Topi Karnaval
Oleh: Nuke Suprijono
Sore ini aku mendapati istriku duduk di lantai sedang membersihkan rak buku. Sebenarnya dia rajin membereskan koleksi buku-buku itu dan mengelap sampulnya setiap seminggu sekali. Akan tetapi, setiap waktu jari lentiknya menyentuh album foto warna merah jambu, aku bisa memastikan dia selalu senyum-senyum sendiri. Apalagi saat membuka lembar demi lembar gambar-gambar penuh kenangan yang warnanya mulai pudar itu.
“Mas, lihat nih, foto kamu waktu masih SD, mirip Marcel, kan?” katanya sambil terkekeh membandingkan wajahku dengan putra kami yang tahun ini berumur tujuh. Aku penasaran dan segera mendekat. Lalu senyumku pun tak dapat kutahan ketika melihat foto masa kecilku saat karnaval dan memakai topi. Ada rasa yang mengharu-biru menyelinap di dalam dada. Dan memori di kepalaku langsung terlempar pada waktu aku berumur sepuluh.
“Hari Sabtu depan, kita adakan karnaval, ya, anak-anak. Nanti kita berkeliling mulai dari sekolahan menuju alun-alun. Tidak usah memakai baju adat, tapi kalian harus memakai topi buatan sendiri. Ada yang mau bertanya?” Suara Bu Guru terdengar jelas di telingaku, tetapi membuat dahiku sedikit mengernyit. Aku belum begitu paham apa arti kata ‘buatan sendiri’. Sebab yang aku tahu, topi itu biasanya dibuat di pabrik.
“Topi buatan sendiri itu yang seperti apa, Bu Guru?”
Bu Guru lalu tersenyum menanggapi pertanyaanku. Di mata beliau, aku memang biasa selalu bertanya. Akan tetapi, ini bukan tanpa sebab. Aku sering mengalami kesulitan memahami ucapan orang. Terkadang beberapa kata agak sulit masuk ke dalam otakku. Mungkin ini efek dari keadaanku yang anak tunggal, yang hampir setahun ini jarang berkomunikasi dengan orangtua.
“Oh iya, maksud Ibu, kalian membuat topi sendiri dari kertas, bisa dari koran bekas atau kertas karton. Bebas. Jadi, tidak usah membeli di toko. Kalian bisa minta tolong Ayah, Ibu, atau Kakak di rumah untuk membuatkan. Mengerti, ya anak-anak?”
Teman-teman serempak menjawab mengerti. Sedangkan aku, hanya diam sambil membayangkan sebuah topi dari kertas yang dibuat … Ayah, Ibu, atau Kakak? Ah, orang-orang itu … mereka semua hanya seperti bayangan bagiku.
Aku belum menemukan bagaimana caraku untuk meminta bantuan Ayah. Memang, ikatan kami begitu kaku. Tidak selayaknya hubungan seorang ayah dan anak lelakinya yang akrab; sering bercanda; atau ngobrol apa saja—terutama tentang hal-hal yang berbau lelaki.
Seingatku, dulu waktu Ibu masih ada, sikap Ayah tidak begitu. Setelah kematian Ibu setahun yang lalu, hanya dua kali Ayah mengajakku ke toko untuk membeli buku tulis. Selanjutnya beliau langsung membelikan segala keperluan sekolah—termasuk seragam dan tas—tanpa mengajakku. Pernah juga sekali waktu Ayah mengajakku menonton pertunjukan sulap di pasar malam saat liburan bulan Juni. Akan tetapi, itu adalah tontonan pertama sekaligus yang terakhir bagiku.
Aku hafal kegiatan Ayah jika berada di rumah. Setelah satu minggu bekerja di luar kota, yang dikerjakan Ayah di rumah hanya membaca buku, menonton TV, dan merokok kretek setelah makan. Ayah jarang berbicara jika tidak ada perlu, apalagi sampai mengajakku bermain—hampir tidak pernah lagi. Terakhir bermain bersama Ayah adalah saat dia akan berangkat ditugaskan keluar kota untuk pertama kali. Memang sudah lama sekali. Padahal aku sangat merindukan momen-momen itu.
“Baim, kamu mengerti yang ibu maksud, ‘kan?” Suara Bu Guru membuatku terkejut. “I-iya, Bu, saya mengerti.” Dengan gagap aku menjawab pertanyaan Bu Guru.
Saat itu aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang: memiliki Ayah tetapi tidak bisa merasakan hadirnya secara utuh. Bagiku, itu sangat menyedihkan. Akhirnya, yang bisa aku lakukan hanya menghela napas panjang lalu kembali menekuri buku pelajaran.
Saat pulang sekolah, matahari menyorot jalanan terik sekali. Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri trotoar sambil sesekali menendang kerikil yang tampak di depan mata. Aku bingung sekaligus sedih. Sebenarnya ingin menelepon Ayah, tapi takut jika hanya bentakan yang aku dapatkan. Sedangkan jika memilih diam, itu sama saja dengan mengabaikan tugas dari Bu Guru.
Di rumah aku tinggal sendiri. Untung saja ada keluarga Om Banu, saudara kembar Ayah, yang rumahnya bersebelahan dengan kami. Jika sedang keluar kota, Ayah menitipkan aku pada keluarga Om Banu. Selama ini tidak ada masalah yang berarti bagiku. Istri Om Banu— Tante Prita—dia cukup ramah dan selalu membagi makanannya untukku. Dia juga yang membantu mencuci dan menggosok pakaianku. Namun, kebaikan mereka kadang justru membuatku merasa sungkan. Aku sering melihat kehidupan mereka sehari-hari, dengan tiga orang anak saja sudah cukup menyita perhatian. Aku tidak mau menambah kerepotan mereka lagi. Mungkin, sebenarnya yang aku rasakan adalah, aku cemburu melihat kebersamaan keluarga mereka.
Sampai di rumah aku langsung menuju gudang tempat Ayah menumpuk buku-bukunya. Ayahku memang suka membaca. Dia biasa meletakkan barang-barang bekas dan perkakas usang di sana. Tanpa melepas sepatu, aku masuk dan mencari apa saja yang bisa aku dapatkan untuk mengerjakan tugas dari Bu Guru.
Di atas tumpukan kardus aku melihat beberapa gulung kertas karton. Ia memang bekas dan tidak utuh lagi, tetapi setidaknya lembaran yang sedikit ini masih bisa kugunakan untuk membuat topi. Saat itu aku membayangkan caping pak tani. Lalu aku membuat origami kapal, yang menurutku mirip dengan caping, sebab bentuknya yang cekung bisa ditangkupkan pada kepala. Dalam pikiranku hanya satu: bagaimana cara melipat kertas karton yang lumayan tebal itu dan menjadikannya sebuah topi.
“Baim, sudah pulang? Ngapain kamu di situ?” Suara Tante Prita tiba-tiba sudah berada di depan gudang.
“Eh, Tante, ini aku mau bikin topi. Disuruh Bu Guru, buat karnaval besok hari Sabtu,” kataku sambil menggunting pinggiran kertas karton yang tak beraturan bentuknya.
“Oh, kamu bisa bikinnya? Mau tante bantuin, tidak?” tanya Tante Prita, terdengar tulus.
Sebenarnya aku mau saja dibuatkan topi oleh Tante Prita. Akan tetapi, teringat kesibukannya, membuatku mengurungkan keinginan untuk mengiyakan bantuannya. Tante Prita akhirnya pulang setelah mengingatkan aku untuk segera makan siang.
Sekitar kurang dari empat puluh lima menit asyik berkutat dengan kertas karton, topi caping berbentuk kapal itu akhirnya jadi. Aku lalu berlari menuju kamar untuk becermin. Sebelum mencobanya, aku tekan-tekan lagi pinggiran topi itu. Sepertinya tidak terlalu buruk meskipun lipatannya kurang menyiku membentuk garis caping. Bagaimanapun hasilnya, aku harus puas dengan topi buatanku sendiri. Bukankah seharusnya begitu?
Sabtu pagi yang cerah. Aku dan teman-teman sudah berbaris di lapangan sekolah. Aku melirik topi milik teman-teman. Milik Agis berbentuk topi cowboy warna hitam yang sisi kanan-kirinya melengkung ke atas, lengkap dengan pita warna putih di pinggirannya. Ada yang berbentuk topi nenek sihir dengan hiasan kertas berwarna emas yang dibentuk bintang-bintang. Aku lupa siapa namanya. Dia perempuan, rambutnya sedikit ikal sebahu. Dan masih banyak bentuk lain yang menurutku bagus-bagus. Hatiku tiba-tiba mengerut melihat topiku yang paling sederhana dibanding milik mereka. Topiku hanya caping dari kertas karton warna pink pucat. Polos, tanpa hiasan apa-apa.
Agis mendekatiku. Diambilnya caping dari atas kepalaku. Lalu dia memutar-mutarkan caping itu ke udara sebelum mencampakkan ke atas tanah.
“Topi kamu jelek!” kata Agis.
Teman-teman jelas menoleh ke arah kami. Mereka lalu tertawa terbahak-bahak seperti mengolok. Saat itu hatiku sakit sekali. Hampir saja aku memukul wajah Agis jika Bu Guru tidak segera datang menghampiriku.
“Agis! Kembali ke barisanmu!” teriak Bu Guru lantang.
Aku mengambil caping yang terhempas itu. Sekarang bentuknya makin jelek. Bu Guru melihatku dengan tatapan iba. Sekuat tenaga aku menahan diri agar air mata tidak meluruh.
“Topi kamu rusak, Baim. Mau Bu Guru perbaiki?” Aku hanya mengangguk pasrah ketika Bu Guru menggiringku menuju kelas.
“Baim!” Suara milik penjaga sekolah terdengar dari belakang kami. Aku dan Bu Guru menoleh hampir bersamaan. “Dari siapa, Pak Amir?” tanya Bu Guru seraya menerima topi berbentuk tabung setinggi dua puluh senti warna biru laut itu. Terlihat tebal dan dilem kuat. Aku terkesima melihatnya karena mirip dengan topi pesulap di pasar malam waktu itu.
“Tadi ada bapak-bapak yang menitipkan topi ini untuk Baim, Bu. Dilihat sari wajahnya sih, sepertinya dia Ayahnya Baim, hampir sama soalnya,” ujar Pak Amir sambil menowel cuping hidungku.
“Ayahmu, Baim?”
“Nggak tahu, Bu. Tapi biasanya Ayah pulang dari luar kota itu sore.”
“Ya, sudah. Nanti setelah selesai karnaval, kita lanjutkan lagi ngobrolnya. Ayo, sekarang kembali ke barisan. Teman-temanmu sudah menunggu,” ajak Bu Guru.
Akhirnya aku bisa tersenyum bahagia saat itu. Memamerkan topi baruku pada teman-teman, terutama pada Agis. Om Banu, ternyata kasih sayangnya begitu besar padaku. Meskipun memiliki wajah serupa dengan Ayah, tetapi cintanya menurutku berbeda jauh.
“Papa, ayo!”
“Hei, Mas, iish, bengong aja dari tadi. Udah, yuk, itu Marcel dah nungguin di depan. Katanya tadi mau ngajak nyekar ke makam Bapak?” Suara istriku membuyarkan lamunan. Aku tergemap lalu segera berdiri dan menyusul anak lelaki yang kubanggakan itu di luar.[*]
Tgr_8/11/20
Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata