyak-banyak. Aku sudah buang jauh-jauh soal pria, sudah tak mudah lagi jatuh cinta. Untungnya, dua tahun ini aku menemukan keseruan baru: menulis fiksi. Yang akhirnya mempertemukanku dengan mereka bertiga di sebuah grup kepenulisan. Kemudian, hari ini untuk pertama kali, kami ketemuan di statiun kota.
Oke, aku rasa cukup segitu saja tentang diriku. Kalau ingin mengenal aku lebih jauh, kalian bisa ikuti akun Facebook-ku: Vanilalatte. Karena, ada hal yang lebih penting yang harus kalian tahu, yaitu kemana sebenarnya kami akan pergi?
Tujuan kami adalah sebuah tempat yang fotonya dipasang di dekat kaca tepat di atas kemudi. Pemandangan batu karang yang menjulang tinggi, dibelah oleh derasnya air terjun yang jernih, berhiaskan warna indah pelangi. Sungguh, ini serupa surganya dunia.
“Biar selama perjalanan, semangat kita tak pernah surut. Keindahan dunia ada di depan mata kita,” kata Ken saat menempelkan foto itu di samping kaca spion dalam. Katanya, dia menemukan foto dan letak tempat itu di internet. Okelah. Kami percaya dia saja. Meski dia seorang penulis cerita-cerita fantasi dan horor, dia masih termasuk kategori gadis yang jujur dan dapat dipercayalah.
“Yah, yah, yah. Kok, ini mobil mulai kerasa aneh,” kata Ken tiba-tiba. Iya, kami bertiga–Kenang duduk di samping Ken yang mengemudi, sementara aku dan Yuri duduk di kursi belakang–juga merasakan si Pinky ini mulai tersendat-sendat jalannya. Lalu tak berselang lama, dia benar-mati berhenti, mesinnya tak mau dihidupkan lagi sama sekali.
***
“Gimana, Ken? Udah ada respon belum dari bengkel?” Setelah kuberikan nomor telepon bengkel, urusan menghubungi montir berpindah ke tangan Ken. Habisnya aku hubungin, mereka tak nyaut-nyaut. Membuat Ken mulai sedikit terlihat gelisah. Orang absurd ini ternyata tidak secuek yang aku kira.
Dia mengangguk, “Lagi di jalan katanya.”
“Oke.”
Sementara Yura dan Kenang duduk menepi di dekat rerumputan. Kenang tampak asyik dengan ponselnya, sedangkan Yura sibuk meniup kuku-kukunya yang catnya masih basah. Gadis itu masih kesal kepadaku karena habis sengaja kusenggol saat dia sedang mengecet satu per satu kuku-kuku cantiknya.
“Eh, itu datang.” Kenang bersuara, sambil bangkit, dan menunjuk ke sebuah mobil yang datang dan berhenti tepat di belakang si Pinky.
Seseorang lalu keluar dari pintu mobil. Seseorang yang membuatku melotot, dan hampir saja jantungku melompat saat melihatnya berjalan sambil menenteng box peralatan montir sambil tersenyum tipis. Rey. Kenapa dia yang datang? Yang aku hubungi kan bengkel langgananku. Apa hubungannya sama dia?
“Wow, tampan sekali,” celetuk Kenang dengan mulut sedikit terbuka. Gadis sekalem dia saja sampai begitu. Pesona Rey memang tak bisa diragukan.
“Dia artis, ya? Kok mau jadi montir, sih. Ih, beruntung banget kalau aku bisa dapat nomor teleponnya nanti.” Giliran Yura yang bicara.
Sementara Ken sibuk menunjukkan bagian si Pinky yang mana yang sepertinya bermasalah kepada pria itu. Dengan cekatan, Rey mulai menjalankan tugasnya sebagai montir panggilan. Dia bergaya seperti montir profesional, membungkukan badannya ke mesin si Pinky. Kemudian bunyi khas alat-alat montir terdengar jelas dari tempatku berdiri. Aku jadi penasaran, sejak kapan dia selihai itu memperbaiki mesin mobil?
“Selesai,” katanya, setelah berdiri tegap lagi. Tangannya terlihat belepotan oli.
Ken menyalakan mesin si Pinky, dan langsung nyala. Dia lekas mengucapkan terima kasih, dan bilang bahwa ongkos perbaikan mobilnya sudah dia tranfer ke rekening bengkel. Rey mengangguk, lekas membereskan kembali peralatan montirnya, lalu berjalan menjauhi si Pinky. Kupikir dia akan segera pergi, tapi ternyata aku salah. Jantungku dibuat berdebar hebat, karena sekarang dia berjalan semakin mendekatiku.
Ish, mau apa dia?
Selangkah. Iya, jarak pria itu denganku hanya selangkah saat ini. Membuatku semakin tak keruan, rasanya seperti mau pingsan. Apalagi tepat sekarang ini, dia tersenyum manis, lalu berkata, “Hai, Cantik. Apa kabar?”
Eh, apa ini? Apa dia mau minta balikan sekarang?
Kalau iya, lebih baik aku tetap ikut Ken dan teman-teman melanjutkan perjalanan, atau ikut pulang dengan Rey saja, ya? (*)
Evamuzy. Gadis penyuka warna cokelat muda.