Traveling Ala–Ala
Oleh: Erlyna
PROLOG
Vanila_Latte: Apa kabar weekend kalian?
T_StrangeGirl: Membosankan.
Yura_Cute: Aku lagi di salon, dongs!
Vanila_Latte: Ngapain? Pedi meni?
Yura_Cute: Ish! Ganti warna rambut. Bosan warna hitam.
Vanila_Latte: Hooo! Aku habis belanja, kebetulan sedang ada diskon besar-besaran.
Kenang_a: Belanja apa? Celana dalam lagi?
Vanila_Latte: Plis! Yang sopan, ya, sama cewek.
Kenang_a: Aku juga cewek, woi!
Vanila_Latte: Ya, udah, sih.
Kenang_a: Apa? Apa?
Yura_Cute: Mulai, deh ….
T_StrangeGirl: Kalian kenapa, sih?
T_StrangeGirl: Kekanak-kanakan!
T_StrangeGirl: Tapi, BTW, minggu depan long weekend, ya?
Vanila_Latte: Yuhu ….
Kenang_a: Masa? Cek kalender, ah.
Yura_Cute: Terus kenapa?
T_StrangeGirl: Kita liburan bareng, yuk!
Vanila_Latte: What???
Yura_Cute: Hah?
Kenang_a: Serius?
T_StrangeGirl: Serius, dong. Aku sudah pilih tempat yang dijamin seru abis.
Vanila_Latte: ….
Yura_Cute: Boleh, nih. Lama gak liburan.
Kenang_a: Wah!
T_StrangeGirl: Sebentar, nanti aku kirim fotonya.
Kenang_a: Bagaimana detailnya?
T_StrangeGirl: Begini ….
***
BAGIAN 1
Hari Trial and Error.
Aku masih bergeming di kap mobil Vw Kodok warna merah muda yang norak ini. Sejauh mata memandang, hanya terlihat bentangan aspal yang memanjang dan berkilauan diterpa matahari.
Ini sungguh hari yang sial. Entah kutukan apa yang menyertai mobil aneh ini hingga mogok di tengah jalanan sepi seperti ini. Ya! Benar-benar tepat di tengah jalan. Sepertinya Marieta—sepupu pemilik asli mobil ini, meminjamkannya padaku dengan setengah hati.
Aku mengalihkan pandangan ke layar ponsel yang menunjukkan peta perjalanan yang harus ditempuh. Masih sekitar satu jam lagi. Sementara montir panggilan yang sejak tadi dihubungi tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
“Oi, Van, coba telepon lagi.”
Aku menatap gadis gendut yang berdiri sambil mengunyah roti sobeknya. Demi Neptunus, sampai sekarang aku masih tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Vanila, gadis kalem dan cantik yang selama ini aku kenal tiba-tiba berubah menjadi gentong air dengan baju hijau ketat dan sibuk mengunyah makanan. Dia jauh lebih mirip kodok dibanding mobil ini.
“Sudah … tetap gak bisa ….”
Terdengar suara Vanila yang menyahut dengan mulut penuh makanan.
Aku bergidik sambil memasang wajah datar. Asli, kalau ini mimpi, aku rela diguyur dengan air es supaya lekas bangun.
“Ken!”
Aku menoleh, menatap Kenanga. Satu-satunya orang yang terlihat tetap santai dan paling bisa menikmati suasana.
“Why?”
“Aku sudah pesan makanan.”
“Woh!” seruku sambil bersorak.
“Ada makanan lagi?” tanya Vanila tiba-tiba.
“Van, plis, deh ….”
Yura yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Gadis berambut panjang itu terlihat paling gelisah. Kedua tangannya sejak tadi terus bergerak, melindungi wajah dan rambut barunya secara bergantian.
“Ra, kalau panas masuk aja ke dalam,” celetuk Vanila sambil jongkok.
Sial! Si gendut itu pasti kentut lagi. Sejak berangkat tadi, sudah tidak terhitung berapa puluh kali dia buang gas sembarangan. Dikiranya yang lain menghirup karbon dioksida, apa?
“Iya, masuk aja, Ra. Biar kupanggang sekalian. Nanti tinggal nambahin kecap dan sambal,” seruku asal-asalan yang langsung dibalas cubitan dari Yura.
“Apa-apaan, sih, Ken!”
Aku melirik ke arah Vanila yang masih saja jongkok sambil memegangi perutnya. Kenapa lagi dia?
“Tolong ….”
“Kenapa, Van?” tanya Kenanga dengan wajah panik. Didekatinya Vanila yang meringis kesakitan.
Aku sontak meloncat turun dari mobil dan berjalan ke semak-semak, mencari sesuatu.
“Nih! Pegang ini,” ujarku sambil menyerahkan sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Apa ini, Ken?”
“Roti,” jawabku sambil menatap kesal. “Ini batu, woi! Sudah jelas juga.”
“Maksudku buat apa?”
“Udah pegang aja, siapa tahu berguna.”
“Berguna buat apa?”
“Gak tahu,” jawabku asal sambil kembali naik ke kap mobil.
“Oh, konon katanya batu bisa mengurangi mulas akibat kebelet be a be, Van,” ucap Kenanga sambil mengangguk-angguk seraya menepuk pundak Vanila.
“Ha?” Vanila melongo kaget.
“Iya. Menurut kepercayaan orang dulu, sih, begitu,” timpal Yura pelan. Gadis itu mulai kelelahan. Padahal sejak tadi dia hanya diam di tempat.
“Tapi kenapa batunya besar sekali?” tanya Vanila masih bingung.
“Biar jinnya kabur,” jawabku asal.
“Hah? Jin apa, Ken?”
“Jin penunggu WC umum.”
“Ken!!!”
Aku sontak menutup telinga dengan headset, mengabaikan kepanikan-kepanikan teman-teman konyol yang mulanya bertemu di grup menulis online. Aku tidak pernah menyangka akhirnya bisa bertemu langsung dengan mereka. Setelah sekian lama hanya saling sapa lewat chat dan berbagi foto-foto keseharian.
Aku yang selama ini lebih suka menyendiri, entah mendapat keberanian dari mana mengajak mereka bertemu langsung dan melakukan liburan bersama. Benar-benar bukan diriku yang biasanya.
Tiba-tiba sebuah alarm pengingat mengagetkanku yang sedang asyik menikmati musik. Bersamaan itu pula, sebuah potret pemandangan pantai dengan pasir putih terpampang jelas di layar ponselku. Ya! Pantai pasir putih itu adalah tujuan liburan kami kali ini.
Semalam, aku bahkan bela-belain melakukan hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan– bersujud di hadapan Ibu, hingga lantai keramik rumah terlihat mengilap terkena minyak di wajahku demi mendapatkan izin.
“Mau ke mana kamu?”
“Liburan.”
“Naik apa?”
“Kodok.”
Jawaban asal yang langsung mendapat tamparan keras di pipi kanan.
“Yang sopan kalau bicara sama orang tua.”
“Mobil kodok, maksudnya ….”
“Punya Mari?”
“Hu um.”
“Sama siapa?”
“Geng.”
Melihat tangan Ibu yang sudah terangkat lagi, aku buru-buru menjelaskan bahwa geng yang aku maksud adalah anggota grup chat.
Wanita yang kesehariannya selalu terlihat dengan balutan daster macan itu akhirnya memberiku izin setelah aku berjanji akan membelikannya daster macan baru.
Tiba-tiba angin berembus kencang, disertai aroma tidak sedap yang menusuk hidung.
Aku sontak membuka mata dan menatap ketiga teman-temanku.
“Bau apa ini?”
Bersambung ….
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata