Tragedi Kelas Malam
Oleh: Yuliawanti Dewi
18.00 WIB
Aku tidak habis pikir, Sayuri-sensei tiba-tiba saja mengumumkan bahwa kelas tambahan untuk hari ini dipindahkan ke kelas malam. Astaga! Seharusnya ini mustahil. Kami bukan mahasiswa yang membutuhkan kelas malam. Kami masih SMA tingkat tiga. Yeah, meskipun benar siswa tingkat tiga seperti kami membutuhkan kelas tambahan untuk persiapan ujian, tetapi bukankah berlebihan jika di pindah ke malam hari?
“Malam itu seharusnya aku bisa tidur dengan nyenyak!” umpatku sambil berjalan di koridor menuju kelas.
“Hahaha. Apa boleh buat, Sayuri-sensei yang menginginkannya,” balas Sachie tertawa ringan.
Argh! Aku bisa gila dengan semua ini. Otakku tak akan mampu menampung banyak pelajaran. Apalagi sekarang pelajarannya guru killer itu, matematika.
Aku bisa mati di kelas!
19.00 WIB
Seorang guru wanita dengan mata empatnya memasuki kelas. Suasana hening seketika. Tak ada seorang pun yang berani berkata. Guru wanita itu yang tiada lain adalah Sayuri-sensei mulai berbicara dengan nada dingin. Ia menyuruh seluruh siswa untuk membuka bukunya dan memperhatikan penjelasan yang ia utarakan di depan kelas.
Kami, para siswa hanya memandang ke depan. Sesekali menulis rumus sebagaimana yang ia tulis di papan tulis. Hampir sejam ia menjelaskan secara singkat, padat, dan tidak terlalu jelas (menurutku). Entah konsentrasiku yang menurun jika malam hari, aku tidak terlalu menangkap apa yang ia jelaskan. Ah, iya. Konsentrasiku begitu terganggu oleh sesuatu yang membuatku merinding. Entah apa itu, aku mencoba mengabaikannya.
“Selagi Ibu mengabsen, harap kerjakan soal di papan tulis itu,” perintahnya datar
Kami tak banyak cakap. Langsung kami menulis soal yang ada di depan. Aku juga melakukan hal demikian. Tak peduli aku bisa mengerjakannya atau tidak, yang penting menulis dulu. Itu prinsipku.
“Siera?”
Ah, aku dipanggil!
“Ha—hadir,”
“Nana?”
“Hadir.”
…
“Yumna?”
“Hadir.”
Sensei menutup buku absen. Kemudian melihat kami satu per satu.
“Lalu ke mana Sachie dan Lily?”
Sachie? Bukannya dia ada? Tadi ‘kan dia berangkat bersamaku?
Aku menengok kearah bangku Sachie yang berada di samping kanan belakangku. Benar. Dia tidak ada. Ke mana mereka?
Firasatku mengatakan hal buruk. Jangan-jangan sesuatu terjadi kepada mereka.
“Mungkin pergi ke toilet, sensei,” tiba-tiba Nana angkat bicara.
Sensei mengangguk tanda mengerti. Benar juga, aku juga berfikir seperti itu. Tetapi, masih saja ada yang janggal. Ah, sudahlah. Lebih baik kerjakan soal ini sebelum Sayuri-sensei murka.
20.30 WIB
Akhirnya, aku bisa mengerjakan ketiga soal ini dengan mudah. Iya mudah, sebab aku hanya mengerjakannya tanpa berpikir alias asal-asalan sadja. Haha!
Aku menutup buku tugasku dan menarik nafas dalam-dalam.
Ehm …
Rasanya …
Eh? Apa ini?
Hidungku mencium sesuatu yang tidak beres. Bau ini … ini bau amis! Seperti bau amis darah. Tetapi, darah siapa?
Pandanganku menyebar di seluruh ruangan. Tak ada yang mencurigakan. Sampai mataku terpaku kepada dinding di pojok kanan itu. Tepat di mana Sachie duduk. Aku melihat darah merah yang masih segar merembes di tembok berwarna putih itu. Perlahan namun pasti. Sampai rembesan itu menebal dan mengalir banyak darah di sana.
Aku tidak percaya. Mungkin ini hanya sugestiku yang mencium bau amis. Aku mengucek mata dan menutupnya berulang kali. Tetapi, aliran darah di sana tidak menghilang. Malah semakin besar dan nampak dengan jelas.
“Arrghhh!” aku berteriak sekencang mungkin. Seluruh mata melihat kearahku. Aku tidak tahu, tidak tahu apa mereka melihat pemandangan yang sama denganku atau tidak. Yang pasti tanganku langsung menunjuk kearah darah yang terus mengalir dan tiba-tiba suasana berubah menjadi mencekam.
Beberapa siswi menjerit dan berusaha untuk keluar ruangan. Namun, pintu kelas terkunci tiba-tiba. Siapa yang melakukannya? Bahkan Sayuri-sensei pun tidak mengetahui.
“Anak-anak tenanglah! Kembali ke tempat duduk masing-masing!”
Namun suara dari Sayuri-sensei tidak menimbulkan efek berarti bagi mereka. Suaranya seakan tenggelam oleh teriakan ketakutan mereka. Aku yang tak mampu melakukan apa-apa hanya menutup kupingku sambil tak lepas menatap darah yang terus mengalir di tembok itu.
Sa-Sachie … Apa yang terjadi?
Entah kekuatan apa yang membuat kakiku berjalan menuju kearah tembok tersebut. Aku diam terpaku disana. Menatap aliran darah yang tak mau berhenti.
Mungkinkah … mungkinkah Sachie ada di sini?
Praaang!!!
Kaca jendela yang berada di samping meja guru tiba-tiba pecah. Untung saja Sayuri-sensei tidak sedang duduk di sana. Jika iya, maka habislah nyawanya. Tetapi, siapa yang melakukan hal ini? Benda apa yang membuat kaca ini pecah.
Semuanya terdiam. Isak tangis sesekali terdengar jelas. Kami menunggu Sayuri-sensei mengambil tindakan. Namun ia hanya diam membisu. Tangannya terlihat bergetar. Apakah ia ketakutan seperti kami?
Perlahan. Benda yang membuat kaca kelas ini pecah menggelinding dari balik meja guru. Benda bulat seperti memiliki bulu panjang berwarna hitam itu menggelinding ke arah Sayuri-sensei. Ia berhenti saat menyentuh ujung sepatu Sayuri-sensei. Dan apakah kau tahu itu apa?
Benda bulat itu terdiam. Bulu panjang berwarna hitam itu adalah rambut. Sepasang mata melotot dengan mulut terbuka. Mata itu menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Sementara wajah itu …
Ke—kepala … Lily …
Aaaaargh!
Semuanya berlari menjauh dari kepala Lily itu. Bahkan sebagian dari kami ada yang nekat melompat dari kaca jendela dan berakhir tragis dibawah. Dikarenakan ini merupakan lantai lima gedung sekolah. Sementara di bawah sana ada beberapa tanaman yang memiliki duri tajam.
Aku bersama Sayuri-sensei masih diam terpaku. Tak percaya dengan apa yang terjadi. Semuanya berlalu terlalu cepat. Kini jumlah kami yang masih bertahan hanya sepuluh orang. Kami tidak tahu siapa yang melakukan hal keji ini. Yang pasti, aku harus segera menemukan siapa pelakunya sebelum korban bertambah banyak.
“Fu fu fu, menarik sekali,” seorang gadis bersurai pirang berjalan kearah tembok berdarah. Ia mengusap darah itu dengan telunjuk kanannya kemudian menjilatnya.
Tidak mungkin!
Gadis itu kemudian berjalan kedepan. Dengan tenang ia memungut kepala Lily dan tertawa gila di depan kami. Mata tajamnya menatap satu persatu wajah ketakutan kami. Ia menyeringai. Raut wajahnya seakan bahagia melihat kami yang ketakutan.
Gadis itu mengeluarkan sebuah pena di saku roknya. Dengan wajah tak bersalahnya, ia mencongkel kedua mata Lily dan memakannya satu sementara satunya lagi ia lemparkan dengan keras kearah perut Sayuri-sensei hingga terjatuh.
“HA HA HA HA!”
Gadis itu kembali tertawa. Mata merahnya menandakan dia bukan sosok manusia lagi. Dialah iblis!
Ctek!
Duaaar … duaar … duaaar …
A—apa?
Semua teman-temanku yang tersisa meledak seketika. Organ-organ tubuhnya berhamburan membuatku mual. Sayuri-sensei memelukku erat. Ia menutupi pandanganku dari semua itu. Kupingku masih mendengar suara tertawa iblisnya yang menggema. Gadis itu berlari kearah teman-temanku yang di bom tanpa sisa. Ia melahap organ-organ tubuh itu dengan lahap. Persis orang yang kelaparan.
Sayuri-sensei memelukku semakin erat. Aku merasakan tubuhnya yang bergetar hebat. Ia menangis. Air matanya membasahi atas kepalaku. Ia berusaha untuk melindungiku walaupun dirinya sangat ketakutan. Di sini, aku merasa bersalah kepadanya. Aku harus melakukan sesuatu. Harus!
Aku melepaskan pelukannya. Kutatap wajahnya yang basah oleh air mata. Aku tersenyum kepadanya dan mengangguk. Kemudian kualihkan pandanganku ke arahnya, gadis bersurai pirang yang sedang lahap memakan organ teman-temanku. Tanganku mengepal kuat. Aku sungguh geram. Kelakuan biadab macam apa ini! Gadis itu … lebih keji dari zombie!
Aku bangkit dari dudukku dan berdiri menghadap kearahnya. Kakiku sedikit bergetar namun aku tidak boleh runtuh di sini. Masih ada satu nyawa yang harus aku selamatkan.
“Hentikan sampai disini, Nana.”
****
18.20 WIB, Cerita Nana~
Hari ini aku akan bermain dengan orang-orang yang aku benci. Sensei itu luar biasa. Aku menyukai usulan kelas malamnya. Dengan begini rencanaku pasti berhasil. Ah, aku sudah tidak tahan untuk bersenang-senang. Ayo kita mulai, teman.
Drtt …
Pesan terkirim!
Sempurna. Sekarang tinggal keluar dan menunggunya disana. Oke, mari kita lakukan.
18.35 WIB
Oh! Dia datang!
Fu fu fu, manis sekali. Gadis itu menepati janjinya untuk datang ke sini. Aku terharu. Gadis itu mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru atap sekolah. Kurasa dia mencari diriku. Lucu sekali. Padahal aku tak jauh darinya, tetapi ia tidak bisa menemukanku. Mangsa yang lezat.
Aku sudah tidak sabar ingin memakan dirinya. Lihatlah! Tubuhnya yang berisi pasti sangat lezat. Dengan pisau cutter di tanganku ini, dia pasti akan aku lumpuhkan.
Jleb!
Aku menusuk tepat di urat lehernya. Gadis itu bereaksi dan membalikkan badannya. Aku tersenyum lebar. Sementara dirinya terlihat kaget dan ketakutan.
1 menit … 5 menit … ia ambruk tepat di hadapanku.
Menyenangkan!
Aku mulai menggoreskan pisau cutter-ku di beberapa bagian tubuhnya. Sayatannya membuat darah segar keluar dan inilah yang aku tunggu. Aku langsung menjilatinya sampai abis. Namun, darah itu semakin banyak keluar. Ah, ini tidak cukup. Aku belum puas. Ku keluarkan pisau berukuran 20 cm dari saku rokku. Aku mulai membagi tubuhnya dalam beberapa bagian. Melihat darahnya yang keluar dengan sangat deras membuatku bahagia.
Ahaha! tubuhmu luar biasa, Sachie.
Tunggu sebentar! Seseorang tengah melihat aksiku. Ini tak bisa dibiarkan. Dia harus aku cincang juga.
Aku menghentikan aksiku sesaat lalu bangkit dan mulai berjalan kearahnya. Aura ketakutan orang itu begitu terasa. Dia ketakutan melihatku. Ahahah! Salah sendiri kenapa mengintip diriku yang sedang bersenang-senang.
“Ketemu,”
Zrashh…
Tanpa memberi ia kesempatan bicara, langsung kuputuskan lehernya dengan pisau 20 sentimeterku. Tubuhnya langsung terjatuh. Sementara wajah kagetnya terlempar kearah pohon depan kelasku. Ah, sepertinya aku terlalu keras. Maafkan aku, Lily sayang.
18.55 WIB
Lima menit lagi kelas akan dimulai. Aku harus segera ke kelas. Dengan cepat aku mencincang kasar tubuh Lily sehingga menjadi beberapa bagian. Lalu kusatukan dengan tubuh Sachie dan memasukannya kedalam atap. Aku segera mengganti baju dan rok ku yang penuh darah. Dan membersihkan bekas darah di lantai atap. Setelah semua beres, aku segera pergi ke kelas. Nanti, aku akan melanjutkan permainanku. Hi hi hi.
20.30 WIB
“Aaaaa …”
Gadis itu tiba-tiba berteriak. Apa yang terjadi? Aku mengikuti arah telunjuknya dan astaga! Kenapa darah mereka bisa merembes ke tembok ini? Ya ampun, karena tergesa-gesa sepertinya aku menyimpan mereka di atap kelas ini. Baka!
Bukan hanya darah saja. Pintu kaca tiba-tiba pecah oleh sebuah benda bulat berbulu hitam panjang. Bukannya itu kepala Lily yang tersangkut di pepohonan. Kenapa dia bisa kemari? Aku melihat ke arah pohon tempat kepala itu tadi terlempar. Ternyata ada sekelompok burung yang membuat kepala ini terpantul ke arah jendela. Sial!
21.00 WIB
Baiklah, aku akan menyudahi semua ini. Sebelumnya, terima kasih kepada teman-teman yang rela terjun dari lantai ini ke arah jendela yang dibawahnya terdapat tumbuhan berduri tajam. Hihi. Kalian tidak merepotkanku, aku senang sekali.
Sekarang, tinggal mengakhiri mereka. Sepuluh orang yang masih memiliki nyawa. Tapi, tunggu dahulu. Aku mau menghancurkan delapan saja. Sebab dua makhluk itu, terlihat istimewa di mataku dan harus mati dengan cara istimewa pula.
Aku mulai mengaktifkan bom yang sebelumnya aku pasang di baju orang-orang terdekatku untuk mengantisipasi bila bahaya datang menyergapku. Kuaktifkan bomnya dan … Duaar! Mereka hancur lebur hanya tersisa organ tubuhnya yang lezat. Aku segera kesana dan memakan semua organ tubuh itu. Ugh! Lezat sekali!
Sedang asyik-asyiknya aku makan, seseorang tiba-tiba berkata yang membuat nafsu makanku menghilang.
*******
“Hentikan sampai di sini, Nana,” seruku berusaha tak gentar.
Nana menghentikan aktivitasnya dan melihat kearahku. Mulutnya penuh dengan darah dan organ dalam teman-temanku. Menjijikan!
Nana tersenyum licik. Ia bangkit dan berjalan ke arahku.
“Tunggu! Nana, apa yang kau lakukan! Kau …”
Duaaar …
Sa-sayuri sensei!
“Cih! Pengganggu meledak saja!”
Aku masih terkejut melihat pemandangan di depanku. Secepat kilat tubuh Sayuri-sensei meledak dan hanya menyisakkan organ dalamnya saja.
Aku … aku tak menyangka. Iblis apa yang merasuki diri Nana sehingga ia tega melakukan semua ini!
“Nana, kenapa kau melakukan ini semua?” teriakku dengan geram.
Nana menyeringai,”Karena aku suka darah manusia.”
Aku terkesiap. Dia benar-benar psikopat!
Aku ingin melumpuhkannya tetapi bagaimana?
“Siera, mari bermain denganku. Lihatlah aku membuat pisau cutter yang lucu.”
Itu dia!
Aku tersenyum simpul. Kemudian berjalan tenang ke arahnya.
“Ayo kita bermain, Nana.”
Secepat kilat aku mengambil pisau 20 cm yang ada di dalam sakunya dan langsung menancapkannya ke bagian perut Nana.
Berhasil! Apa dia mati?
Nana terkejut dengan apa yang aku lakukan. Ia tersenyum bahagia.
“Akhirnya kau memulainya juga. Kau sangat cantik,”
A—apa maksudnya?
Nana melepaskan pisau yang ada dalam perutnya kemudian melemparkannya sembarang. Ia terus menatapku dengan dingin.
“Siera, kita adalah sama. Jangan khawatir, kita akan pergi bersama menyusul mereka.”
Aku masih belum mengerti dengan apa yang Nana ucapkan. Sampai ia tiba-tiba memelukku dan berbisik sesuatu.
“Mari kita pergi, Dik.”
Lalu terdengar ledakan dan aku tidak mengingat apa pun lagi.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita