Traveling Ala-Ala (Bagian 2)

Traveling Ala-Ala (Bagian 2)

Traveling Ala-Ala (Bagian 2)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro

Pesan masuk dari teman yang kukenal di grup kepenulisan online ini membuat jemariku sibuk membalasnya satu per satu. Padahal, saat ini aku sedang berada di salon untuk mengganti warna rambut kesayangan.

Ken, salah satu dari anggota grup tersebut merencanakan sesuatu yang tentu saja sangat membuatku antusias. Liburan bersama. Ken benar-benar sudah merencanakan semua dengan matang. Mulai dari pemilihan tempat, sampai aktivitas yang akan kami lakukan selama liburan.

Perjalanan ini memang menyenangkan. Namun, satu hal yang sangat tidak aku suka. Vanila, gadis gendut itu selalu buang gas sembarangan. Rasanya, udara yang ada pada seisi mobil ini hanyalah angin berbau busuk. Selain itu, makanan yang sengaja kubawa untuk persediaan selama liburan berlangsung terus dilahap olehnya.

“Ra, bagi makanan, dong!” Vanila berseru.

Gadis gendut itu mengambil beberapa snack dari dalam tote bag yang kubawa. Padahal, aku sama sekali belum mengizinkannya untuk menyentuh makanan itu.

“Sudah dong, Van, dari tadi makan terus,” ujar Kenanga akhirnya buka bicara.

“Aku lapar,” balas Vanila sembari melontarkan senyum.

“Kamu sudah menghabiskan makanan aku. Sekarang, makanan Yura pun kamu makan?”

“Makanan itu untuk dimakan. Jadi, apa salahnya?”

Dasar Vanila!

Aku menatap Vanila lewat kaca berukuran sedang. Tanpa menjawab celotehan mereka, aku mengambil brush make up berwarna biru muda. Kupoleskan sedikit bedak padat agar kecantikanku tidak memudar. Setelah itu, tidak lupa mengoleskan lipstik. Aku tersenyum simpul.

“Aku memang cantik,” ujarku memuji diri sendiri.

“Kamu memang cantik, Yura. Tidak seperti—”

“Jangan bilang tidak sepertiku, ya! Gini-gini aku jadi primadona di desa, loh!” Vanila memotong pembicaraan Ken dengan cepat. Gadis gendut itu seolah mengetahui perkataan yang akan Ken ucapkan.

“Sudahlah, bosan sekali aku. Dari tadi hanya melihat aspal jalanan saja. Ditambah, kalian selalu … ah! Pasti kamu kentut lagi!” Perkataan Ken terpotong ketika bau busuk itu mulai tercium.

Vanila tersenyum sembari memamerkan deretan giginya. Ia berkata, “Aku sudah nggak tahan.”

“Bau sekali, Van! Kamu terlalu banyak makan.”

Oh, Tuhan!

Kali ini, aroma busuk dari gas yang Vanila keluarkan itu benar-benar membuatku mual. Rasanya, aku ingin memuntahkan semua isi perutku saat ini. Namun, aku sadar jika aku melakukan hal tersebut, make up yang kugunakan saat ini akan berantakan. Aku tidak ingin hal itu terjadi.

“Kodok ini mogok!” seru Kenanga. Laju mobil perlahan mulai lambat.

Perkataan Kenanga benar. Ini kesempatan bagiku untuk menghirup udara segar. Entah sudah berapa kali Vanila membuang udara busuk di dalam mobil.

“Akhirnya ….” Aku menghela napas lega.

“Kamu senang mobil kodok ini mogok?” tanya Vanila. Si gedut itu kembali mengunyah snack milikku.

“Aku senang karena bisa kembali bernapas! Bau kentutmu itu sangat busuk, Vanila. Kebanyakan makan, sih.”

“Ya sudah, nikmati saja aroma kentutku. Aku masih lapar,” ujar Vanila diiringi tawa.

Si gendut itu benar-benar tidak mempunyai rasa malu. Padahal, selama aku mengenalnya di grup kepenulisan, ia tidak se-absurd ini.

Ah, untuk apa aku mengurusi Vanila? Lebih baik aku memanjakan diri sembari menunggu montir membenarkan mobil kodok sialan ini. Segera kuambil kutek berwarna merah muda. Warna yang kupilih sangat cocok dan terlihat manis.

“Aduh!”

“Vanila! Tangan aku kecoret!”

Lagi-lagi Vanila berulah. Tubuh gempalnya menyenggolku. Padahal, aku berdiri di belakang mobil, menyender untuk menjaga keseimbangan agar kutek mahal ini dapat digunakan dengan rapi.

“Aku nggak sengaja,” ujar Vanila.

Dengan santainya perempuan itu menyeruput susu kotak. Menyebalkan!

“Van, kamu yang bener, dong. Kutek Yura itu harganya mahal. Iya, kan, Ra?” tanya Kengana padaku.

“Bener itu. Mahal tau!”

“Dari pada beli kutek mahal, mending beli makanan. Abis itu, kasih aku aja.”

“Makanan terus yang kamu pikirin. Sudah telepon montir belum?”

“Sudah.” Vanila membalas singkat. Ia bersendawa dengan kencang sembari menunjukan ekspresi yang sangat menjengkelkan.

Selain kentut, sendawa Vanila juga beraroma busuk!

“Mending kamu tunggu di depan mobil aja deh, Van. Sambil nunggu montir itu datang.”

Vanila mengangguk, ia segera berjalan menuju depan mobil kodok sembari berjaga-jaga, barangkali montir itu datang, Vanila bisa berteriak sembari melambaikan tangan. Namun, tidak tinggal diam, Vanila mengambil roti sobek miliknya, kemudian mengunyah dengan lahap. Entah kapan gadis itu dapat berhenti mengunyah.

Sinar mentari membuat rambut baruku mulai lepek dan rusak. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku segera mengambil kipas berukuran sedang, berusaha mebuat rasa panas ini sedikit mereda. Apalagi, jalanan di sini tidak ada pohon. Bisa-bisa, aku harus melakukan perawatan rambut lagi setelah pulang dari liburan ini.

“Astaga! Make up aku luntur!” seruku ketika melihat make up yang kukenakan sedikit pecah dan dipenuhi dengan keringat.

“Kenapa, Ra?”

“Liat dong, ini! Make up aku luntur. Ini nggak bisa dibiarin.” Aku segera mengambil pouch make up yang berada di dalam mobil.

Jika make up ini pecah, kecantikanku akan berkurang. Sia-sia usaha aku memakai make up ini selama lebih dari satu jam. Untung saja, aku tidak terlambat menyadarinya. Segera kupakaikan bedak kembali. Tidak lupa, bulu mata yang kugunakan ini pun harus tetap stay dan cetar. Tidak boleh turun sebelah.

“Ra, dari tadi make up kamu gitu-gitu aja, kok. Nggak ada yang luntur,” ujar Ken dari atas mobil.

“Kamu mana ngerti, Ken. Lihat ini, bagian hidung aku mulai keluar banyak keringat.”

“Rambut kamu, tuh, kayanya udah mulai lepek, Ra. Kamu mau tunggu di dalam mobil?”

“Aku ikut!” seru Vanila menimpali.

Aku menggeleng cepat, tidak bisa membayangkan jika duduk berdua dengan Vanila di dalam mobil, gadis gendut itu pasti akan mengeluarkan gas sembarangan lagi.

“Ah, Vanila! Kamu kentut lagi?” tanya Ken dari atas mobil.

Udara busuk kembali menusuk hidung, dasar tukang kentut!

Belum selesai aku membayangkan duduk berdua bersama Vanila, aroma busuk itu justru keluar begitu saja. Lebih memabukan dari perjalanan yang panjang ini. Vanila yang kalem ternyata tidak seperti yang kubayangkan.

“Nggak terlalu bau, kan?” tanya Vanila sembari mengunyah kembali roti sobeknya.

“Vanila!”

Bersambung …

Bagian Sebelumnya: Traveling Ala-Ala

Bagian Selanjutnya: Traveling Ala-Ala (Bagian 3)

 

Zalfa Jaudah Jahro. Lahir di Karawang, pada 03 Oktober. Si penyuka awan dan dia.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply