Traveling Ala-Ala (Bagian 3)
Oleh : Ika Mulyani
Beruntung mobil berwarna centil ini mogok.
Aku memang selalu berusaha melihat sisi positif dari segala sesuatu, meskipun dalam beberapa hal, Ibu tidak setuju dengan pandanganku. Misalnya saat aku memperlihatkan transkip nilai semester ketigaku minggu lalu.
“Ini kenapa ada nilai D nyempil? Berarti harus ngulang, dong?” protes Ibu dengan suaranya yang khas, melengking.
Aku mendapat hadiah jitakan saat kukatakan, bahwa aku beruntung bila harus mengulang. “Aku jadi bisa ketemu Pak Nugie lagi. Seminggu dua kali pula. Dia ganteng banget, Bu!”
Ya, mau bagaimana lagi? Mata kuliah yang satu itu memang susah banget buatku. Itu satu-satunya sisi positif yang bisa kupikirkan, hingga aku punya semangat untuk mengulang tahun depan.
Beruntung mobil VW kodok merah jambu ini mogok.
Hampir satu jam berlalu, montir yang dihubungi Ken belum juga tiba. Ketiga gadis teman seperjalananku—Ken, Yura, dan Vanila—terlihat gelisah, terlebih gadis yang kusebut terakhir. Perempuan yang ternyata hobi makan itu, berkali-kali melirik ransel dalam pelukan Yura. Pemilik ransel berisi berbagai makanan ringan itu memutuskan untuk menyelamatkan sisa ransum dari “serangan” Vanila yang lumayan ganas.
Beruntung mesin kendaraan yang membawa kami melancong ini tiba-tiba berhenti.
Karenanya, aku bisa keluar dari mobil, dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Polusi udara yang berasal dari bokong Vanila sepanjang perjalanan tadi sudah sampai pada puncaknya bagi indra penciumanku. Sungguh membuat kepala pening, karena harus berulang kali menutup hidung.
Sebenarnya, di rumah, aku sudah terbiasa mendengar suara “merdu” yang mengiringi keluarnya gas dari ujung saluran pencernaan seseorang. Ayah dan adik lelakiku pelakunya. Keduanya tidak pernah segan untuk mengeluarkan gas beracun itu dari dalam perut mereka. Namun, ibarat pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”, “konser bokong” mereka yang nyaring, jarang sekali menimbulkan bau.
Akan tetapi, gas yang dikeluarkan Vanila ini lain sama sekali. Ia menguar dalam diam, menebar bau yang sangat menyengat. Ugh!
Sepanjang perjalanan, setiap Vanila “beraksi”, Yura dan Ken berseru jengkel, sementara si pelaku hanya tertawa cengengesan. Aku, hanya tersenyum dan tak banyak berkomentar.
Oleh karenanya sungguh sebuah karunia buatku ketika si Merah Jambu terbatuk-batuk dan akhirnya berhenti menderu.
“Duh, kenapa, nih? Kok berhenti?” Yura memekik. “Ini beneran udah diisi bensinnya belum, sih, Ken?” serunya pada si Tomboi yang nangkring dengan santai di atas si Merah Jambu.
Jarum penunjuk isi tanki bahan bakar memang rusak katanya.
“Marieta bilang udah isi full tank.” Ken menyebut nama si pemilik mobil seraya meloncat turun.
“Bohong, kali, dia.” Yura menyahut, jengkel.
Ken lalu menghubungi montir dan menyebutkan lokasi tempat kami terpaksa berhenti.
Tempat yang indah sesungguhnya. Sawah terhampar menguning, siap dipanen. Orang-orangan sawah bergerak-gerak tertiup angin, membuat burung yang hinggap kembali terbang menjauh.
“Kenang, kita sebenarnya mau ke mana, sih?” Vanila yang tiba-tiba ada di sampingku bertanya seraya ikut duduk berselonjor.
Aku hanya mengangkat bahu, sama tidak tahunya. Kemarin Ken hanya berkata, “Pokoknya pasti asyik, deh! Aku jamin kalian bakal suka.”
“Perutmu udah enakan, Van?”
Seperempat jam terakhir, tidak tercium lagi bau menyengat darinya.
Vanila mengangguk sambil tersipu. “Maaf, ya.”
“Bukan salahmu juga,” sahutku tersenyum. “Mungkin lain kali harus periksa ke dokter.”
Vanila tercenung, lalu bertanya pelan seraya meringis. “Emang, kayak gitu, tuh, penyakit, ya?”
Aku terkekeh. “Siapa tahu, ada yang enggak beres di perutmu yang ….”
“Gendut.” Vanila menyelesaikan ucapanku, membuat kami tertawa.
“Tapi bersyukurah, Van, buang gasmu lancar. Ada, lho, orang yang harus dioperasi gara-gara enggak bisa kentut.”
“Iya, sih. Cuma, suka enggak tahu tempat dia. Main keluar aja sembarangan.”
“Enggak punya perasaan soalnya dia, Van. Yang penting bisa keluar dan bebaass!” Aku tertawa geli, Vanila juga.
“Ngomong-ngomong soal perasaan, gimana kabar si Mr. X itu, Van?”
Vanila langsung berhenti tertawa. Wajahnya mendadak murung. “Ke laut aja, deh, dia!” desisnya seraya memungut sebutir kerikil dan melemparkannya ke tengah sawah. Seekor burung terbang terbirit-birit karenanya.
Aku diam, menunggu. Namun, tidak kunjung ada penjelasan lebih lanjut. Biasanya, Vanila “cerewet” di grup WA kami berempat. Tidak jarang ia “wapri” aku untuk bercerita apa pun yang terlintas di pikirannya. Mungkin—sama sepertiku—Vanila lebih nyaman menuangkan perasaan lewat tulisan.
“Cowok di mana-mana sama aja, ya, Kenang?”
Aku menoleh dengan dahi berkerut.
“Enggak ada yang mau sama cewek … gendut kayak aku gini.”
“Ah, jangan digeneralisasi gitu, lah. Kakak sepupuku juga gendut, lebih gendut dari kamu, malah. Tapi suaminya ….”
“Ganteng? Seksi?” potong Vanila.
“Gendut juga,” sambungku terkekeh, membuat Vanila merengut.
“Tapi, waktu mereka nikah dulu, suaminya boleh dibilang kurus. Persis angka sepuluh, deh, mereka,” lanjutku. Vanila terkekeh mendengarnya. “Hm, lumayan ganteng, sih. Seksi? Apa, sih, sebenarnya definisi seksi itu? Tiap orang beda-beda, lho, penilaiannya.”
Vanila terdiam.
“Buktinya, suami kakak sepupuku itu sukanya sama yang gemuk. Dan sekarang, dia jadi ikutan gendut.” Aku berkata sambil merangkul bahunya.
Tiba-tiba terdengar suara klakson. Tampak sebuah minivan hitam menepi beberapa meter di belakang si Merah Jambu.
“Montirnya udah dateng!” seru Vanila sambil bangkit.
Aku ikut bangkit dan menepuk-nepuk bagian belakang bajuku.
Sebentuk wajah … tampan, muncul dari jendela depan van itu dan berseru, “Mobilnya kenapa?”
Kami berempat serentak menoleh.
Aku membatin, Kok, montir pake nanya begitu? Mestinya dia turun terus langsung cek mesinnya, ‘kan?
Lelaki itu lalu keluar dari mobilnya, disusul oleh … tiga pria lain. Salah satu dari mereka berbadan subur seperti Vanila, mata bulatnya memperhatikan gadis itu dengan intens. Vanila sepertinya menyadari hal itu, semburat merah menjalar di pipi putihnya yang tembam.
Bersambung ….
Bagian Sebelumnya: Traveling Ala-Ala (Bagian 2)
Ciawi, 30 September 2020.
Ika Mulyani, emak dua anak, penyuka bubur kacang hijau madura yang menyenangi matematika.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata