Tour
Oleh : Veronica Za
Sekumpulan bocah berseragam putih-merah mengayuh sepeda dengan laju yang tak biasa. Peluh yang mengalir di wajah polos itu tak lantas membuat mereka berhenti. Bahkan, suara tawa terdengar riuh di sela obrolan yang mirip teriakan itu.
Adit, salah satu dari kawanan murid SD itu memisahkan diri sesampainya di sekolah. Langkah kecilnya menuju ruang tata usaha.
Wajahnya semringah mengingat dua minggu lagi ia akan pergi tur ke puncak selama dua hari satu malam. Ia menghabiskan waktu satu minggu demi membujuk dan mendapat izin orangtuanya yang tidak setuju sebelumnya.
“Bu Alya, saya mau bayar uang tur,” jelas Adit kepada seorang guru di ruang tata usaha. Wanita paruh baya itu mengangguk lembut seraya membuka buku besarnya.
“Kenapa baru bayar sekarang? Ibu kira kamu nggak ikut, lho!”
Bocah sembilan tahun itu tak menanggapi pertanyaan sang guru. Tangannya sibuk merogoh semua bagian kantung yang terdapat di baju dan celananya. Wajahnya terlihat panik dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Bu Alya heran melihat perubahan raut wajah Adit. Dengan sigap ia berdiri dan menghampiri muridnya yang siap menangis itu.
“Ada apa, Dit?” tanya Bu Alya cemas.
“Uangnya hilang, Bu. Nggak ada di mana-mana!”
“Coba cari di tas kamu.”
Adit mengangguk dan mulai mengaduk isi tasnya. Nihil. Uang pemberian Bunda untuk membayar tour kini telah raib. Seingatnya, ia menyimpan uang itu di saku celana. Entah karena merasa bersalah atau mungkin takut, Adit menangis sesenggukan. Uang itu pasti jatuh saat ia bersepeda tadi.
***
“Bukannya Bunda sudah bilang untuk menyimpan uang itu baik-baik,” ucap Bunda yang baru saja pulang dari pabrik tempatnya mengais rejeki.
Penat dan lelah setelah seharian bekerja semakin terasa menyesakkan kala melihat anak sulungnya bercerita dengan berurai air mata.
Ingin marah tapi tak sampai hati. Ia tahu Adit sudah sangat ketakutan. Usai menenangkan anaknya itu, ia segera mempersiapkan makan malam meski sebenarnya ia tengah mencari alasan untuk sang suami nanti.
Adit mencoba menghindar dari ayahnya. Saat Ayah menonton TV, maka Adit masuk kamar. Berpura-pura sibuk dengan buku pelajaran. Bunda yang melihatnya merasa miris. Ia tahu jika Adit tengah ketakutan jika ayahnya akan marah besar.
“Yah, tadi pagi uang yang dibawa Adit … hilang,” Bunda memantapkan hati untuk berbicara kepada suaminya.
Tanpa disangka ternyata reaksi suaminya itu tak seperti yang ia takutkan. Ayah tampak menghela nafas berat dan terdiam beberapa saat seolah tengah mengontrol emosi yang ditahan mati-matian.
“Ya sudah! Kalau sudah hilang mau apa lagi? Toh uangnya nggak bakal balik lagi meskipun ayah marah-marah.”
“Turnya?”
“Itu konsekuensi yang harus Adit bayar.”
Bunda diam. Bibirnya kelu. Sebagian hatinya merasa sedih karena Adit tidak akan ikut tour yang sangat diinginkannya. Sedangkan, sisanya setuju dengan keputusan suaminya. Anggap saja itu adalah pelajaran untuk Adit.
***
Seminggu berlalu setelah keputusan diambil. Adit menerimanya dengan wajah tertekuk. Namun, sepertinya ia sadar akan kesalahan yang dilakukan. Tak ada protes yang keluar dari mulutnya. Ia jadi anak yang pendiam.
Bunda bukannya tak menyadari perubahan itu, tapi ia mencoba tak acuh. Berharap dengan begitu, Adit tak akan mengulangi kelalaiannya lagi.
“Adit, apa kamu mau pergi ke rumah Oma di Bekasi?” tanya Bunda suatu malam saat menemani Adit mengerjakan PR.
“Kapan?” Anak itu tampak serius dengan bukunya, sehingga tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan.
“Minggu depan.”
Hening. Adit terdiam. Bunda tahu apa yang tengah anaknya itu pikirkan. “Biar nggak bosan aja di rumah pas teman-teman kamu lagi liburan.”
“Enggak ah, Bun. Adit di rumah aja.”
Bunda meringis mendengar penolakan itu. “Kuat, kuat, kuat!” Kata yang tak henti ia ucapkan dalam hati. Jangan lemah dan berakhir memanjakan anak.
***
Lapangan sekolah yang biasa digunakan olahraga kini beralih fungsi menjadi tempat parkir. Ada sekurangnya lima bus berukuran besar yang sudah disesaki penumpang. Lebih tepatnya, para guru, orangtua dan murid yang akan pergi tur dua hari satu malam.
Kebisingan yang tercipta menjelang detik-detik keberangkatan bus-bus itu semakin menjadi-jadi sebagai bentuk antusiasme yang besar.
Keadaan itu berbanding terbalik dengan tingkah bocah dengan topi biru di kepalanya. Jaraknya hanya beberapa meter dari lapangan. Wajahnya menyiratkan gurat yang tak dapat diartikan. Matanya memerah seakan siap menangis saat itu juga.
“Adit!” seru wanita berjilbab hijau tosca sebatas dada. Napasnya terengah-engah. Bocah bertopi itu menatap bundanya kesal.
“Ih, Bunda lama banget ke WC-nya!” rajuk Adit. “Itu busnya udah mau berangkat.”
“Iya … iya, maaf. Bunda kebelet soalnya. Yuk, ah! Bu Alya udah nungguin kayaknya.” Bunda mengerling seraya melenggang meninggalkan Adit yang cemberut di belakang.
Adit berlari menuju bus yang akan membawa dirinya dan sang bunda ke puncak. Ia tak mengerti apa yang membuat bundanya itu berubah pikiran. Sebelumnya ia sudah tak berharap lagi.
Sedih? Sangat! Ia hanya tak berani menambah beban orangtuanya lagi akibat ulahnya. Hingga kemarin sore, Bunda memberitahunya perihal turnya ini. Silakan kalian tebak bagaimana reaksi bocah itu!
Adit tersenyum lebar. Ia tahu, orangtuanya punya alasan sendiri untuk memaafkan kesalahan kali ini.
Anak itu hanya tak tahu jika hukuman yang ia dapat itu berdampak juga pada hati kedua orangtuanya. Mereka lebih sakit dan sedih saat melihat buah hatinya bersedih.(*)
Tangerang, 240119
Veronica Za, penyuka romance komedi. Karyawan swasta yang bermimpi menjadi seorang penulis.
FB/IG : Veronica Za
Wattpad : VeronicaZa7
Email : veronica160.vk@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata