Tragedi Berdarah
Oleh : Ina Agustin
Saat mentari tepat berada di atas kepala, saat itu pula Farhan mengajar online via sebuah aplikasi di teras rumahnya. Farhan merasa, belajar seperti itu kurang efektif dan hasilnya tidak memuaskan. Namun, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menaati aturan pemerintah.
Sementara itu, Rania, istri Farhan, berada di dalam rumah, menemani tidur anak bungsunya. Kedua anaknya yang lain tengah bermain sepeda di lapangan tak jauh dari rumah. Baru saja beberapa menit mata mereka terpejam, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan teriakan seorang perempuan minta tolong.
“Abi, siapa yang teriak itu?” tanya Rania pada suaminya, namun tak ada jawaban. Bergegas ia mengenakan jilbab kaos sambil menggendong anaknya, lalu membuka pintu.
Rania terperanjat saat melihat cairan merah segar mengalir dari telapak tangan seorang pemuda, tetangga barunya yang tinggal di kontrakan depan rumah. Beberapa orang mendekat seolah ingin menyaksikan peristiwa tersebut.
“Pergi lu!” Rahang Herman mengeras, tangannya mengepal, dan napasnya tersengal-sengal. Kemudian ia berupaya mengejar Andri.
“Man, cukup Maaan! Kasian adikmu!” seru sang ibu sembari memegangi tangan Herman.
Farhan berjalan menghampiri pemuda yang terluka itu. Rania berusaha mencegah, tetapi Farhan menolak.
“Kasian, Mi! Tadi dia nusuk adiknya pakai kawat!”
Jantung Rania berdegup kencang ketika melihat suaminya keluar pagar. Ia takut sesuatu hal buruk menimpa Farhan. Namun, saat Farhan mendekati korban, saat itu pula Herman menghentikan langkahnya. Rania mengembuskan napas, merasa sedikit lega.
“Tolong ambilkan alkohol, Mi!” pinta Farhan
Cairan merah itu masih mengucur deras, membuat Andri meringis kesakitan. Dengan hati-hati, Farhan membilas tangan pemuda itu dengan air keran yang terletak di dekat pos ronda, lalu mengobatinya dengan alkohol. Sementara itu, sang ibu masih sibuk menenangkan anaknya yang masih berteriak melontarkan kata-kata kasar pada adiknya.
Menurut info yang beredar, ternyata ayah mereka sudah meninggal sejak mereka masih kecil. Wanita itu membesarkan kedua anaknya seorang diri, hingga di suatu hari mereka putus sekolah (SD). Herman merupakan tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai tukang parkir di sebuah pasar tradisional sekitar Serang, Banten. Selama bertahun-tahun, Herman sudah cukup bersabar atas kelakuan adiknya. Namun, saat ini ia merasa kesal pada adiknya yang pemalas itu, susah sekali disuruh bangun. Kerjanya hanya makan dan tidur. Sang ibu yang tadinya bekerja sebagai penjual gorengan keliling akhirnya berhenti karena sering sakit-sakitan.
“Kenapa sih Mi, tadi larang abi?” tanya Farhan pada Rania beberapa menit setelah kejadian itu.
“Umi takut Abi ikut terluka. Orang lagi kalap gitu kadang enggak peduli sama siapa pun.”
Rania berpikir ‘kenapa setelah suami si ibu itu meninggal, dia tidak menikah lagi? Kalau menikah lagi, mungkin akan lebih ringan bebannya’.
Suara detak jarum jam terdengar jelas. Beberapa saat mereka bergeming. Rania kembali membuka pembicaraan.
“Bi, kalau nanti umi meninggal duluan, Abi jangan lama-lama menyendiri ya! Ngurus anak sendirian itu enggak gampang lho. Apalagi anak kita tiga-tiganya laki-laki.”
“Ish, Umi ngomong apa sih? Jangan ngomong gitu ah! Jangan suka berandai-andai!” Farhan tergemap.
“Bukankah kematian itu sesuatu yang pasti?”
“Iya sih, tapi jangan diomongin sekarang, ah! Berpikir positif. aja! Allah bakal kasih kita umur panjang, jadi kita bisa membesarkan anak-anak bersama-sama.”
“Tapi, Bi–“
“Tolong jangan dibahas lagi, Mi! Abi enggak sanggup bayangin. Umi dampingi abi dari nol. Kita berjuang bersama. Enggak semudah itu abi lupakan!”
Farhan menatap bola mata Rania. Ada keteduhan terpancar di sana. Ada kesetiaan yang tak pernah sirna. Ia mengusap lembut rambut Rania dan mengelus pipi mulus istrinya. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Rania di sebuah tempat yang indah nan damai, tempat orang-orang berkumpul menyimak kajian duha. Pertemuan yang sangat singkat itu berujung di pelaminan. Rania rela menerima Farhan apa adanya. Saat mereka menikah, Farhan hanya seorang tukang foto pengantin yang hanya mendapat uang saat ada panggilan saja. Ia bekerja pada tetangganya yang memiliki usaha foto dan video shooting.
Satu hal yang membuat Farhan bangga pada istrinya. Ia nyaris tak pernah mengeluh atas kehidupan mereka yang tergolong susah, kala itu. Tujuh tahun mereka tinggal di Tangerang di sebuah kontrakan bedengan minimalis yang temboknya saling menempel dengan tembok tetangga sebelah kanan kirinya. Mereka tidur beralaskan kasur tipis yang langsung menyentuh lantai.
Rania selalu menerima berapa pun rupiah yang Farhan kasih. Ia mengatur uang yang jumlahnya tak banyak itu, agar cukup untuk keperluan sehari-hari. Kalau ternyata uang tinggal sedikit, Rania rela berpuasa daud, sebagaimana yang dilakukan Farhan, suaminya. Pun saat menjelang hari raya, Farhan tak pernah membelikan baju baru untuk istri dan anaknya, karena ketiadaan uang.
Berdasarkan hasil istikharah, mereka hijrah ke kota Serang. Melalui perantara seorang teman, kini Farhan mengajar di sebuah sekolah Islam swasta ternama di Kota Serang. Walaupun Farhan bukan lulusan universitas, tetapi ia menguasai ilmu tahsin tahfidz Al-Qur’an, yang sangat dibutuhkan sekolah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pihak yayasan menerima lamaran Farhan. Setelah dua tahun menjadi guru, Farhan membeli rumah di sebuah komplek yang tak jauh dari pusat kota.
“Ana … uhibbuka fillah,” tutur Farhan.
‘Tuhan, izinkan kami menua bersama dan berkumpul sekeluarga di surga-Mu kelak!’ gumam Farhan dalam hati.
Serang, 3 Oktober 2020
Bionarasi
Penulis bernama lengkap Ina Agustin, lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu rumah tangga dari tiga anak laki-laki. Ia menyukai warna merah maroon dan memiliki hobi membaca serta membuat kudapan untuk keluarga. Motto: “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!” Penulis bisa disapa di akun FB : Ina Agustin atau IG : inamujahidah1986.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata