Tradisi Unggah-Unggahan

Tradisi Unggah-Unggahan

Tradisi Unggah-unggahan

Oleh; Rachmawati Ash_

 

Unggah-unggahan menurut bahasa jawa dapat diartikan sebagai ‘munggah’ dalam bahasa Indonesia artinya ‘naik’. Unggah–unggahan adalah selamatan yang diadakan setahun sekali yaitu pada bulan Jumadil akhir. Masyarakat jawa percaya bahwa pada bulan ini Allah akan membalas umatnya atas amal perbuatannya baik atau buruk. Untuk itu manusia diperintah untuk berusaha melakukan amal baik, diantarannya bersedekah dan berbagi rezeki. Pada bulan yang baik ini masyarakat dianjurkan berbuat agar balasan dari Allah juga berupa balasan yang baik. Bulan Jumadil akhir adalah bulan penghabisan sebelum menuju kepada bulan berikutnya, yaitu bulan Ramadhan. Masyarakat percaya bahwa bulan ini semua doa akan naik ke langit dan segera diterima oleh sang pencipta.

 

Tradisi unggah-unggahan mempunyai beberapa tata cara sendiri dalam melakukannya.  Meskipun unggah-unggahan ini hampir sama dengan tahlilan, acara mengirim doa ketika ada orang meninggal dunia, namun dalam pelaksanaanya sedikit berbeda. Tahlil biasanya cukup mengirimkan doa untuk keluarga yang sudah meninggal. Sedangkan unggah-unggahan ini dilakukan untuk semua keluarga atau masyarakat umum secara menyeluruh. Acara unggah-unggahan biasanya dilakukan bersama-sama di sebuah Masjid atau Musala. Setiap masyarakat yang hadir dalam unggah-unggahan diminta membawa berkat yang diletakkan di depan Masjid atau Musala. Berkat berupa ‘cepon’ atau bakul yang beris nasi dan lauk pauk. Selesai berdoa bersama setiap orang yang hadir dipersilakan mengambil berkat untuk dibawa pulang. Berkat ini sebagai lambang atau ‘saksi’ bahwa orang tersebut telah mengikuti kegiatan amal saleh.

Masing-masing daerah memiliki cara yang berbeda dalam mencari dana. Beberapa daerah ada yang meminta masyarakat hanya mengumpulkan berkat atau makanan di Masjid atau Mushala. Ada pula daerah yang meminta dana kepada masyarakat. Dana yang didapatkan dari pelaksaan unggah-unggahan ini biasanya berasal dari masyarakat desa itu. Menjelang acara biasanya panitia mendatangi setiap keluarga untuk memberikan informasi mengenai perihal ini, sekaligus meminta catatan/ data nama keluarga yang sudah meninggal dunia yang kemudian akan dikirimkan surat Al-Fatihah pada saat acara unggah-unggahan berlangsung. Selain itu panitia meminta bantuan baik berupa  makanan, uang, ataupun yang lainya dengan suka rela, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu oleh panitia untuk dikelola.

Berikut ini adalah tata cara pelaksanaan tradisi unggah-unggahan di daerah brebes ini :

  1. mengumpulkan masyarakat di Masjid atau musala sambil membaca sholawat, ayat-ayat Alquran dan puji-pujian yang diperuntukan untuk bagi kita nabi Muhammad saw.
  2. Sebelum acara dimulai biasanya panitia membacakan terlebih dahulu mengenai sebuah dana yang terkumpul, yang bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa dana ini digunakan dengan baik tanpa adanya unsur penipuan dan lain sebagainya,
  3. Sambutan yang didahului oleh ketua panitia,
  4. Membacakan surat Al-fatihah dilanjut membacakan satu persatu nama keluarga yang telah meninggal dunia sesuai urutan keluarga yang telah didaftar dari urutan pertama hingga terakhir,
  5. Pembacaan tahlil bersama,
  6. Doa-doa,
  7. Penutup dengan membaca bacaan Tahmid dan ucapan syukur atas karunia Allah SWT.
  8. Tausiyah atau kultum yang berisi nasihat kebaikan untuk melakukan amal saleh sesuai sariat Islam,
  9. Acara diakhiri dengan Makan bersama dan sarasehan.
  10. Masyarakat pulang dengan membawa berkat sebagai saksi telah melakukan kegiatan silaturahmi dengan sesame manusia.

Unggah-unggah boleh diikuti oleh semua usia. Semua masyarakat setempat boleh mengikutinya baik yang kecil ,besar,laki-laki, perempuan, tua maupun muda. Dalam tata cara pelaksanaan tradisi unggah-unggahan ini tidak mengenal istilah kata tua maupun muda ,karena dalam tradisi ini bersifat umum.

 

Mengingat Asal mula unggah –unggahan adalah kegiatan yang digunakan oleh para wali sebagai media berdakwah. Yaitu memberikan pendekatan kepada masyarakat Islam yang hidup berdampingan dengan agama lain pada saat itu.  Kita tahu bahwa sebelum Islam masuk di tanah Jawa, penduduk Jawa masih menganut ajaran Hindu dan Budha. Di mana ajarannya sudah mendarah daging di hati masyarakat, sehingga para wali menggunakan pendekatan dengan cara yang lembut, yaitu mengajak berkumpul dan bersilaturahmi.  Ajaran ini akhirnya berkembang sampai saat ini, beribadah dengan halus dan lembut. Tetap memasukkan ajaran Islam sesuai sariatnya.  

 

Rachmawati Ash. Selalu penasaran dengan Hal-hal baru dan asing baginya.

 

Leave a Reply