Tragedi 22 Tahun Silam

Tragedi 22 Tahun Silam

Penulis: Milenia Safitri

Pria jangkung berkulit hitam manis mengenggam sebuah foto yang robek menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisikan seorang Ayah, kedua berisikan seorang Ibu, dan ketiga berisikan seorang anak kecil. Foto itu! Aih, bom itu sangat membuat menderita! Anak kecil berumur 7 tahun yang belum terjamah dosa itu mesti menelan kenyataan yang pahit. Bukan! Kenyataan pahit yang dia rasakan bukan dari pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia kedua yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa. Anak kecil itu korban keganasan orang yang menghancurkan puluhan gedung pencakar langit di kotanya, yang meng-abu-kan tulang-tulang pekerja keras yang sedang bekerja di dalam gedung-gedung pencakar langit dan membuat anak kecil itu kehilangan seorang Ayah dan Ibu! Anak kecil itu adalah, “Aaa….ku,” ucap pria itu, lalu terduduk di kursi, menghadap ke jendela dari gedung pencakar langit.

***

Pada tanggal 28 Oktober semuanya bermula, Arifin yang sedang meeting bersama klien-nya di lantai 12 siang itu sedang khidmat membahas tentang bangunan pencakar langit yang sedang dibangun oleh Arifin. Klien itu adalah calon pemilik gedung tersebut, namanya Bapak Ahmad.

Arifin adalah seorang insinyur yang merangkap sebagai pengusaha properti. Gedung-gedung pencakar langit di kotanya sebagian adalah rancangannya. Usaha propertinya juga sangat maju. Mempunyai istri yang cantik rupa dan hati, serta jagoan neon yang berumur 7 tahun. Ohya, istrinya barusan pulang dari kantor Arifin setelah mengantarkan bekal makan siang. Sedangkan anaknya sedang menuntut ilmu di kelas 2 SD. Benar-benar keluarga yang sempurna.

Tapi apa yang terjadi di tengah kata “sempurna” ketika satu bom dapat menghancurkan segala yang dipunya? Satu gedung hancur, ratusan pekerja hilang status pekerjaannya. 20 gedung pencakar langit habis dimangsa si jago merah. Banyak istri menjadi janda, para gadis kehilangan kekasih dan para pria kehilangan pujaan hati. Banyak anak-anak menjadi yatim, bahkan banyak juga yang merangkap menjadi yatim piatu. Pada hari itu kepergian Arifin menjadikan Antar anak yatim. Sungguh malang hari itu.

***

Lelaki jangkung berkulit hitam manis itu masih tak mengerti, mengapa ia mendapati foto keluarganya yang robek menjadi 3 bagian. Perkara apa yang belum terungkap pada tragedi 22 tahun silam? Ia benar-benar tak mengerti. Kemudian, diambilnya isolasi putih di meja untuk mengeratkan foto tiga bagian itu menjadi padu.

“Kau lama sekali, Antar, apakah kau sudah temukan kunci mobil Paman?” ucap Arlina tiba-tiba. Kemudian, Antar menyembunyikan foto itu di saku baju.

“Ya, aku sudah menemukannya,” ucap Antar menoleh ke Arlina sebentar, kemudian beranjak keluar dari ruangan tanpa hiraukan Arlina.

Arlina sangat bingung dengan prilaku Antar yang dingin, apakah ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan pembantu Antar? Arlina mengerutkan dahi, kemudian geleng-geleng kepala. Yakin bahwa Antar tak mungkin melakukan hal itu. Arlina langsung dengan cepat mengambil vitamin milik Pamannya di lemari.

Bruk! Tumpukan kertas di sebelah vitamin itu berhamburan. Arlina tenyata masih belum fokus. Arlina merapikan kertas-kertas yang berhamburan itu. Jatuhlah sebuah foto yang tersisipkan di tumpukan kertas. “Paman dan Riaa…niii,” ucap Arlina tak percaya.

***

Pori-pori langit atap serasa awan berbentuk hati yang meneduhkan dua insan yang sedang mempercantik kuku dengan warna merah hati yang memesona. Tak boleh ada prasangka belis lagi yang mengitari pikiran Arlina. Bukankah esok jari manisnya akan terpasang cicin akibat janji suci? Benar, tak ada yang mesti Arlina takutkan. Aih, namun apa iya? Kenapa butiran keringat dingin melesat dari keningnya dengan tak tahu diri?

“Kau kenapa, Arlina?” tanya Antar yang sedari tadi melihat Arlina tak tenang.

“Tak ada apa-apa, Antar.”

“Kau masih canggung untuk berserita padaku? Arlina, aku ini esok yang akan bertanggung jawab atas apa yang bersangkutan denganmu. Aku esok akan menjelma menjadi orang yang mesti bersedia mendengar keluh kesahmu. Jadi, izinkan aku belajar, Arlina. Izinkan aku belajar menjadi pendengar,” jelas Antar meyakinkan Arlina.

“Antar, tolong kau jangan beritahu siapa-siapa.”

“Kau tak percaya denganku?” tanya Antar sembari mengangkat satu alisnya.

“Bukan begitu, Antar, aku takut.”

“Kau jangan takut, ceritalah.”

“Antar, ketika di kantor Paman aku menemukan fotonya dengan sosok Riani. Aku tak percaya paman masih menyimpan fotonya dengan sosok Riani. Antar tahukah kau? Riani adalah seorang gadis pemilik wajah ayu yang bersahaja, dan tentunya sosok sahabat yang baik, seorang istri yang patuh dan mempunyai anak yang tangguh. Itu kata ibuku tentang sosok Riani. Tapi, keluarganya hancur seketika saat tragedi 22 tahun yang lalu. Tragedi yang sangat memilukan, saat itu aku masih di kelas 1 SD. Apakah kau tahu tentang tragedi itu?” Antar mengangguk dan memberikan isyarat agar Arlina melanjutkan ceritanya.

“Kata ibuku, paman sangat menggilai sesosok Riani, maka dari itu sampai sekarang paman tidak pernah menikah. Riani dan suaminya meninggal di gedung pencakar langit, dan anaknya bernama Rafin, ia sempat tinggal bersama aku dan ibuku selama 3 bulan. Tapi, ia hilang setelah memberikanku boneka yang ia dapat dari bermain game di pasar malam. Aku tak tahu di mana keberadaan Kak Rafin sekarang,” jelas Arlina, sedangkan Antar hanya mengangguk seakan memahami apa yang dirasakan Arlina.

“Pamanlah otak dari pengeboman gedung-gedung pencakar langit itu, Tar. Paman tidak pernah menyukai suaminya Riani apalagi anaknya. Aku sangat tahu itu. Ketika Kak Rafin hilang begitu saja, Pamanlah yang membuat semua skenarionya! Paman bejat sekali, ia membayar penculik untuk membuang Kak Rafin. Aku tahu itu karena pengakuannya kepada Ibu. Pokoknya, aku sangat kesal dengan….”

“Arlina, akulah Rafin,” ucap Antar, sedangkan Arlina yang memberhentikan ceritanya sejenak, lantas menganga mulutnya, ia benar-benar tak percaya.

“Iya, Arlina, akulah Rafin. Ketika itu aku memang diculik, Arlina. Tapi aku melarikan diri, dan aku tidak tahu siapa yang melakukan hal itu.”

“Kalau kau memang Kak Rafin, lalu mengapa kau tidak pernah memberitahuku?”

“Arlina, ceritanya sangat panjang. Aku akan cerita semuanya, tetapi nanti. Arlina, aku ingin pergi sebentar.”

“Kau ingin ke mana? Henna di kuku jempolmu belum mengering,” celoteh Arlina, kemudian melihat jempol-jempol milik kekasihnya.

“Henna? Arlina, kau itu sepertinya lebih perhatian dengan hennaku dibanding aku.”

“Bukan begitu, aku takut, Antar. Aku tidak ingin kau pergi ke mana-mana, kalau kau pergi aku ingin ikut.”

“Tapi henna di kuku punyamu bukan hanya jempol yang belum mengering, lihatlah ukiran yang indah di tanganmu, kau tak akan membiarkannya tak indah ketika aku mengucapkan janji, kan?”

“Kau lebih mementingkan hennaku dibanding aku,” celoteh Arlina, Antar hanya tertawa.

“Aku ingin ikut, Antar.”

“Percayalah semuanya akan baik-baik saja. aku hanya ingin pergi sebentar.”

Arlina hanya mengangguk mendengar Antar menyebutkan kata percaya.

“Terimakasih, Arlina, kau sangat memahamiku.”

***

Driving_Flickr

 

Tangan Antar dengan kuat mencengkram stir ketika ia mengemudi. Matanya benar-benar panas, ingin sekali ia mengeluarkan kemurkaannya pada jalan raya yang tak bersalah. Aih, tapi ia lelaki yang cerdas, jadi tak mungkin melakukan hal dungu macam itu.

Tetapi, Antar tidak  dungu ke mana arah ban mobilnya akan melaju. Yah, ke rumah bedebah itu! Dengan keringat kebencian yang melesat dari pelipis dan mata panas yang siap memangsa, ia keluar dari mobilnya menuju pintu rumah penjahat itu.

“Keluar kau! Takusah bersembunyi lagi di balik topengmu lagi, penjahat!” tangan Antar dengan keras memukul pintu rumah. Kemudian seorang lelaki berumur kepala enam keluar dari bilik pintu.

“Antar, apa yang kamu lakukan, Nak? Bisakah tak membuat kegaduhan di rumah orang!”

“Nak, kausebut aku Nak! Bajingan!”

“Kau benar-benar kurang ajar Antar! Apakah kau tak pernah diajarkan Ayahmu sopan santun!”

“Hah! Bagaimana aku bisa diajarkan, kalau kau telah membunuh Ibu dan ayahku 22 tahun yang lalu?”

“Jangan sembarangan kau! Aku tak pernah membunuh Rianiku!” bentak lelaki itu tak suka.

“Kau telah menghanguskan ibu dan ayahku di gedung itu! Lalu kau bilang tak pernah membunuh ibuku!”

“Rafin, aku memang membunuh Ayahmu! Tapi aku tak pernah membunuh kekasihku Riani! Dan satu lagi, kau harus tahu bahwa aku sangat membenci Ayahmu apalagi kau! Ayahmu telah merebut semuanya dariku! Predikat insinyur terbaik dia ambil dariku! Para klienku diambilnya semua! Dan Rianiku, wanita yang aku cintai malah ia nikahi! Bajingan Ayahmu itu!” Antar tercekat mendengar ungkapan lelaki bejat itu. Ibunya di mana?

“Kaulah yang bajingan! Di mana ibuku?”

Kau tanya saja pada rumput yang bergoyang!” ucapnya, kemudian tertawa.

“Di mana ibuku?!” tanyanya lagi, kemudian mencengkram kera kemeja lelaki tua itu dengan kuat.

“Aku tak akan beritahu kau,” kemudian ia tertawa, “Hei, anak muda, kau tahu dari mana aku melakukan hal bejat itu?” tanyanya.

“Kau tak perlu tahu!”

“Hahaha… kau itu anak malang, Antar. Sudah kehilangan keluargamu, lalu kau juga akan dikhianati oleh kekasihmu. Kautahu? Arlina sama bejatnya denganku! Tak ada pernikahan kau dengan Arlina besok! Arlina adalah simpanan……”

Bukk! Pukulan pertama Antar dalam seumur hidupnya itu mengenai bibir lelaki bejat itu. Kemudian Antar pergi. Tak ada gunanya menanyakan perihal ibunya dengan lelaki bejat. Antar pergi melajukan mobilnya.

***

Bau kembang yang semerbak memenuhi ruang tengah rumah Arlina. Semua persiapan sudah mantap. Makanan-makanan khas Palembang dan Jawa menghiasi meja-meja perancisan. Arlina pasti hari ini seperti bidadari, memakai kebaya warna putih dengan make up yang natural. Arlina memang memesona.

“Arlina!!” teriakan dari lantai atas membuat Antar dengan secepat kilat berlari. Saat Antar tiba di lantai atas Ibu Arlina pingsan melihat seorang yang sedang di make up bukanlah Arlina. Ibu Arlina dibawa ke kamarnya. Antar benar-benar bingung di mana Arlina berada. Suara tangisan menderu dari bilik kamar Ibu Arlina.

“Beti, kau kenapa?” tanya Antar pada pembantunya.

“Ini semua salah aku, Antar! Aku dibutakan oleh cinta sehingga sanggup berlama-lama berdusta. Aku bukan Beti! Namaku Sekar, aku adalah seorang perawan tua yang sangat mencintai Bayu, lelaki bejat itu! Aku bodoh mau saja diperguna olehnya! Aku disuruhnya untuk memata-mataimu, menfitnah kau di hadapan Arlina kalau kau itu selingkuh, kemudian memisahkan kalian. Aku tahu perihal keberadaan ibumu! Dan, aku penyebab Arlina hilang! Akulah yang menyerahkan Arlina kepada lelaki bejat itu!” tangis perawan tua itu makin merembas ke bajunya.

“Antar, ibumu disekap lelaki itu di jalan Jogoboyo no 9. Sedangkan Arlina….” tangis wanita itu tumpah untuk kesekian kalinya.

“Arlina di mana?!” tanya Antar.

“Antar, aku pikir Bayu hanya ingin menyekap gadis ayu itu saja, tapi tidak Antar, aku mendengar ia akan menjual Arlina untuk dijadikan istri simpanan seorang pejabat di negeri Cina. Kau harus cepat menyelamatkan Arlina!”

“Arlina di mana?!”

“Aku tak tahu perihal itu, Antar,”

***

Jogoboyo nomor 9, lelaki itu melajukan mobilnya dengan cepat. Tiga penjaga dengan badan besar-besar berjaga di pintu depan rumah itu. Antar mewarisi tongkat estafet kecerdasan milik ayahnya, ia membawa alat canggih pembuka jendela dan terali yang ia buat ketika berada di SMP. Antar menaiki pagar, kemudian mengendap-ngendap dan membuka jendela serta terali dengan sangat cepat tetapi hati-hati.

Di lain sisi, seorang gadis ayu dan wanita tua dengan tangan terikat berseberangan saling menatap. Gadis ayu itu adalah Arlina. Arlina menatap wanita tua itu. Aih, benar-benar keji sekali! Wanita seperti Ibu Riani disekap selama bertahun-tahun di tempat ini.

“Bu, Ibu namanya Riani?” wanita tua itu tak menjawab, ia malah seperti merinding mendengar namanya sendiri. Mengigit bibirnya ketakutan.

“Bu, aku Arlina, calon istri anak Ibu, Rafin.”

“Rafin? Anakku? Mana anakku Rafin! Mana anakku!” tanya Ibu itu memberontak sembari melihat atap.

Paman benar-benar jahat, membuat kejiwaan Ibu Riani terganggu. Apa yang membuat paman tega? Cinta? Cinta itu sangat membutakan. Bukankah Ibu Riani sudah tidak secantik dulu? lalu apa yang membuat paman masih bertahan menyekap Ibu Riani? Cinta?

Krek! Terlihatlah seorang Antar yang masuk ke dalam ruangan itu. Kemudian melepaskan ikatan yang melekat pada tangan dua wanita yang ia cintai.

“Ibu….” Antar memeluk erat ibunya, “Bu, aku Rafin, Bu,” Antar melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah ibunya.

“Rafin? Rafin anakku?” tanya Riani mengelus pipi Antar.

“Iya, Bu.”

“Kak Rafin, ayo kita keluar!” seru Arlina.

Antar, Arlina dan Ibu Riani pergi menuju jendela yang sudah dijebol Antar tadi. Namun, apa yang tejadi? Tiga penjaga itu menyerang Antar. Antar dengan gesit melawan pada penjahat itu. Sikutnya membentur pipi penjahat pertama, kepalanya menyerang pipi penjahat kedua, dan tinjuan tangan kerasnya melesat di perut penjahat ketiga. Penjahat pertama yang kesal dengan perbuatan Antar pun menjambak hijab yang dikenakan Arlina bersama rambut-rambutnya. Antar benar-benar tidak terima! Ia ingat pertama kali tamparannya melesat di pipi Paman Bayu saat ia mungucapkan yang tidak benar tentang Arlina. Dan kini, penjahat itu menjambak hijab suci kekasihnya! Brak! Sepatu yang terpasang di kakinya membentur kepala penjahat itu. Penjahat itu pun pingsan. Kedua penjahat yang lain tak hiraukan Antar, Arlina dan Ibu Riani, mereka sibuk mengurusi penjahat yang pingsan itu. Antar, Arlina dan Riani pun pergi dari rumah bedebah itu!

Penjahat tetaplah penjahat, meskipun kata cinta membalutnya, penjahat tak akan berubah menjadi malaikat. Bayu, Sekar, yang mengatasnamakan cinta dengan kejatan tetap masuk ke jeruji besi. Ampas dari kata memiliki adalah sisa yang sia-sia. Bayu  hanya merasakan ampas dari kata memiliki. Ambisi dari kata memiliki itu benar-benar ampas! Riani tidak pernah membalas perasaan itu. Tidak pernah.

Para penjahat yang mencari nafkah untuk keluarga tercinta mereka juga masuk ke jeruji besi. Arlina dan Antar hidup bahagia dengan pernikahannya. Riani perlahan sudah mulai pulih, apalagi ada sahabatnya, ibu Arlina yang terus menyemangati. Mereka berempat adalah keluarga yang terdiri dari tujuh huruf “bahagia”.(*)

Milenia Safitri, pencinta hujan yang terkadang frontal ketika menuangkan perasaan lewat aksara. Sekarang ia di kelas XI MIPA 3 di MAN 1(MODEL) Lubuklinggau dan ditunjuk sebagai ketua  organisasi FLP di sekolah. Bercita-cita menjadi penulis.

Akun FB: Millenia Safitri, Instagram: gads_asritams, email: safitrimillenia29@gmail.com.

Pegurus dan Kontributor

Cara menulis di Loker Kita