Topeng Kepalsuan

Topeng Kepalsuan

Topeng Kepalsuan
Oleh : Rina Risnawati

“Berikanlah aku ruang sejenak, agar bisa memikirkan dengan hati yang tenang. Aku membutuhkan sang pelita, yang selalu menjaga, bukan hanya menyakiti, dan membuang tanpa perasaan.”

(Daira Anastasya)

***

Di manakah hati seorang ibu? Membiarkan bayi yang tak berdosa harus menanggung sakit yang diderita, kehadirannya tak lagi diharapkan.

Semua itu hanyalah sebuah keterpaksaan, tidak ada orangtua yang tega melihat anaknya menderita. Keadaan yang membuat semuanya tak lagi berarti.

Gadis mungil itu, tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan mandiri. Hadirnya Pak Dikri membuat hidupnya lebih berarti, karena sosok ayah yang selalu mendukung di kala membutuhkan.

Pak Dikri tidak ingin jika suatu saat nanti ia tahu kebenaran yang sesungguhnya, jangan sampai hatinya terluka oleh sesuatu yang sangat dirindukan.

Rumah yang sederhana, membuatnya terasa nyaman karena hadirnya sosok ayah yang luar biasa, mampu menopang segala kesedihan yang dirasa. Membuat jiwanya damai dan tak ingin kehilangan sosok yang dicintainya.

Keheningan malam dengan sejuta bintang berkelap-kelip di angkasa membukakan mata untuk selalu bersyukur akan segala takdir yang terjadi, gadis mungil itu sadar bahwa ketentuan yang telah Allah berikan untuknya adalah yang terbaik.

Lamunannya tersadarkan ketika sang ayah datang menghampiri dan menyuruhnya masuk, karena angin malam tidak baik untuk kesehatannya.

“Daira, kau sedang apa? Ayo masuk, angin malam tidak baik untuk kesehatanmu,” ucap Pak Dikri dengan rasa khawatir.

“Lima menit lagi, Daira janji akan langsung merebahkan tubuhku ini, please.” Daira merengek manja, ayahnya tersenyum manis.

“Ya udah, asal jangan lama-lama. Emangnya kamu lihat apa sih sampai betah di luar?” tanya Pak Dikri heran.

“Langit di angkasa sangatlah indah, dihiasi oleh bintang-bintang yang terang, membuat mataku tertuju pada dua bintang yang ada di sana.” Daira menunjuk objek yang dilihatnya.

“Apakah bintang itu berharga untukmu?”

“Bintang itu sangat berharga, darinya sosok yang dirindukan selalu ada, hal inilah yang selalu kucinta, aku rindu Mamah.”

Isak tangis Daira membuat suasana hening, hanya kicauan jangkrik yang membersamainya. Pak Dikri menjelaskan semua hal mengenai dirinya, walaupun harus menanggung kenyataan pahit, namun inilah yang terbaik.

“Ayo, Nak, masuk!” tegas Pak Dikri dengan wajah memelas. Akhirnya Daira masuk, dan membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Sejenak berpikir, terbayang sosok mamah yang selalu dinanti. Kenapa dia tidak bersama, senyumannya tak terlihat lebih dekat? Dia di mana? Aku rindu.

Keesokan hari, dengan sejuta harap, semoga akan ada kebahagiaan yang selalu dinanti, bisa mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari sang pelita tersayang, dia memulai hari.

“Assalamualaikum, Ayah tercinta, lagi santai, ya? Pasti butuh sesuatu yang bisa menyegarkan suasana pagi ini, hanya secangkir teh kopi hangat untuk Ayah.” Dia menyodorkan secangkir kopi untuk ayah tercinta.

“Waalaikumussalam, baik banget gadis Ayah. Kalau bisa sih setiap hari,” canda ayahnya, membuat suasana lebih indah.

“Oke, siap, Komandan. Hehehe. Ayah, Daira izin keluar sebentar, ya, mau ketemu teman. Sebentar kok, gak lama, please, ya?”

“Dasar, kebiasaan anak gadisku kalau minta sesuatu suka memaksa. Ya udah, tapi tidak boleh lama-lama, jangan lupa jalan pulang. Hehehe.”

“Anakmu ini gak pikun-pikun amat, gimana coba kalau nyasarnya ke hati orang, Ayah rela?” ketus Diara yang superpolos itu.

Candaan ringan membuat mereka bahagia, seolah-olah beban yang dihadapi tak lagi menghampiri.

“Permisi, Om, Vira mau ngajak Daira pergi, tidak lama kok, hanya main di taman saja,” jelas Vira–sahabat Daira–yang baru datang.

“Iya, boleh kok, asal jangan sampai larut malam, ya.”

“Tidak akan larut malam kok, Om, sebentar saja.”

“Masa sih Ayah tercinta mempunyai segudang curiga,” canda Daira penuh tawa.

“Iya, Ayah izinkan, hati-hati.”

I love you, Daddy!” teriak gadis itu sembari berlari gembira.

***

Taman yang selalu mengantarkan kepada sosok yang dirindukan. Namun, semuanya hanyalah bayangan semu yang tak lagi menjadi kenyataan.

Bola matanya tertuju pada sosok wanita yang duduk di bangku taman. Sosoknya tak asing untuk Daira. Kehadirannya terasa lebih dekat.

Begitu erat ikatan cinta yang mereka rasakan, dengan penuh penasaran ia pun menghampiri dan berkata, “Permisi, boleh aku duduk di sini?” Daira menyapa wanita itu.

“Boleh, silakan, Nak, dengan senang hati.”

“Salam kenal, Daira.” Daira berjabat tangan sembari tersenyum.

“Tiara,” ucapnya dengan santun.

Batin Diara berkata, Ada apa dengan hati ini? Rasanya berbeda. Kenapa saat berada di dekatnya, terasa begitu nyaman.

“Nak Daira, kok bengong, kenapa?”

“Mamah, aku rindu.”

“Mamah?” Tanda tanya besar membuat Tiara kebingungan.

“Maaf, Tante, Daira keceplosan, tidak bermaksud apa-apa,” ucapnya dengan lembut.

Kini, lamunannya tersadarkan oleh sahabat yang menantinya cukup lama.

“Daira, ternyata kamu di sini, aku cari-cari sampai napasku tersengal-sengal karenamu,” gerutu Vira.

“Kasihan sahabatku. Hehehe. Maaf deh.”

“Mau pulang bareng nggak nih?” Vira mengajak Daira pulang bersama. Namun, Daira tidak ingin pulang lebih awal.

“Kamu pulang saja duluan, aku masih ingin di sini, berdua bersama Tante Tiara, maaf, ya, nggak bisa bareng.”

“Tidak apa-apa, santai saja kali. Tante, Daira, Vira pamit dulu, ya, kapan-kapan bisa bertemu kembali.”

“Iya, Nak Vira, hati-hati.”

Perbincangan hangat memberikan arti penting untuk saling memiliki. Tidak lama kemudian, Pak Dikri menelepon Daira untuk segera pulang.

“Tante, maaf banget, Daira harus pulang. Bapak menungguku di rumah.”

“Iya, silakan, Nak. Lagian sudah malam, tidak baik untuk kesehatan.” Senyuman manis Daira membekas dalam ingatan Tiara.

Daira pamit pergi dan meninggalkan Tiara seorang diri. Tiba di rumah, bayangan wanita itu selalu menghantui pikirannya, sosok yang tak dikenal. Namun, kehadirannya memberikan rasa nyaman di hati.

Lamunan Daira tersadarkan oleh janji ayahnya yang ingin memberitahukan sosok orangtua yang selalu dinanti.

“Ayah … sini, ada hal penting yang ingin Daira bicarakan.”

“Ada apa, Nak? Tumben sekali pagi-pagi ngajak ngobrol.”

“Soal orangtuaku, Ayah tahu, kan, di mana mereka berada?”

Pak Dikri tak sanggup berkata apa-apa, gugup dan takut itu selalu menghampirinya.

“Euh, anu ….”

“Jawab, Ayah, di mana mereka berada?”

Sulit mengutarakan semua ini, namun karena Daira memaksa, akhirnya Pak Dikri mengatakan yang sebenarnya.

“Dulu Ayah menemukanmu di teras rumah, suara tangis bayi itu membuat hati Ayah bersedih, bayi ini tak berdosa, membiarkannya sendirian sungguh sangatlah berdosa.”

“Kenapa kehadiranku tak lagi dinantikan, dosa apa aku ini hingga orangtuaku tega membuang tanpa perasaan?” Rasa kecewa Daira rasakan begitu dalam.

Butuh ruang sejenak untuk memulihkan keadaan, rasa frustrasi membuatnya kecewa.

Kehadiranku tak lagi diharapkan, mereka membiarkan aku seorang diri dalam kesunyian malam. Berharap kebahagiaan datang, setelah kenyataan itu bersaksi, hatiku hancur seakan-akan diriku tak ada artinya, sedikit pun. Orangtuaku tidak menginginkan akan kehadiranku, mamahku membuang bayi yang tak berdosa ke tempat yang tak berarti. Apakah aku sampah yang sangat menjijikkan? Bahkan Ayah tak menginginkan hadirnya peri kecil ke dunia ini, membuat hati terluka.

Tiba-tiba Daira dikejutkan oleh wanita yang ditemuinya di taman, rasa penasarannya semakin menjadi-jadi, dan bertanya dalam hati, Siapakah dia? Sosoknya tak asing, namun kehadirannya membuat jiwa ingin bersama.

“Tiara?” seru Pak Dikri, kaget saat melihatnya.

“Iya, Mas, aku Tiara, teman sekolahmu dulu. Masih ingatkah?” tanya Tiara sembari meyakinkan Pak Dikri untuk mengingat kenangan waktu silam.

“Oh iya, Tiara, aku ingat. Lama tak berjumpa, apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Mas … ada sesuatu yang ingin dibicarakan, tapi ….” Matanya menegur Pak Dikri untuk mempersilahkan masuk gadisnya.

Pak Dikri serentak menyuruh Daira masuk.

“Iya, Ayah, Daira masuk nih.” Dengan wajah cemberut, Daira meninggalkan mereka berdua saja.

Daira pamit untuk masuk. Namun, lagi-lagi dia mendengar percakapan mereka. Telinganya fokus untuk mendengarkan semua hal yang dibicarakan.

“Daira anakmu, Mas?” tanya Tiara dengan serius.

“Benar, dia anakku. Walaupun bukan darah dagingku, rasa sayang ini tidak akan pernah berubah.”

Tiara menangis, semua kenangan masa lalu menghampiri dan memberikan luka yang sangat pedih.

“Kenapa menangis, apakah perkataanku menyinggung hati?”

“Tidak kok, Mas.” Mencoba tegar, tapi tak mampu.

“Kau merahasiakan sesuatu? Apa yang terjadi?” tanya Pak Dikri dengan setengah memaksa.

“Mas, gadis yang bersamamu … adalah anakku, sudah bertahun-tahun aku mencarinya, dan kini dia ada bersamamu.”

Daira lalu menghampiri dan bertanya, “Jadi, kau … ibuku?” Meyakinkan bahwa Tante Tiara adalah ibunya.

“Iya, aku … ibumu. Gadisku, kemarilah!” Haru pilu membuatnya tak bisa membendung air mata.

Tiara sudah menjelaskan semua hal mengenai dirinya, bukan karena keinginan, melainkan keterpaksaan. Frustrasi yang dihadapi membuatnya hilang kendali dan membiarkan bayi yang tak berdosa ini menanggung sakit yang sangat mengecewakan batin.

Angga–ayahnya Diara–tidak mengharapkan sosok bayi mungil itu, dia mengabaikan sang bayi dan istri demi wanita lain, sementara jerih payah seorang istri tak lagi diharapkan.

Kenapa kehadiranku tak lagi diinginkan? Cerita kelam yang ada pada keluargaku sangatlah rumit. Akankah kebahagiaan akan selalu menanti? Sementara hati harus meniti rasa pilu yang terjadi. Memaafkan mudah, tapi rasa kecewa yang ada pada diri membuat jiwa frustrasi, tak tahu harus bagaimana.

“Maaf, Nak, Mamah terpaksa membuang kamu ke tempat yang kotor, jangan berpikir buruk untuk ini, ada satu hal yang sulit untuk dimengerti.”

“Apa yang membuat Mamah sampai tega membuangku ke tempat yang kotor, sebenci itukah dirimu?”

“Mamah terpaksa melakukan ini, karena ayahmu jelas-jelas selingkuh dengan wanita lain, bahkan tidak memedulikanmu sebagai anaknya. Akhirnya perselisihan itu terjadi.

“Berkali-kali memohon agar dia mengakuimu sebagai anaknya, namun dia mengusir dan tidak mengakui kamu sebagai anaknya. Sudah terlalu sakit menahan rasa ini bertahun-tahun, pernah menderita bahkan frustrasi, tak tahu arah bagaimana bisa menjalani hidup dengan bahagia. Sementara orang yang berharga tak menginginkan kehadiranku. Karena pada saat itu tidak punya apa-apa untuk membesarkanmu, akhirnya Mamah membuangmu dengan terpaksa.

“Kenapa kamu menangis? Jangan biarkan jiwamu terluka,” ucap Tiara dengan mata yang sendu.

“Tidak, Mah, aku sedih karena pertemuan ini yang seharusnya bahagia, namun malah membuat rasa ini kecewa, maaf aku butuh sendiri untuk menenangkan pikiran.”

Dan kini, sosok sang pelita yang selalu dinanti datang menghampiri, tetapi kehadirannya malah membuat jiwa terpuruk dan frustrasi.

Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kebahagiaan yang selalu dicari, selalu dinanti, namun sirna ketika kenyataannya tak lagi sama.

Hati mana yang tidak sakit, jika orang yang ia harapkan ada di dekatnya, namun kehadirannya tak lagi dirindukan. Apa kabar hati yang selalu menunggu belaian kasih dari sang pelita?(*)

 

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply